Internet telah mempermudah kita dalam mengonsumsi. Melalui platform belanja online, jual beli barang dapat dilakukan lewat satu genggaman. Iklan barang-barang unik dan populer juga dengan mudahnya dijumpai di media sosial. Berkat algoritma internet pula, kita selalu dipertemukan dengan rekomendasi barang yang relevan dengan selera kita.
Kemudahan dalam mengonsumsi terdengar seperti hal yang positif. Namun, tahukah Sobat? Di balik itu semua, terdapat para remaja yang rentan terjebak ke dalam perilaku konsumtif. Kita dipaksa untuk terus menerus menghabiskan uang untuk sesuatu yang sebenarnya tidak diperlukan dan bahkan menyimpan risiko kesehatan fisik atau mental.
Kondisi serupa tidak terkecuali juga terjadi pada remaja perempuan yang sering menjadi sasaran utama standarisasi kecantikan tubuh, promosi jajanan yang sedang viral, dan iklan tren yang sedang populer. Lantas, apa saja contoh-contoh bentuk budaya konsumsi yang mesti diwaspadai demi remaja perempuan yang lebih sehat?
1. Membeli Banyak Skincare Demi Memenuhi Standar Kecantikan Tubuh
Menjadi remaja perempuan berarti harus hidup di tengah tekanan standarisasi kecantikan. Salah satu standar yang harus dipenuhi adalah kulit putih dan cerah. Standar ini terkadang tidak realistis, namun terus menerus diproduksi oleh industri kecantikan, dan direproduksi kembali oleh berbagai aktor sosial, dari teman sebaya sampai influencer di internet. Akibatnya, remaja perempuan rentan terjebak ke dalam konsumsi yang berlebihan terhadap produk-produk perawatan tubuh.
Sebuah penelitian studi kasus yang diterbitkan pada tahun 2024 mengungkapkan, remaja perempuan dengan sangat mudahnya mengalami ketergantungan pada produk-produk kecantikan bahkan sejak usia sekolah. Mereka tidak ragu melakukan membeli skincare berlabel whitening ataupun brightening tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kesehatan kulit.
Selain itu, remaja perempuan yang terjebak ke dalam budaya konsumsi ini bisa jadi juga harus berhadapan dengan masalah kesehatan mental. Ketika merasa gagal untuk mencapai standarisasi kecantikan tertentu, mereka rentan dirundung oleh perasaan rendah diri, kecemasan, atau bahkan depresi karena tidak percaya atas tubuhnya sendiri.
2. Diet Ekstrim untuk Mendapatkan Tubuh Ideal
Di samping konsumsi produk perawatan tubuh yang berlebihan, standarisasi kecantikan juga memicu remaja perempuan untuk melakukan perilaku diet impulsif. Selama ini, standar kecantikan industri selalu memaksa kita untuk memiliki tubuh yang langsing, berlekuk, dan tidak berlemak. Tuntutan tersebut tidak jarang menjebak remaja perempuan pada tren diet yang tidak menyehatkan.
Menurut sebuah studi literatur yang diterbitkan pada tahun 2022, ada hubungan yang erat antara citra tubuh remaja perempuan dengan pola makan mereka. Remaja perempuan yang merasa gagal mencapai standar tubuh ideal tertentu, akan dengan mudah memiliki citra negatif akan dirinya, dan pada akhirnya mengurangi porsi makan mereka.
Sekilas, hal tersebut terdengar menyehatkan. Namun jika dilakukan secara impulsif, apalagi tanpa konsultasi dengan ahli gizi, budaya konsumsi yang satu ini justru bermuara pada hilangnya pemenuhan hak atas gizi yang sebenarnya dibutuhkan remaja untuk bisa bertumbuh dan berkembang. Belum lagi ketika diet yang dilakukan ternyata gagal, remaja juga semakin tenggelam ke dalam citra negatif atas tubuh mereka sendiri.
3. Membeli Pakaian Fast Fashion Demi Mengikuti Tren
Bayangkan saja, saat asyik bermain media sosial, Sobat tidak sengaja melihat iklan pakaian di media sosial. Pada momen lainnya, ternyata ada seorang influencer sedang mempromosikan pakaian yang sama, membuat barang tersebut semakin populer. Dipikir-pikir, pakaian yang dimaksud terlihat lucu dan menggemaskan. Sobat pun memutuskan untuk membelinya demi up to date dengan tren terkini. Tapi setelah itu, baru disadari kalau Sobat ternyata tidak benar-benar membutuhkannya.
Apakah Sobat pernah melalui pengalaman yang mirip? Jika iya, mungkin saja Sobat saat itu terjebak ke dalam konsumsi fast fashion. Mengutip Zero Waste Indonesia, fast fashion sendiri adalah pakaian yang diproduksi dalam jumlah banyak untuk memenuhi permintaan pasar terhadap perubahan tren fashion yang bergerak cepat.
Budaya konsumsi yang satu ini juga tidak menyehatkan. Sebab, menurut sebuah artikel di Kumparan, kegemaran remaja pada kultur fast fashion lebih banyak dilatarbelakangi oleh obsesi untuk tampil trendy dan memiliki koleksi pakaian baru secara terus menerus, alih-alih didorong oleh motivasi yang lebih rasional seperti butuh pakaian baru.
Selain itu, mengingat produk fast fashion punya harga yang murah, bukan tidak mungkin para remaja yang menggemarinya akan dirugikan oleh masalah kesehatan fisik akibat materi pakaian berkualitas rendah. Lebih lagi, para remaja yang merasa gagal untuk mengikuti tren pakaian tertentu rentan dirundung oleh perasaan bersalah dan rendah diri.
4. Terlalu Sering Membeli Jajanan yang Sedang Viral
Sobat pasti sering membeli jajanan di pinggir jalan hanya karena jajanan tersebut lagi viral di media sosial bukan? Tidak dapat dipungkiri, digitalisasi mendorong para remaja untuk mencari pengalaman baru lewat makanan. Melihat konten kuliner, iklan makanan, hingga unggahan food vlogger seketika menimbulkan perasaan FOMO untuk menyicipi jajanan yang sedang populer.
Masalahnya, tidak semua jajanan yang sedang viral itu menyehatkan. Sebut saja seperti makanan berpemanis tinggi atau makanan cepat saji yang jika dikonsumsi terus menerus bisa mempertemukan remaja pada risiko obesitas, diabetes, serta penurunan energi dan kemampuan belajar. Sayangnya, jajanan yang tidak menyehatkan ini justru sangat mudah menarik perhatian remaja karena harganya murah dan relatif mudah dijangkau.
5. Konsumsi Digital yang Berlebihan
Bukan hanya konsumsi secara nyata, remaja juga dekat dengan aktivitas konsumsi yang tidak terlihat di ruang digital. Biasanya remaja gemar mengonsumsi konten-konten di media sosial, entah itu meme yang sedang tren, menonton video kucing lucu, atau drama selebriti yang sedang ramai.
Budaya konsumsi yang satu ini juga menyimpan masalah, sebab tidak sedikit remaja yang justru terjebak ke dalam screen time terlalu tinggi atau bahkan mengalami doomscrolling. Jika berlangsung secara terus menerus, ada bom waktu masalah kesehatan mental yang bisa meledak kapan saja, seperti kesejahteraan digital yang rendah kecemasan, stress dan depresi.
Lebih lanjut, konsumsi di ruang internet tidak jarang juga bermuara pada konsumsi yang tidak diinginkan di dunia nyata. Sebab internet adalah tempat berkumpulnya semua iklan dan postingan viral yang menggoda kita untuk belanja dan mengeluarkan uang.
Sebagai contoh, Sobat pasti pernah mengikuti event flash sale yang diselenggarakan oleh platform belanja online. Karena event tersebut menawarkan harga barang yang murah, Sobat malah terjebak ke dalam belanja impulsif. Sobat pun kemudian merasa bersalah karena telah membeli barang yang sebenarnya tidak diperlukan, juga mengalami stress finansial karena menghabiskan uang tanpa disadari.
Apa yang Bisa Dilakukan untuk Menguranginya?
Beberapa perilaku konsumsi dan gaya hidup tersebut sangat dekat dengan kehidupan remaja perempuan, namun menyimpan berbagai risiko. Walaupun bukan sesuatu yang dilarang, Sobat Remaja perlu menguranginya demi terlindungi dari berbagai masalah kesehatan fisik dan mental akibat budaya konsumsi yang toksik. Lantas, apa yang kemudian bisa dilakukan?
1. Belajar Mencintai Diri Sendiri
Tidak sedikit dari perilaku konsumtif remaja yang tidak menyehatkan disebabkan oleh rasa ketidakpercayaan terhadap diri sendiri. Karena itu, jika Sobat bisa mulai belajar untuk mencintai diri sendiri dan percaya bahwa setiap orang adalah unik. Mencintai diri sendiri yang dimaksud, bukan hanya soal penampilan, tetapi juga kesehatan fisik dan mental.
Sebagai contoh, Sobat bisa memfokuskan diri pada aktivitas-aktivitas sederhana yang membawa kebahagiaan tanpa perlu mengeluarkan banyak uang seperti berolahraga, membaca buku, mengikuti yoga, melukis, menulis, atau berkebun. Dengan cara ini, Sobat tidak akan mudah terlena membeli barang-barang yang tidak benar-benar dibutuhkan demi mengikuti sebuah tren.
2. Berpikir Sebelum Mengonsumsi
Penyesalan datang belakangan. Demikian juga ketika Sobat terjebak belanja impulsif. Agar tidak dirundung penyesalan terus menerus setelah melakukan aktivitas konsumsi, Sobat perlu berpikir dua kali setiap sebelum mengeluarkan uang. Ketika Sobat menemukan rekomendasi barang yang menarik atau sedang tren, jangan buru-buru melakukan transaksi sekalipun harganya murah atau diskon. Sobat bisa merefleksikan kembali, apakah Sobat benar-benar membutuhkannya atau malah hanya sedang FOMO?
3. Membuat Perencanaan Keuangan
Solusi berikutnya adalah membuat perencanaan keuangan. Dalam kurun waktu sebulan, Sobat bisa menetapkan berapa banyak pengeluaran untuk kebutuhan (misalnya makan, pendidikan, atau transportasi), serta pengeluaran untuk keinginan (misalnya hiburan, cemilan, atau pakaian). Jangan lupa juga, tetap sisihkan sebagian sebagai tabungan atau dana darurat.
4. Bijak Menggunakan Internet
Godaan untuk belanja impulsif ini sebagian besar datang dari internet. Sekali dayung satu-dua pulau terlampaui, Sobat bisa mulai belajar mengurangi durasi screen time. Tak hanya untuk meningkatkan kualitas digital wellbeing dan memperbaiki kesehatan mental, tapi juga sekaligus menekan keinginan untuk mengeluarkan uang.
5. Menerapkan Pola Hidup Sehat
Cara terakhir adalah menerapkan pola hidup sehat. Mengurangi dan memilah jajanan di pinggir jalan sudah sangat cukup, tanpa perlu menceburkan diri ke dalam diet ekstrim. Jika dimungkinkan, Sobat juga boleh menakar asupan karbohidrat, serat, dan protein sesuai dengan kebutuhan gizi Sobat, tentunya tanpa melupakan saran ahli.
Menjadi remaja perempuan yang berdaya bisa mewujud dalam banyak bentuk, salah satunya berdaya atas aktivitas konsumsi yang kita lakukan. Perlu diingat, Sobat memiliki hak untuk memilih dan menentukan sendiri aktivitas konsumsi yang menyehatkan, tanpa harus tunduk pada tuntutan standarisasi atau tren tertentu.
Selain mencegah dampak buruk jangka panjang terkait kesehatan fisik dan mental, memulai konsumsi yang sehat juga akan membantu Sobat untuk belajar cara menjadi individu yang lebih bijaksana dalam mengambil keputusan, percaya diri dalam menghadapi tekanan sosial, serta merdeka secara finansial.
Penulis: Nobertus Mario Baskoro