Pernahkah Sobat tiba-tiba merasa kehilangan banyak waktu setelah scrolling media sosial? Rasanya baru sebentar melihat cuitan di X atau menonton video vertikal di Instagram dan TikTok, namun tanpa disadari ternyata Sobat sudah membuang waktu selama berjam-jam menatap layar. Tahukah Sobat? Situasi ini disebut dengan istilah doomscrolling, salah satu bentuk dari penurunan kesejahteraan digital.
Lantas, apa itu doomscrolling? Mengutip Health, doomscrolling adalah keadaan dimana seseorang terpapar dan terdampak oleh konten-konten negatif di internet, namun justru merasa ketagihan dan sulit berhenti untuk mengkonsumsinya.
Istilah doomscrolling pertama kali mencuat di percakapan Twitter pada tahun 2018, sebelum kemudian mulai banyak digunakan pada masa pandemi COVID-19. Kamus Merriam-Webster jadi salah satu yang mempopulerkannya sebagai “istilah yang perlu diperhatikan sepanjang tahun 2020”. Sebab, gejala doomscrolling awalnya menjamur sebagai dampak dari situasi pandemi.
Dari COVID-19 ke Masalah Kesehatan Mental
Mengutip sebuah systematic review yang diterbitkan pada tahun 2024, pandemi COVID-19 telah mengakibatkan lonjakan angka penggunaan perangkat digital dan konsumsi internet. Hal ini tak terkecuali juga terjadi di Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik dikutip dari Databoks, selama masa pandemi di tahun 2020, jumlah rumah tangga pengguna internet meningkat menjadi 78,18% dari tahun sebelumnya yang sebesar 73,75%.
Situasi tersebut kemudian turut meningkatkan paparan pemberitaan negatif soal COVID-19. Di tengah kebijakan pembatasan sosial yang ketat selama pandemi COVID-19, orang-orang di terdorong untuk terus menerus membaca, menonton, mendengarkan berita tentang peristiwa bencana tersebut, agar tidak ketinggalan update terkini soal situasi krisis yang terjadi di sekitarnya maupun sekadar mencari hiburan pengalihan.
Namun, alih-alih mendapatkan informasi yang berguna untuk merespon situasi bencana, para pengguna internet justru lebih banyak terpapar informasi yang memicu rasa takut dan sedih. Nah, di sinilah titik awal doomscrolling menjadi sumber masalah kesehatan mental.
Menurut Constellation Behavioral Mental Health, doomscrolling menjadikan para korbannya rentan mengalami ketidakstabilan emosi, stress, depresi, kecemasan, gangguan tidur, dan segala emosi negatif yang bermuara pada rendahnya tingkat kepuasan hidup.
Hal tersebut juga belum termasuk dampak-dampak lanjutan yang ditimbulkannya, seperti menurunnya produktivitas, masalah kesehatan fisik, hingga waktu layar yang berlebihan. Sayangnya, alih-alih mencari pertolongan, para korban doomscrolling seringkali justru kembali lagi ke internet sebagai bentuk pengalihan diri. Hal ini menjadikan doomscrolling bagaikan lingkaran setan tak berujung.
Remaja Rentan Jadi Korban Doomscrolling
Tahukah Sobat? Remaja ternyata merupakan kelompok yang rentan menjadi korban doomscrolling, demikian menurut The Ed Psych Practice. Hal ini disebabkan karena kehidupan remaja yang sangat dekat dengan media sosial dan konsumsi internet.
Mengutip Indonesia Gen Z Report 2024 misalnya, generasi Z di Indonesia –yang saat ini kebanyakan berada dalam usia remaja– bisa menghabiskan waktu sampai 6 jam sehari hanya untuk menggunakan media sosial untuk berbagai tujuan, seperti mencari informasi terbaru, menjalin pertemanan, dan terhubung dengan influencer.
Tingginya aktivitas digital remaja juga tidak terlepas dari adiksi generasi Z terhadap format konten sekilas yang saat ini diadopsi di hampir semua platform media sosial. Masih menurut laporan yang sama, sebanyak 29% Gen Z mengaku lebih suka menonton konten video pendek, dan hanya 3% dari mereka yang suka membaca artikel.
Selain itu, menurut penelitian yang diterbitkan National Library of Medicine tahun 2023, doomscrolling juga memiliki hubungan dengan Fear of Missing Out (FOMO) – sebuah kultur yang sangat lekat dengan kehidupan anak muda. Rasa takut untuk ketinggalan tren terbaru ternyata membuat seseorang mudah kecanduan untuk membuka internet.
Penelitian tersebut juga menuturkan, bahwa doomscrolling ternyata turut disetir oleh pencarian akan sensasi dan hiburan. Konten-konten seputar komedi, drama, dan gosip –yang juga disukai remaja– memicu akselerasi hormon dopamin yang membuat seseorang merasa senang untuk terus menerus membuka internet dan tidak berdaya menghadapi jebakan doomscrolling.
Tanda-tanda Terkena Doomscrolling yang Harus Dikenali
Saking dekatnya kehidupan manusia dengan internet dan teknologi digital, terkadang tanpa disadari kita semua menjadi korban dari doomscrolling. Lantas, apa saja tanda-tanda yang bisa dikenali?
1. Sulit berhenti scrolling.
Pernahkah Sobat terus-menerus menggeser halaman media sosial dan membaca postingan, padahal secara sadar Sobat merasa kelelahan dan tidak nyaman? Bisa jadi itu tanda-tanda awal doomscrolling yang harus diwaspadai.
2. Kehilangan banyak waktu.
Tanda-tanda lainnya Sobat terkena doomscrolling adalah tidak menyadari kehilangan banyak waktu. Hal ini sering terjadi, mengingat aktivitas digital seringkali dilakoni tanpa melihat jam atau menghitung waktu yang dihabiskan.
3. Sering mengecek smartphone setiap saat.
Mengecek layar telepon pintar seringkali diperlukan untuk membaca notifikasi yang masuk atau melihat update informasi terbaru. Namun apabila hal tersebut dilakukan berulang-ulang tanpa alasan yang jelas, doomscrolling bisa jadi alasannya.
4. Mengalami gangguan kecemasan.
Seperti yang telah dijelaskan, doomscrolling berdampak pada berbagai masalah kesehatan mental. Nah, gangguan kecemasan adalah titik awalnya. Apabila Sobat merasakan gejala demikian, jangan ragu untuk menghubungi dukungan terdekat.
Bagi Sobat yang merasa terjebak dalam doomscrolling dan ingin memulai aktivitas digital yang lebih sehat, Sobat bisa membaca tulisan sebelumnya mengenai digital wellbeing di sini. Yuk, jangan biarkan teknologi mengontrolmu dan gunakan internet untuk mengambil lebih banyak manfaat positif!
Penulis: Nobertus Mario Baskoro