“Apakah aku gak keren gabisa kayak mereka?”, “Apa aku gak gaul?”, pertanyaan yang selalu muncul dikalanagan remaja sekarang. Kegelisahan tersebut termasuk dalam ciri khas dari fenomena FoMO (Fear of Missing Out). FoMO adalah kondisi psikologis yang merujuk pada rasa takut atau kecemasan yang muncul ketika individu merasa sedang melewatkan pengalaman atau kesempatan menarik. Secara singkatnya, seseorang ingin seperti orang lain yang mereka lihat secara langsung maupun tidak langsung (media sosial).
Sebagai generasi yang hidup dalam era kemajuan digital, remaja masa kini tentu memiliki tingkat penggunaan media sosial yang tinggi. Mereka cenderung sangat mudah dalam melihat aktivitas orang lain yang dikenal maupun tidak dan akhirnya cenderung untuk bisa mengikuti dan ingin terlihat aktif, sehingga menunjukkan segala hal yang terjadi di kehidupannya. Salah satunya berkaitan dengan lifestyle yang berkaitan dengan pemilihan makanan dan minuman dalam kehidupan sehari-hari. Pergeseran konsep makan bangsa Indonesia sebagai contoh konkret dampak adanya budaya asing yang masuk ke dalam tubuh bangsa Indonesia. Salah satu bentuk pergeseran konsep makan yaitu menjamurnya konsep makan cepat saji dalam hal ini junk food di Indonesia.
Berhubungan dengan tren junk food semakin mendunia ini mepengaruhi pola makan remaja. Kata junk food, terdengar tidak asing bukan? Kamu pasti pernah memakannya walaupun sekali. Makanan seperti burger, pizza, donat, mie instan, kentang goreng dan lainnya. Wah pasti enak dong. Apalagi cemilan keripik yang biasa temani kamu kalau lagi belajar biar gak ngantuk, betul gak? Sama makanan yang manis-manis seperti permen dan coklat pasti menjadi kesukaanmu kan, kaya si dia hihihi. Namun, apa kamu hari ini udah makan sayur dan buah? Minum air putihnya gimana, cukup kah? Kenapa sih, salah ya makan itu? Kan gapapa, apa masalahnya? Eits jangan begitu, makanan yang disebutkan tadi itu termasuk junk food loh.
Kita ketahui bersama bahwa junk food itu berasal dari luar negeri tepatnya di Chicago, Amerika Serikat. Konsep junk food dikenalkan pada tahun 1893, Ketika Frederick dan Louis Rueckheim di Chicago ingin membuat campuran bahan untuk membuat pop corn, kacang-kacangan dan molase yang begitu popular pada masa itu. Istilah junk food digunakan untuk menyebut jenis makanan dengan kadar nutrisi yang hampir tidak ada dan hanya menyisakan gula atau garam yang tinggi. Saat ini junk food juga dikembang menjadi istilah untuk menggambarkan makanan dengan lemak jenuh yang tinggi.
Masalah makanan junk food yang menjadi favorit remaja adalah topik yang penting karena berhubungan dengan kesehatan jangka panjang. Makanan junk food sering kali digemari oleh remaja karena rasanya yang enak, kemudahan akses, dan sering kali iklan yang menarik. Apabila dibandingkan dengan efek asap rokok, junk food efeknya 20 kali lebih cepat untuk mempengaruhi otak dan bikin ketagihan. Berdasarkan survei BBC tahun 2016, terkait frekuensi konsumsi junk food dalam seminggu 2 kali kebanyakan orang. Studi terbaru pada jurnal “The Lancet Child & Adolescent Health” menggambarkan bawah perilaku makan buruk (junk food) sebagai cikal bakal masalah obesitas dewasa dan menghambat perkembangan otak remaja sehingga meningkatkan risiko depresi dan kecemasan.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, menunjukkan bahwa remaja usia 13-15 tahun memiliki status gizi gemuk sebesar 8,3% dan obesitas 2,5%. Sedangkan, pada tahun 2018 status gizi kategori “gemuk” naik menjadi 11,2% dan dan status “obesitas” menjadi 4,8%. Kondisi ini sama terjadi pada remaja usia 16-18 taun yah memiliki status gizi gemuk 5,7% dan dan obesitas 1,6%. Angka ini meningkat pada tahun 2018 dimana pada remaja usia 16-18 tahun angka status gizi gemuk sebesar 9,5% dan status gizi obesitas 4%.
Status gizi berlebihan yang dialami oleh generasi Z sebaian besar dipengaruhi dari pola konsumsi dan gaya hidup. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pakarya (2020) pola konsumsi yang tinggi kalori dan rendahnya aktivitas fisik akan menyebabkan surplus kalori sehingga menyebabkan akumulasi lemak dan menyebabkan peningkatan berat badan. Cara konsumsi makanan, generasi Z sangat dipengaruhi faktor globalisasi. Generasi Z dapat mengakses dan mendapatkan informasi dari internet sehingga generasi Z mengenal makanan yang berasal dari luar negeri. Terlebih lagi faktor Korean wave yang mempengaruhi gaya hidup dan konsumsi generasi Z, terutama dibidang makanan. Kemajuan teknologi pun semakin membuat generasi Z mudah dalam memesan makanan dan perkembangan e-wallet pun semakin mempermudah generasi Z dalam memesan makanan karena lebih mudah, dan cenderung mengincar promosi yang ditawarkan e-wallet.
Kondisi ini bisa dikatakan sebagai kegiatan FoMO karena mereka hanya ikut tren junk food saja. Seperti kaum anak muda saat ini merasa lebih keren kalau makan makanan seperti burger, pizza di restoran. Tidak lupa juga untuk memposting ke medsos mereka. Mengikuti gaya hidup luar agar seperti orang bule dari negara barat gitu. Nah, pikiran-pikiran seperti itu membuat otak merespon agar terus mengonsumsi junk food yang sebenarnya kurang baik buat tubuh.
Upaya mengatasi masalah ini, penting untuk meningkatkan kesadaran tentang gizi dan kesehatan di kalangan remaja, serta menciptakan lingkungan yang mendukung pilihan makanan yang lebih sehat. Ini bisa melibatkan edukasi tentang manfaat makanan sehat, menyediakan alternatif yang lebih baik di sekolah dan rumah, serta mempromosikan kebiasaan makan yang seimbang.
#internationalYouthDay2024
#IYDbersamaRISE
#RISEForYouth