Mengenal Digital Wellbeing dan Tips Memulai Aktivitas Online yang Sehat

Digital wellbeing - Ilustrasi anak muda bermain smartphone.

Setelah menghabiskan lima hari dalam seminggu untuk bekerja dan belajar, memanfaatkan akhir pekan dengan goleran bersama smartphone, game online, dan media sosial terdengar nikmat.

Namun, alih-alih terasa segar kembali, aktivitas ini entah kenapa justru membuat hari semakin terasa melelahkan. Badan pegal-pegal dan jadi gampang emosi. Lebih buruknya lagi, rutinitas ini diulang terus menerus setiap minggunya.

Apakah Sobat pernah atau bahkan sedang mengalami situasi tersebut? Tahukah Sobat, bahwa itu merupakan tanda-tanda masalah kesehatan fisik dan psikologis akibat aktivitas digital yang berlebihan.

Kondisi ini sama sekali bukan hal yang baik, menandakan Sobat perlu segera mulai membiasakan budaya digital wellbeing atau kesejahteraan digital. Sebelum beranjak lebih jauh, apa yang sebenarnya dimaksud dengan digital wellbeing?

Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO) mendefinisikan digital wellbeing sebagai upaya untuk meningkatkan dan juga memperbaiki kesejahteraan pribadi melalui penggunaan media digital.

Sementara menurut Google, digital wellbeing berarti membangun dan menjaga hubungan yang sehat dengan teknologi. Selain kedua definisi di atas, Sobat juga bisa mengeksplorasi definisi lainnya tentang digital wellbeing dari berbagai macam referensi dan sudut pandang di sini.

Pada intinya, digital wellbeing berarti menjalankan aktivitas digital melalui cara yang lebih menyehatkan. Dengan kata lain, kita tetap terhubung dengan teman-teman di media sosial, menonton video lucu di internet, atau membaca informasi terkini yang sedang terjadi, namun tetap memiliki kehidupan yang seimbang dan produktif.

Kerentanan Remaja dalam Isu Kesejahteraan Digital

Berbicara mengenai digital wellbeing, remaja merupakan salah satu kelompok yang rentan untuk mengalami penurunan kesejahteraan digital. Menurut Childnet, sebuah gerakan sosial asal Eropa yang memperjuangkan ruang digital yang aman bagi anak muda, terdapat beberapa kondisi yang turut membangun situasi kerentanan remaja terkait kesejahteraan digital, antara lain:

1. “Drama” Pertemanan Digital

Hubungan pertemanan hampir pasti akan dipenuhi dengan perbedaan pendapat, ketidaksetujuan, atau perselisihan. Namun, ketika pertemanan berlangsung secara online, masalah-masalah tersebut menjadi lebih kompleks dan biasanya sulit untuk diselesaikan.

Hal ini karena adanya perbedaan cara kerja pertemanan antara di ruang digital dengan ruang fisik. Di ruang digital, miskomunikasi sangat mudah terjadi karena kita tidak bisa menangkap nada atau mimik dari lawan interaksi kita.

2. Standar Sosial Yang Terlalu Tinggi

Di internet, kita dapat dengan mudah menemukan standar-standar sosial tertentu. Kita seakan menghadapi tuntutan untuk –misalnya– memiliki pakaian model terbaru, mencoba makanan atau tempat wisata yang sedang viral, atau mengadopsi tren yang sedang ramai. Tekanan-tekanan semacam ini membuat remaja mudah merasa negatif terhadap dirinya sendiri dan pada akhirnya meragukan pencapaian mereka.

3. Konten yang Bikin Sedih

Internet adalah ruang bagi segala jenis konten digital, tidak terkecuali yang membuat kita merasa sedih; entah itu berita tentang kejahatan, cerita tentang bullying, sampai ancaman kekerasan seksual. Konten-konten seperti ini mempengaruhi kesehatan mental remaja, dan sayangnya banyak dari mereka yang ragu mencari dukungan karena takut dipermalukan atau dihakimi.

4. Screen Time yang Berlebihan

Sebagai generasi yang melek teknologi, remaja sangat mudah untuk menggunakan teknologi dengan durasi yang berlebihan. Dalam konteks saat ini, tingginya screen time salah satunya dibangun oleh tren video pendek 1 menit vertikal yang sudah diadopsi oleh hampir semua platform media sosial.

Menurut survei milik Media Common Sense, seperti yang diberitakan surat kabar Kompas, seorang remaja rata-rata berinteraksi dengan sedikitnya 237 notifikasi dalam satu hari, dimana seperempat di antaranya berlangsung pada jam sekolah. Kondisi tersebut mengakibatkan remaja mudah mengalami gangguan konsentrasi saat belajar.

Di samping itu, salah satu artikel ilmiah yang diterbitkan di jurnal National Library of Medicine, juga menyebutkan bahwa screen time yang berlebihan juga memberikan beberapa efek buruk bagi remaja, seperti jam tidur yang kurang, kekurangan energi, stress dan depresi, dan penurunan kepuasan hidup.

Detoks Digital, Strategi untuk Meningkatkan Digital Wellbeing Remaja

Melihat situasi kerentanan di atas, rasanya sangat penting bagi Sobat remaja untuk memulai budaya digital wellbeing. Detoks digital, kemudian menjadi salah satu cara yang bisa diterapkan.

Masih melansir artikel ilmiah dari jurnal National Library of Medicine, detoks digital dijelaskan terbukti dalam mengurangi stress, mengembalikan durasi tidur, dan memperbaiki kesehatan mental hampir secara keseluruhan.

Lantas, bagaimana tips melakukan detoks digital bagi remaja? Sobat bisa menyimak strategi yang disarankan oleh Childnet berikut ini:

1. Menggunakan Aplikasi Digital Wellbeing

Kita dapat dengan mudah menemukan berbagai aplikasi penunjang digital wellbeing, baik yang sudah tersedia secara bawaan pada sistem operasi smartphone, maupun perangkat lunak pihak ketiga yang dapat diunduh secara mandiri. Masing-masing dari teknologi tersebut menawarkan fitur yang berbeda-beda, mulai dari mode bisu atau jangan ganggu, pembatasan media sosial, hingga pengingat kesehatan digital.

2. Buat Daftar Rutinitas

Untuk mengalihkan perhatian dari internet dan media sosial, Sobat bisa menyibukkan diri dengan rutinitas-rutinitas lain yang lebih produktif. Agar konsisten, Sobat juga bisa membuat semacam daftar rutinitas atau batas maksimal screen time dalam satu hari atau seminggu. Tetapkan komitmen yang tinggi agar Sobat benar-benar mengambil manfaat positif dari tips tersebut.

3. Menjadi Contoh yang Baik untuk Orang Lain

Jika Sobat tinggal bersama keluarga atau saudara, jangan lupa untuk menjadi contoh yang baik dan menularkan nilai-nilai digital wellbeing kepada orang-orang terdekat. Ketika semua individu di satu lingkungan memiliki komitmen yang sama untuk menerapkan digital wellbeing, detoks digital akan semakin terasa mudah dilakukan.

4. Cari Dukungan

Apabila merasa kesulitan untuk melakukan detoks digital, Sobat bisa mencari bantuan. Misalnya, meminta tolong teman sebaya yang cukup dipercaya untuk membantu mengontrol aktivitas digital Sobat. Apabila Sobat menghadapi dampak-dampak serius terkait kesehatan fisik dan mental akibat aktivitas digital, jangan ragu untuk mencari bantuan dari psikolog atau psikiater.

Demikian sedikit ulasan mengenai digital wellbeing, situasi kerentanan remaja terkait isu kesejahteraan digital, serta tips melakukan memulai digital wellbeing lewat detoks digital. Dengan membangun aktivitas digital yang lebih sehat, kita akan memiliki hidup yang lebih seimbang dan tetap produktif serta memiliki relasi yang baik dengan individu di sekitar kita.

Penulis: Nobertus Mario Baskoro

Facebook
X
Threads
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Event Kami

Ruang Kata 4

Artikel Populer

Artikel Terkait

Translate »