Bayangkan, ketika sedang asyik menjelajah media sosial, tiba-tiba Sobat menemukan sebuah postingan seorang influencer yang sedang memamerkan hasil dietnya. Terlihat sang pesohor internet memiliki tubuh ideal yang dicita-citakan banyak remaja perempuan. Pada momen yang lain, Sobat juga mendapati segudang referensi menu makanan minim kalori dari sebuah aplikasi berbagi resep.
Momen-momen tersebut seketika memotivasi Sobat untuk ikut-ikutan memulai diet, dengan harapan bisa mencapai standar fisik ideal serupa. Sobat kemudian mencoba meniru metode diet yang diterapkan para influencer, serta mengganti semua isian makan siang dan malam dengan pilihan menu rendah lemak.
Namun setelahnya, alih-alih menjadi lebih sehat, Sobat malah merasa kekurangan energi dan mudah lemas saat beraktivitas. Selain itu, Sobat juga merasa stress dan mendadak mengalami gangguan kecemasan. Belakangan, baru disadari, bahwa Sobat ternyata menerapkan pola diet yang keliru. Bukannya mencapai standar tubuh ideal yang diimpikan, Sobat malah menghadapi dampak negatif terkait kesehatan fisik dan mental.
Jebakan Ganda Ekspektasi Tubuh Ideal dan Rusaknya Pola Makan
Situasi yang digambarkan di awal tulisan ini jamak menimpa para remaja. Menurut sebuah studi literatur yang diterbitkan pada tahun 2022, ternyata terdapat hubungan yang erat antara citra tubuh remaja dengan pola makan. Remaja, disebutkan oleh studi tersebut, rentan terjebak pada dua masalah berlapis, yakni: obsesi yang berlebihan pada standar tubuh dan pola makan yang tidak sehat.
Remaja laki-laki biasanya memimpikan tubuh yang tinggi dan berotot. Sementara itu, remaja perempuan umumnya memiliki ekspektasi memiliki tubuh yang langsing dan minim lemak. Standarisasi semacam ini jelas tidak realistis, namun sayangnya terus menerus direproduksi oleh berbagai aktor seperti media sosial dan orang-orang terdekat. Akibatnya, standar ideal tersebut dengan sangat mudah diinternalisasi oleh remaja sebagai sesuatu yang seakan wajib dicapai.
Setelah terpapar oleh ide-ide mengenai standarisasi tubuh, remaja kemudian akan sangat mudah mengalami ketidakpuasan dan ketidaknyamanan terhadap bentuk dan ukuran fisik mereka sendiri. Selanjutnya, remaja akan sangat rentan mengambil berbagai keputusan yang impulsif demi “memperbaiki” citra tubuhnya.
Dari antara sekian banyak pilihan, diet yang terlalu ketat sering kali menjadi pilihan yang diambil. Mulai dari mengurangi porsi makanan; sengaja melewatkan sarapan, makan siang, atau makan malam; sampai mengurangi asupan karbohidrat dan lemak tanpa pertimbangan yang matang terkait kebutuhan kalori minimal. Dukungan-dukungan dari ahli gizi turut dilupakan di dalam prosesnya.
Masalah Kesehatan Fisik dan Mental yang Mengancam di Baliknya
Diet serampangan akibat ilusi standarisasi tubuh menyimpan dampak negatif berlapis berkaitan dengan kesehatan remaja. Merangkum artikel yang diterbitkan oleh situs Hellosehat dan Halodoc, diet yang terlalu ketat misalnya berpotensi mengakibatkan berbagai masalah kesehatan fisik, antara lain seperti perlambatan metobolisme tubuh, kehilangan massa otot, malnutrisi, dehidrasi, penurunan sistem imun. Bagi remaja, kondisi tersebut bisa mengakibatkan kelelahan ekstra, terhambat menjalani akivitas, dan mengalami kesulitan belajar.
Namun, yang tidak kalah penting adalah konsekuensi buruk terkait dengan kesehatan mental yang juga diakibatkannya. Mengutip dua jurnal kesehatan yang sama-sama diterbitkan pada tahun 2024, ternyata pola makan dan gizi yang diterima oleh tubuh turut berperan dalam meregulasi kualitas kesehatan mental. Berbagai asupan nutrisi seperti asam lemak, asam amino, omega 3, vitamin dan mineral misalnya, punya peran penting dalam membebaskan seseorang dari berbagai masalah kesehatan mental.
Ketika nutrisi-nutrisi tersebut tidak terpenuhi dengan baik, bukan tidak mungkin remaja akan mengalami kecemasan, depresi, suasana hati yang buruk, hingga gangguan tidur. Masalah ini tentunya tidak kalah penting dibandingkan persoalan kesehatan fisik. Bagi remaja yang sedang dalam masa pertumbuhan dan membutuhkan asupan gizi seimbang, masalah-masalah tersebut tentunya akan sangat merugikan.
Punya Body Goals Boleh, Tapi Jangan Lupakan Hak Atas Pangan dan Gizi
Standarisasi tubuh ideal, penurunan kualitas pola makan, serta gangguan kesehatan mental nyatanya saling berkaitan satu sama lain; bagaikan semacam lingkaran setan yang menempatkan remaja pada situasi yang sangat rentan. Lantas apa saja tips yang bisa dilakukan untuk terhindari pusaran ketiga masalah tersebut?
Pertama, Sobat bisa mulai belajar untuk mencintai dan menerima diri sendiri apa adanya. Sebagai bentuk kepedulian dan rasa sayang terhadap tubuh Sobat, sebisa mungkin jauhkan diri dari berbagai wacana-wacana terkait standarisasi tubuh, baik yang berasal dari internet maupun yang diproduksi oleh lingkungan sosial dan orang-orang terdekat.
Kedua, belajar sebanyak mungkin tentang cara memulai diet yang seimbang dengan memanfaatkan sumber terpecaya. Sobat perlu mengurangi mengambil informasi dari konten-konten dari media sosial, apalagi yang semata disampaikan oleh influencer. Sebagai gantinya, Sobat bisa belajar secara langsung lewat situs web kesehatan atau menggunakan alat bantu penghitung kalori digital yang dapat diunduh secara bebas dan gratis. Akan lebih baik lagi, apabila Sobat juga berkonsultasi langsung dengan ahli gizi. Boleh saja mengurangi porsi makanan, tapi sebisa mungkin tetap menjaga keseimbangan konsumsi mineral, protein, dan karbohidrat.
Ketiga dan yang paling penting, apabila Sobat merasakan masalah kesehatan mental yang cukup serius, jangan ragu untuk mencari dukungan kepada orang terdekat maupun psikolog atau psikiater. Untuk dampak yang lebih maksimal, Sobat juga bisa mengiringinya dengan olahraga dan meditasi, serta menambah lebih banyak rutinitas yang produktif sebagai sarana pengalihan.
Sebenarnya tidak ada yang salah memiliki cita-cita memiliki tubuh yang sehat dan ideal. Namun, jangan sampai hal tersebut justru menjerumuskan Sobat ke dalam pola makan yang tidak sehat serta berbagai masalah kesehatan fisik dan mental. Upaya mencapai body goals juga sangat bisa dilakukan tanpa harus mengorbankan pemenuhan hak atas pangan dan gizi.