Dilema Bystander dalam Cyberbullying: Diam atau Bertindak? 

Bystander dalam cyberbullying

Sebagai remaja yang aktif bermedia sosial, Sobat tentu pernah melihat kejadian cyberbullying di media sosial, kan? Entah itu dalam bentuk body shaming, saling serang argumen personal, ataupun menyebarkan rumor negatif tentang seseorang. Ketika menyaksikan hal tersebut, tindakan apa yang Sobat lakukan? Ikut menambah panas suasana, melerai, atau justru diam tanpa berbuat apa-apa? Hati-hati, Sobat bisa saja menjadi bystander, lho!

Bystander atau dalam bahasa Indonesia ‘pengamat’ dalam cyberbullying adalah individu yang menyaksikan atau mengetahui tindakan cyberbullying, tapi tidak secara langsung terlibat dalam tindakan tersebut, baik sebagai korban maupun pelaku. Fenomena bystanding ini sangat sering terjadi pada tindakan cyberbullying.

Studi yang dilakukan oleh Zakiyah dan Hajar (2024) pada remaja SMP menunjukkan bahwa platform media sosial yang paling banyak menjadi tempat remaja menjadi bystander adalah TikTok, kemudian disusul oleh Instagram, X, WhatsApp, dan Facebook pada posisi terakhir. Meski tidak terlibat secara langsung pada cyberbullying, tetapi keberadaan bystander ini bisa sangat mempengaruhi perilaku cyberbullying, lho. Kok bisa, sih? 

Bystander dalam cyberbullying
Sumber: Pinterest

Penelitian oleh Jia (2022) menemukan bahwa 59 hingga 70% mahasiswa telah menyaksikan cyberbullying di media sosial. Sayangnya, kebanyakan orang memilih untuk tetap menjadi ‘orang luar’ dan membiarkan cyberbullying tersebut berlanjut. Nah, dengan tidak menyatakan sikap negatif atau positif pada cyberbullying, kondisi ini membuat pelaku merasa tidak ada konsekuensi dari perbuatannya dan tidak ada intervensi untuk menghentikan perilakunya. Oleh karena itu, pelaku semakin merasa tidak bersalah untuk melanjutkan cyberbullying yang dilakukannya.

Gender dalam Bystander 

Sobat tahu nggak kalau ternyata ada pengaruh gender juga dalam fenomena bystander, lho. Beberapa penelitian (Jenkins & Nickerson, 2017; Panumaporn, 2020) menunjukkan bahwa perempuan lebih sering terlibat dalam intervensi atau upaya untuk menghentikan perilaku bullying. Hal ini dapat dijelaskan melalui teori peran sosial yang menyatakan bahwa peran dan harapan masyarakat terhadap perilaku individu didasarkan pada jenis kelamin seseorang. 

Perempuan seringkali diasosiasikan dengan karakteristik seperti empati dan kepedulian sehingga mereka diharapkan lebih responsif untuk terlibat dalam situasi yang membutuhkan perhatian atau bantuan seperti kasus cyberbullying. Nah, peran sosial ini dapat mendorong perempuan untuk menunjukkan kepedulian dengan mencoba menghentikan konflik. 

Harapan sosial menempatkan perempuan dalam peran sebagai pelindung atau pemberi dukungan bagi korban cyberbullying. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa konstruksi sosial mengenai peran gender dapat mempengaruhi posisi bystander dalam kasus cyberbullying. Akibatnya, perempuan lebih mungkin untuk berinisiatif menghentikan perilaku bullying, sementara laki-laki cenderung bersikap pasif  sesuai dengan norma maskulin yang ada.

Lima Jenis Bystander dalam Cyberbullying 

Berdasarkan tipe respons terhadap cyberbullying, bystander terdiri dari tiga tipe (Huang, 2019) yang perlu Sobat ketahui. Pertama adalah defender (pembela) yang bertindak sebagai pelindung bagi korban, kedua adalah reinforcer (penguat) yang justru memberikan dukungan kepada pelaku untuk semakin agresif kepada korban, dan ketiga adalah outsider (penonton) yang memilih untuk tidak melakukan apa-apa ketika melihat cyberbullying

Namun, posisi bystander ternyata tidak sesederhana itu saja. Studi bertahun-tahun terhadap bystander mengemukakan bahwa ada lima kelompok utama dalam bystander dalam cyberbullying (Jia et al, 2022). Berikut merupakan penjelasannya: 

  • Defensive Bystander

Bystander ini cenderung proaktif dalam melindungi korban, baik di dunia maya maupun interaksi langsung. Mereka berani bertindak untuk menghentikan perilaku bullying karena merasa ada kewajiban moral untuk melindungi korban dari perilaku kasar. Contohnya adalah seorang remaja yang melihat ada komentar kasar di akun media sosial temannya, dia memberikan respons membela dengan melaporkan komentar negatif itu ke platform media sosial. 

  • Indifferent Bystander

Bystander ini tidak peduli dan tidak tertarik untuk terlibat dalam situasi cyberbullying. Mereka cenderung pasif karena menganggap masalah ini bukan urusan mereka. Contohnya adalah seorang remaja yang lanjut scrolling tanpa memberikan respons atau berpikir dua kali ketika melihat komentar kasar di postingan media sosial temannya. 

  • Low-Involved Bystander

Bystander ini cenderung tidak terlibat dalam situasi cyberbullying karena merasa tidak memiliki kemampuan untuk membantu atau bisa juga takut akan konsekuensi yang mungkin diterimanya. Contohnya adalah seorang remaja yang merasa kasihan dan ingin membantu korban ketika melihat cyberbullying, tapi pada akhirnya memilih untuk tidak campur tangan karena takut akan balasan negatif dari pelaku lain. 

  • Medium-Involved Bystander

Bystander ini mengetahui situasi cyberbullying, tetapi tidak secara aktif melindungi korban. Mereka mungkin memiliki rasa empati, tetapi sering kali terpengaruh oleh suasana atau emosi yang mendasari situasi cyberbullying. Contohnya adalah ketika ada seorang teman yang di-bully di sebuah grup obrolan, remaja tidak langsung membela teman tersebut, tetapi mereka akan mengirim pesan dukungan secara pribadi kepada korban atau mencoba mengalihkan pembicaraan dalam grup agar topiknya tidak lagi pada bullying

  • High-Involved Bystander 

Bystander yang satu ini sangat terlibat dalam situasi cyberbullying, baik pada pihak korban maupun pihak pelaku. Karena cenderung sangat emosional, mereka akan cepat tanggap dalam merespons tindakan cyberbullying. Contohnya adalah ketika melihat postingan yang mem-bully seseorang, mereka akan menulis komentar untuk mengkritik pelaku atau bahkan mengajak orang lain untuk menentang pelaku secara bersama-sama. Namun, ketika mereka berada di pihak pelaku, mereka bisa memperburuk keadaan dengan menertawakan korban. 

Faktor Penyebab Bystander dalam Cyberbullying

Wah, ternyata bystander ini banyak bentuknya ya, Sobat. Lalu, kira-kira kenapa sih bystander ini bisa muncul? Ada beberapa alasan yang mendasari, lho. Berikut penjelasannya:

  • Norma sosial dan tekanan kelompok. Dalam situasi cyberbullying, jika bystander merasa tidak ada orang atau sekelompok orang yang bertindak terhadap tindakan perundungan, mereka akan cenderung mengikuti norma ini dan memilih diam. Mereka mungkin merasa jika mereka bertindak, mereka akan dianggap aneh atau terlalu mencampuri urusan orang lain, hal ini dikenal sebagai pluralistic ignorance.
  • Fenomena anonimitas. Ternyata, anonimitas tidak hanya dapat menjadi penyebab cyberbullying, tetapi juga seseorang menjadi bystander. Ketika seseorang merasa anonim, mereka merasa tidak ada tanggung jawab atau risiko yang terkait dengan tindakan mereka. Anonimitas dapat mengurangi rasa kesadaran diri yang menyebabkan mereka lebih mudah untuk mengikuti norma kelompok yang pasif. 
  • Jumlah bystander lain. Hal ini berkaitan dengan efek bystander, yakni semakin banyak bystander yang diam, semakin besar pula kemungkinan seseorang untuk tidak bertindak. Kondisi ini bisa terjadi karena ketika ada banyak orang yang melihat kejadian yang sama, setiap orang akan merasa bahwa akan ada orang lain yang lebih layak/berani untuk membantu. Jadi, dalam skala besar, mereka merasa tidak bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu. 

Nah, Sobat, setelah memahami bagaimana bystander ini bisa muncul dalam cyberbullying, tentu Sobat akan bertanya-tanya tentang tindakan yang harus dilakukan untuk menghindari sikap bystander. Tenang, artikel selanjutnya akan membahas langkah-langkah konkret untuk menghindari sikap bystander dan menjadi pembela yang aktif dalam menghadapi cyberbullying.  

Namun, satu hal yang harus kita ingat adalah peran kita sangat berarti dalam menciptakan lingkungan digital yang lebih aman dan positif bagi semua orang. Jangan lupa untuk selalu peduli serta berani bersikap demi kebaikan bersama, ya, Sobat!

Referensi: 

Halimah, A., Khumas, A., & Zainuddin, K. (2015). Persepsi pada Bystander terhadap Intensitas Bullying pada Siswa SMP. Jurnal Psikologi, 42(2), 129. https://doi.org/10.22146/jpsi.7168

Huang, C. L., Yang, S. C., and Hsieh, L. S. (2019). The cyberbullying behavior of adolescents in an online gaming environment. Child. Youth Serv. Rev. 106, 1–10. doi: 10.1016/j.childyouth.2019.104461 

Aulia, S. (2023). Mengenal Bystander Effect dalam Bullying. Kompasiana. https://www.kompasiana.com/suciaulias/640236234addee7baa63dab2/mengenal-bystander-effect-dalam-bullying?page=2&page_images=1

Jenkins, L. N., & Nickerson, A. B. (2017). Bullying participant roles and gender as predictors of bystander intervention. Aggressive behavior, 43(3), 281-290.

Jia, Y., Wu, Y., Jin, T., & Zhang, L. (2022). How are bystanders involved in cyberbullying? A latent class analysis of the Cyberbystander and their characteristics in different intervention stages. International journal of environmental research and public health, 19(23), 16083.

Panumaporn, J., Hongsanguansri, S., Atsariyasing, W., & Kiatrungrit, K. (2020). Bystanders’ behaviours and associated factors in cyberbullying. General psychiatry, 33(3).

Polanco-Levicán, K., & Salvo-Garrido, S. (2021). Bystander roles in cyberbullying: A mini-review of who, how many, and why. Frontiers in psychology, 12, 676787.

Sela-Shayovitz, R., Levy, M., & Hasson, J. (2024). The role of self-control in cyberbullying bystander behavior. Social Sciences, 13(1), 64.

You, L., & Lee, Y. H. (2019). The bystander effect in cyberbullying on social network sites: Anonymity, group size, and intervention intentions. Telematics and Informatics, 45, 101284. https://doi.org/10.1016/j.tele.2019.101284

Zakiyah, Z., & Hajar, S. (2024). Karakteristik Pengamat (Bystander) Cyberbullying Pada Siswa di Sekolah Menengah Kejuruan. Al-Ittizaan: Jurnal Bimbingan Konseling Islam, 7(1), 29-36. https://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/alittizaan/article/view/30252/10758

 

Facebook
X
Threads
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Event Kami

Ruang Kata 4

Artikel Populer

Artikel Terkait

Translate »