Peringatan: Tulisan ini mungkin dapat memicu pengalaman traumatik. Segera cari dukungan jika Sobat atau orang terdekat sedang berupaya pulih dari kekerasan.
Sebagai remaja, Sobat pasti pernah atau setidaknya mendapati teman sebaya yang terlibat di dalam relasi pacaran, bukan? Sayangnya tidak semua remaja punya kesempatan untuk menikmati hubungan pacaran yang adil. Terkadang, ada saja perlakuan pasangan yang membuat hubungan pacaran justru terasa melelahkan dan tidak sehat. Jika Sobat atau orang terdekat sedang merasakan pengalaman yang sama, bisa jadi itu adalah indikasi Kekerasan Dalam Pacaran atau KDP.
Kekerasan Dalam Pacaran adalah kekerasan yang dilakukan di dalam hubungan relasi intim di luar pernikahan. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah mendokumentasikan sebanyak 360 aduan kasus kekerasan dalam pacaran sepanjang tahun 2023. Di tahun yang sama pula, 496 kasus kekerasan dalam pacaran juga dilaporkan kepada lembaga layanan di seluruh Indonesia.
KPD sendiri memiliki permasalahan yang berlapis dan bisa berlangsung dalam berbagai bentuk, mulai dari kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, kekerasan ekonomi, hingga kekerasan berbasis pembatasan aktivitas. Berikut ini adalah beberapa contohnya, menyadur dari berbagai referensi.
1. Kekerasan Fisik.
Memukul, menampar, menendang, mencekik, dan tindakan lainnya yang berdampak pada luka fisik pada pasangan.
2. Kekerasan Psikologis.
Memberikan ancaman, mengejek seksualitas pasangan, merendahkan bentuk tubuh pasangan, dan memanggil pasangan dengan sebutan yang mempermalukan, serta ucapan verbal dan non verbal lainnya yang menyakiti pasangan secara emosional.
3. Kekerasan Seksual.
Melakukan hubungan seksual dengan pasangan tanpa persetujuan, memaksa pasangan melakukan aborsi setelah terjadi kehamilan yang tidak diinginkan, termasuk memberikan ungkapan-ungkapan seksual yang membuat pasangan tidak nyaman.
4. Kekerasan Ekonomi.
Memaksa pasangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, menolak split bill dan membebankan pengeluaran pacaran hanya pada satu orang, termasuk menekan pasangan untuk menerapkan standar gaya hidup tertentu yang berdampak pada ekonomi korban.
5. Kekerasan Berbasis Pembatasan Aktivitas.
Cemburu berlebihan, posesif, melarang pasangan bertemu dengan lawan jenis atau melakukan hobi bersama teman sebaya, mengatur-ngatur aktivitas pasangan, dan memaksa pasangan menyerahkan akun media sosial pribadinya.
Faktor Berlapis yang Menjebak Remaja pada Kekerasan Dalam Pacaran
Remaja adalah salah satu kelompok yang rentan untuk menjadi korban sekaligus juga pelaku dari Kekerasan Dalam Pacaran. Merangkum sebuah penelitian systematic review pada tahun 2020, kerentanan ini dibangun oleh faktor berlapis di level individu dengan sosial.
Pada level individu, Kekerasan Dalam Pacaran antara lain ditopang oleh beberapa faktor seperti minimnya pemahaman tentang hubungan pacaran yang sehat, masalah kepercayaan diri, serta pengalaman kekerasan di masa lalu.
1. Minimnya Pemahaman Tentang Hubungan yang Sehat.
Remaja, sekalipun sering terlibat di dalam hubungan pacaran, belum tentu memiliki cukup pengetahuan tentang cara membangun hubungan yang sehat. Kondisi ini membuat remaja rentan menjadi korban dan pelaku. Mereka terjebak sebagai korban karena kesulitan memahami tanda-tanda hubungan toksik atau sikap manipulatif dari pasangan. Mereka juga bisa menjadi pelaku karena tidak memahami bagaimana cara mengkomunikasikan perasaan (misalnya marah dan cemburu) tanpa harus melakukan kekerasan.
2. Masalah Kepercayaan Diri.
Korban Kekerasan Dalam Pacaran biasanya berhadapan dengan masalah kepercayaan diri yang rendah, membuat mereka merasa takut ditinggalkan dan terus menerus mencari validasi dari pasangannya sekalipun telah menerima kekerasan. Sebaliknya, pelaku biasanya memiliki masalah terkait kepercayaan diri yang terlalu tinggi, mendorong mereka untuk me-reproduksi superioritasnya dalam bentuk kekerasan.
3. Pengalaman Kekerasan di Masa Lalu.
Bagi remaja korban Kekerasan Dalam Pacaran, kekerasan yang pernah dialami di masa lalu membuat mereka mewarisi rasa takut untuk melawan balik pelaku ketika kembali mengalami kekerasan untuk kesekian kalinya. Sementara bagi pelaku, pengalaman kekerasan di masa lalu memicu mereka untuk mewajarkan Kekerasan Dalam Pacaran tanpa perasaan bersalah.
Sementara pada level sosial, Kekerasan Dalam Pacaran juga dilegitimasi oleh beberapa faktor, seperti penormalisasian kekerasan, lingkungan sosial yang tidak mendukung, struktur norma dan gender, serta stigma negatif.
1. Penormalisasian Kekerasan.
Remaja sering kali diajarkan untuk menormalisasikan kekerasan oleh orang-orang di sekitarnya. Misalnya, dalam konteks sebuah hubungan pacaran, kekerasan seringkali diterjemahkan sebagai afirmasi romantis dari pasangan. Akibatnya, korban Kekerasan Dalam Pacaran pun enggan untuk melawan, sementara pelaku akan terus mengulangi tindakan kekerasan yang mereka lakukan.
2. Lingkungan Sosial yang Tidak Mendukung.
Tidak semua anak atau remaja memiliki kesempatan untuk tumbuh di lingkungan yang mendukung mereka untuk berkembang. Beberapa dari mereka harus dilahirkan oleh keluarga menengah ke bawah yang biasanya kental dengan kultur kekerasan dan jauh dari akses perlindungan anak/remaja.
3. Struktur Norma Gender.
Masyarakat di Indonesia pada umumnya mempercayai sistem norma gender patriarki yang menempatkan laki-laki lebih dominan di hadapan perempuan. Struktur ini menempatkan remaja perempuan semakin rentan untuk menjadi korban Kekerasan Dalam Pacaran, dan sebaliknya, memberikan lebih banyak peluang bagi laki-laki untuk menjadi pelaku.
4. Stigma Negatif.
Di lingkungan sosial remaja, biasanya berkembang stigma negatif kepada pasangan yang gagal dalam mempertahankan hubungan pacaran. Mereka takut diremehkan, dihakimi, dan disalahkan karena dianggap telah mencampakkan pasangan. Di dalam masyarakat yang patriarki, stigma semacam ini juga lebih jamak menyasar remaja perempuan, sebab beban untuk menjaga kualitas hubungan sering kali ditempatkan hanya pada pundak perempuan.
Dampak Kekerasan Dalam Pacaran bagi Remaja yang Tidak Bisa Disepelekan
Serupa dengan kekerasan pada umumnya, Kekerasan Dalam Pacaran turut menyimpan dampak negatif, utamanya bagi remaja yang menjadi korban. Mengutip penjelasan Youth, berikut ini adalah dampak-dampak yang dialami remaja saat terlilit di dalam hubungan pacaran yang penuh kekerasan.
1. Kehilangan Rasa Aman.
Remaja tentu saja akan kehilangan rasa amannya, baik di dalam hubungan pacaran sampai dengan di lingkungan sosial. Sebagai contoh, remaja yang menjadi korban Kekerasan Dalam Pacaran biasanya menarik diri dari interaksi dengan teman sebaya. Jika seorang remaja masih dalam usia belajar, mereka juga akan enggan untuk mengikuti aktivitas di sekolah.
2. Masalah Kesehatan Mental.
Remaja yang menjadi korban Kekerasan Dalam Pacaran juga akan mengalami berbagai bentuk masalah kesehatan mental. Merasa putus asa, sedih, dan tidak bernilai, adalah perasaan-perasaan umum yang dirasakan oleh korban. Pada level berikutnya, masalah kesehatan mental juga akan berujung pada kebiasaan baru yang tidak sehat. Sebagai contoh, ketika pelaku sering merundung bentuk tubuh pasangannya, korban sering kali merasa tidak percaya diri dan impulsif menerapkan diet berbahaya.
3. Masalah Kesehatan Seksual dan Reproduksi.
Jika terjadi kekerasan seksual di dalam hubungan pacaran, bukan tak mungkin korban akan mengalami dampak seperti kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular seksual, serta kerusakan organ seksual dan reproduksi, sebagai akibat dari hubungan seksual yang dipaksakan tanpa persetujuan.
4. Relasi Ekonomi yang Tidak Setara.
Dampak ini terjadi ketika Kekerasan Dalam Pacaran yang terjadi bernuansa kekerasan ekonomi. Misalnya, korban yang dipaksa untuk membiayai keinginan pelaku akan kehilangan otonomi atas sumber daya keuangan dan terancam kesulitan memenuhi kebutuhannya sendiri. Di saat yang sama, pelaku juga akan terus menggantungkan hidupnya secara ekonomi pada korban.
5. Dampak Jangka Panjang.
Remaja yang menjadi korban Kekerasan Dalam Pacaran juga akan mengalami dampak jangka panjang. Salah satu yang paling terjadi, remaja mungkin akan terus terjebak dalam lingkaran hubungan yang toksik tanpa kesempatan untuk keluar. Hal ini terjadi terutama ketika korban terlanjur memiliki kemelekatan emosional dengan pelaku. Saat berhasil keluar pun, remaja juga mengalami krisis kepercayaan dan pada akhirnya juga kesulitan memulai ulang hubungan baru yang lebih sehat.
Jika Sobat merasa sedang mengalami kekerasan dari pasangan atau berupaya keluar dari hubungan pacaran yang toksik, jangan ragu untuk mencari dukungan yang dibutuhkan. Sobat bisa meminta pertolongan kepada seseorang yang dapat dipercaya untuk dijadikan sebagai ruang aman. Jika Kekerasan Dalam Pacaran terjadi pada orang terdekat Sobat, jangan ragu untuk memberikannya rasa aman dan membantunya untuk melaporkan kasus kekerasan.
Penulis: Nobertus Mario Baskoro.