Apa yang terpikirkan di kepala Sobat ketika mendengar kata “self-care”? Membeli produk perawatan kulit? Belanja pakaian yang masih diskon? Atau membeli kuliner lucu yang sedang viral? Sekilas, aktivitas konsumsi semacam ini memang membuat diri kita menjadi lebih bahagia. Namun Sobat perlu berhati-hati karena apabila dilakukan secara berlebihan, bisa jadi Sobat gagal menerapkan self-care dan malah terjebak ke dalam kultur konsumerisme.
Budaya konsumerisme, mengutip ensiklopedia Britannica, adalah sebuah kebiasaan untuk membeli barang-barang yang tidak melayani kebutuhan yang sebenarnya, dalam keadaan sadar atau tidak sadar, dan didorong oleh keinginan untuk mencitrakan status sosial tertentu. Menurut The Teen Magazine, remaja sering terjebak ke dalam budaya konsumerisme, namun sering kali tidak menyadari dan berlindung di balik gagasan self-care.
Mengapa bisa demikian? Penyebab utamanya adalah paparan internet yang tinggi. Tidak bisa dipungkiri, media sosial menjadi salah satu sumber godaan terbesar untuk mengeluarkan uang. Mulai dari iklan flash sale, konten promosi kuliner yang sedang viral, sampai video pendek seorang influencer yang sedang liburan mahal, semuanya bisa dijumpai dengan mudah di media sosial bahkan ketika Sobat tidak sedang mencarinya.
Hal tersebut, sejalan dengan apa yang dilaporkan oleh Gen Z Report tahun 2025. Menurut laporan ini, remaja generasi Z dan milenial mengalami banyak perubahan dalam aktivitas konsumsi, salah satunya karena kemajuan algoritma media sosial. Inovasi-inovasi pemasaran seperti targeted ads dan affiliate marketing ternyata memicu perilaku belanja impulsif berbasis kepuasan instan. Nilai transaksinya ditaksir mencapai 1,3 triliun US$ dalam setahun.
Penyebab lainnya, kembali mengutip The Teen Magazine, adalah konsep self-care yang dikomersialisasi. Sebagai contoh, produk-produk layaknya perawatan kulit maupun pakaian fast fashion sebenarnya hanya melayani kesenangan sesaat. Namun, ketika sampai di tangan industri pemasaran modern, kebutuhan-kebutuhan dangkal tersebut terdengar seperti hal yang penting dan relevan untuk dibeli. Remaja yang tidak menyadari ilusi kampanye ini tentu akan termotivasi untuk terus melakukan konsumsi kendati tidak benar-benar dibutuhkan.
Tanda-tanda Sobat Terjebak Konsumerisme Berkedok Self-Care
Menyadari jebakan budaya konsumerisme memang bukan hal yang mudah. Nah, berikut ini adalah tanda-tanda bahaya ketika Sobat terjebak ke dalam konsumerisme berkedok self-care. Tanda-tanda ini harus dikenali agar Sobat tidak melewati batas konsumsi yang sehat.
1. Merasa Selalu Harus Membeli
Pernahkah Sobat merasa percaya diri hanya saat membeli barang baru? Atau, setiap ada masalah, Sobat selalu menjadikan belanja sebagai sarana pelarian stress? Jika iya, ini adalah tanda-tanda awal kalau Sobat sedang terjebak budaya konsumerisme. Apalagi jika Sobat berpikir kalau semakin mahal harga barangnya, semakin baik self-care-nya. Itu adalah cara berpikir yang sangat keliru ya, Sobat! Self-care sejati adalah ketika Sobat mengeluarkan uang untuk sesuatu berdampak baik pada kesehatan fisik maupun mental secara jangka panjang.
2. Terobsesi dengan Tren yang Sedang Viral
Jika Sobat sering mengeluarkan uang hanya untuk pakaian, kuliner, atau skincare yang sedang ramai di media sosial, ini juga adalah tanda-tanda konsumerisme yang patut disadari. Terlebih apabila Sobat melakukannya bukan karena butuh, melainkan karena alasan yang dangkal, misalnya agar diperhatikan oleh orang-orang di sekitar, khawatir ketinggalan hype, atau mengikuti gaya hidup influencer favorit. Self-care sejati harus dilatarbelakangi oleh kebutuhan nyata, bukan obsesi untuk mengikuti tren sesaat.
3. Pengeluaran Keinginan Lebih Banyak Ketimbang Kebutuhan
Coba perhatian catatan keuangan Sobat. Mana yang lebih besar, pengeluaran untuk kebutuhan atau untuk keinginan? Jika pengeluaran untuk keinginan jumlahnya paling mendominasi, berarti sudah saatnya untuk memperbaiki perilaku konsumsi Sobat. Terlebih kalau Sobat sudah sering mengorbankan keuangan (misalnya menggunakan pay later) demi membeli barang yang tidak benar-benar dibutuhkan. Self-care sejati haruslah menyenangkan dan tidak meninggalkan penyesalan atau stress finansial.
4. Lebih Mempedulikan Estetika Luar Daripada Perkembangan Diri
Sobat Remaja yang terjebak ke dalam budaya konsumerisme akan menghabiskan lebih banyak uang untuk membeli barang dan melupakan kesejahteraan di dalam diri. Misalnya saja, Sobat bisa jadi membayar lebih mahal untuk membeli skincare baru setiap bulannya ketimbang memenuhi kebutuhan dasar seperti membeli makanan bergizi sehari-hari. Jika Sobat merasa punya pengalaman yang sama, yuk kurangi pelan-pelan! Self-care sejati adalah soal menjadi bahagia luar dan dalam.
Self-Care Tidak Harus Mengonsumsi!
Lantas, apalah self-care berarti harus membeli? Jika merujuk Organisasi Kesehatan Dunia, self-care sendiri adalah praktik menjaga dan meningkatkan kondisi kesehatannya, baik kesehatan fisik atau kesehatan mental, tanpa mengharuskan dukungan langsung dari pekerja kesehatan. Berdasarkan definisi ini, terlihat kalau self-care sebenarnya adalah sesuatu yang cair dan tidak selalu lekat dengan konsumsi.
Dengan kata lain, membeli sesuatu hanya satu dari sekian banyak metode self-care. Demikian pula, mencintai diri sendiri tidak harus dilakukan dengan membeli barang. Sobat sangat boleh untuk menentukan sendiri metode self-care yang sehat tanpa harus mengeluarkan banyak uang atau terjebak ke dalam konsumerisme. Seperti apa contohnya?
1. Self-Care Fisik
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan dalam rangka menerapkan self-care fisik, seperti tidur yang cukup minimal 7 jam per hari, makan makanan yang seimbang dan bergizi, minum air putih yang cukup dan kurangi asupan pemanis, olahraga secara rutin, hingga melakukan perawatan kulit secara sederhana tanpa bergantung pada produk skincare yang sedang tren.
2. Self-Care Mental
Untuk menjaga mental tetap sehat, Sobat bisa mencoba menerapkan journaling, yakni menulis perasaan, tujuan, dan hal-hal yang sedang disyukuri. Selain itu, Sobat juga bisa membaca buku yang menginspirasi dan memberikan wawasan baru, serta mengikuti sesi meditasi dan latihan pernafasan bersama orang-orang terdekat. Dan yang tidak kalah penting adalah mengurangi screen time dan penggunaan gawai.
3. Self-Care Emosional
Self-care yang satu ini tujuannya adalah untuk mengelola perasaan. Misalnya adalah dengan mengekspresikan diri lewat seni seperti menggambar atau bermain musik; curhat bersama keluarga, teman, atau orang yang bisa dipercaya; belajar untuk mengatakan tidak kepada segala sesuatu yang toksik; maupun memuji usaha dan pencapaian diri sendiri.
4. Self-Care Spiritual
Terkadang, sehat secara fisik dan mental saja tidak cukup. Sobat juga boleh mencoba pendekatan self-care spiritual, misalnya seperti melamun sambil melakukan refleksi diri; menghabiskan waktu berinteraksi dengan alam; serta mendengarkan musik yang dirasa menenangkan jiwa.
5. Self-Care Sosial
Terakhir adalah self-care sosial yang tujuannya untuk menjaga hubungan baik dengan orang-orang di sekitar. Beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain menghabiskan waktu berkualitas dengan keluarga maupun teman; memprioritaskan interaksi luring daripada daring, mencari dukungan positif dengan cara terlibat di dalam komunitas tertentu, hingga bergabung dengan gerakan relawan.
Self-care yang sesungguhnya bukan tentang berapa banyak barang yang dimiliki, tetapi bagaimana Sobat bisa merawat kesehatan fisik dan mental jangka panjang. Apabila upaya mencintai diri sendiri justru membuat keuangan boros dan tidak percaya diri, maka jelas itu bukan self-care, melainkan jebakan konsumerisme. Yuk cintai diri sendiri dengan cara yang nyaman dan menyehatkan!
Penulis: Nobertus Mario Baskoro