Saat sedang asyik-asyik menjelajah media sosial, tiba-tiba Sobat menemukan pakaian unik yang sedang viral. Karena banyak orang yang memamerkan barang serupa, Sobat juga ingin membelinya karena merasa takut ketinggalan tren. Setelah membeli, ternyata popularitas pakaian tersebut tidak berlangsung lama. Pakaian yang dibeli dengan uang yang tidak sedikit hanya sempat dipakai sebentar dan cuma berujung penyesalan.
Sobat pasti setuju kan? Kalau itu adalah contoh perilaku konsumsi yang tidak menyehatkan. Seperti yang pernah dibahas sebelumnya, remaja rentan terjebak ke dalam budaya konsumtif yang tidak menyehatkan. Tahukah Sobat? Budaya konsumtif ternyata punya hubungan yang erat dengan beberapa kultur di dalam kehidupan remaja, sebut saja seperti Fear of Missing Out (FOMO) dan You Only Live Once (YOLO).
FOMO sendiri, mengutip Very Well Mind, merupakan perasaan cemas bahwa orang-orang lebih bersenang-senang dan menjalani kehidupan yang lebih baik daripada diri sendiri. Sementara YOLO, menurut kamus Cambridge berarti kalau kita harus melakukan hal-hal yang menyenangkan dan mengasyikan, meskipun mungkin bisa memberikan dampak yang buruk. Alasannya, karena hidup cuma sekali sehingga kita harus melakukan apapun yang kita mau.
Relasi yang erat antara budaya konsumtif dengan FOMO dan YOLO salah satunya pernah dielaborasi di dalam penelitian milik Ningtyas dan Vania (2022). Menurut penelitian tersebut, kultur FOMO menciptakan semacam tekanan sosial agar kita selalu membeli barang yang sedang banyak dibeli oleh orang-orang agar tetap dianggap relevan. Demikian juga dengan YOLO yang ternyata juga mendorong belanja impulsif lewat ketakutan akan kehabisan barang yang sedang ramai dibeli di pasaran.
“FOMO vs JOMO” dan “YOLO vs YONO”
Beberapa waktu terakhir, Sobat pasti pernah mendengar istilah JOMO atau Joy of Missing Out (senang ketinggalan). Sederhananya, JOMO sendiri merupakan wacana tandingan dari FOMO. Menurut Psychology Today, wacana JOMO mengajak kita untuk menerima, bersyukur, dan menghargai hidup dan segala sesuatu yang kita miliki saat ini.
Selain JOMO, juga ada wacana tandingan lainnya, yakni YONO atau You Only Need One (kamu hanya butuh satu) sebagai kebalikan dari YOLO. Mengutip ulasan Good News from Indonesia, wacana yang diperkenalkan oleh generasi Z di Indonesia pada tahun 2025 ini mengajak kita untuk hidup minimalis dan berfokus pada kebutuhan yang esensial dan berkelanjutan.
Di dalam dunia konsumsi, menjadi JOMO dan YONO berarti berhenti menjadi individu yang konsumtif demi mengejar tren dan euforia sesaat. Namun, bukan berarti Sobat sama sekali tidak boleh membeli barang. Sebaliknya, kedua nilai tersebut mengajarkan kita untuk lebih sadar dalam berbelanja dan membeli sesuatu yang memang benar-benar dibutuhkan serta tidak dengan cara yang impulsif.
Lantas, apa yang bisa Sobat remaja lakukan untuk menerapkan JOMO dan YONO demi menekan kebiasaan belanja impulsif?
1. Buat Daftar Belanja dan Patuhi
Sebelum pergi mengunjungi pusat perbelanjaan, buatlah daftar barang yang benar-benar dibutuhkan. Jika di tengah berbelanja Sobat tertarik pada barang di luar daftar, tunda pembelian selama beberapa waktu, misalnya 24 jam atau seminggu.
Setelah itu, Sobat akan segera mengetahui apakah barang yang dimaksud memang dibutuhkan atau sekadar menarik perhatian sesaat. Jika ternyata benar dibutuhkan, Sobat bisa kembali ke pusat perbelanjaan untuk membelinya.
2. Kurangi Paparan Konten Konsumtif
Belanja impulsif akibat FOMO sering kali dimotivasi oleh konten-konten konsumtif di media sosial. Karena itu, Sobat kemudian bisa mulai mengurangi perjumpaan dengan konten-konten yang serupa. Jika dirasa kesulitan, Sobat bisa menyesuaikan algoritma konten di media sosial.
Misalnya dengan cara memilih opsi “tidak tertarik” setiap menemukan konten-konten yang mengajak untuk mengonsumsi. Selain itu juga bisa dengan mengikuti akun-akun tentang mindfulness agar algoritma media sosial Sobat bisa menyesuaikan dengan sendirinya.
3. Fokus pada Pengalaman, Bukan Barang
Belanja impulsif biasanya bermuara pada konsumsi barang. Dengan demikian untuk menguranginya, Sobat bisa mulai belajar untuk berfokus pada aktivitas konsumsi yang sifatnya mengarah pada pengalaman. Misal, mengunjungi tempat bernuansa alam, berolahraga, membaca buku, atau menghabiskan waktu berkualitas dengan keluarga dan teman.
4. Kenali Pemicu Belanja Impulsif
Apa yang membuat Sobat mudah melakukan belanja impulsif? Apakah stress? Bosan? Atau perasaan kurang percaya diri? Apapun itu hanya Sobat yang bisa mengetahuinya. Dalam hal ini, Sobat bisa berefleksi dan menyelami diri sendiri.
Setelah itu, Sobat kemudian bisa mencari solusi yang tepat. Sebagai contoh, apabila akar masalahnya adalah stress atau depresi, Sobat bisa mencoba melakukan meditasi, berolahraga, atau menghubungi profesional jika dirasa sudah berada di kondisi yang tidak menyehatkan.
5. Belajar Menghargai Apa yang Dimiliki
Tertarik membeli barang baru? Boleh saja! Tapi sebelum itu, coba lihat kembali barang yang sudah dimiliki dan cari cara untuk memaksimalkannya. Misalnya, ketika Sobat ingin mengoleksi skincare baru, pastikan koleksi yang lama sudah digunakan sampai benar-benar habis. Contoh lainnya, Sobat juga bisa belajar untuk merawat barang-barang lama dengan baik untuk menunda pembelian barang baru.
Manfaat di Balik Menjadi JOMO dan YONO
Menerapkan JOMO dan YONO bukan hanya akan membantu Sobat dalam mengubah perilaku konsumsi yang lebih baik, tetapi juga menyimpan banyak manfaat yang menyehatkan. Apa sajakah itu?
1. Mengurangi Belanja Impulsif dan Hemat Uang
Menjadi JOMO dan YONO berarti mengharuskan Sobat untuk menerapkan konsumsi yang lebih sehat, dan memprioritaskan pembelian barang-barang yang sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian, secara tidak langsung Sobat belajar untuk mengurangi belanja impulsif. Uang yang sebelumnya mungkin sering dihabiskan untuk berbelanja, bisa dialihkan untuk investasi atau pengeluaran self-care yang lebih bermanfaat.
2. Menjaga Kesehatan Mental dan Mengurangi Stres
Selain keluar dari lingkaran budaya konsumsi yang toksik, menjadi JOMO dan YONO juga memungkinkan Sobat untuk membebaskan diri dari tekanan sosial mengikuti tren atau membeli sesuatu yang sedang viral. Apabila hal ini terus menerus dipertahankan, Sobat juga akan mendapatkan manfaat kondisi kesehatan mental yang lebih baik.
3. Meningkatkan Kesadaran dan Kontrol Diri
Lebih lanjut, menjadi JOMO dan YONO juga berarti melatih diri Sobat untuk mengatur prioritas konsumsi. Misalnya, semakin sering Sobat menanamkan kebiasaan membuat daftar belanja dan mengatur arus pengeluaran, Sobat juga akan menjadi lebih sadar akan setiap hal yang dikonsumsi serta memperhatikan dampaknya bagi kesehatan jangka panjang.
4. Menikmati Hidup Lebih Bahagia
Dampak baik lainnya, Sobat juga akan dengan mudah menemukan sumber-sumber alternatif untuk mendapatkan kebahagiaan. Jika sebelumnya Sobat mungkin harus selalu mendapatkan kebahagiaan dari kepemilikan barang, dengan menjadi JOMO dan YONO, Sobat akan dengan mudah kebahagiaan sesungguhnya dari kegiatan-kegiatan yang lebih bermakna.
5. Membantu Gaya Hidup yang Lebih Berkelanjutan
Terakhir, dengan menerapkan nilai JOMO dan YONO, Sobat secara tidak langsung turut berkontribusi terhadap gaya hidup yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Dengan memaksimalkan dan merawat barang lama, Sobat otomatis juga mengurangi konsumsi berlebihan yang sering kali bermuara pada bertambahnya limbah maupun kerusakan lingkungan.
Nah, itu dia sedikit penjelasan tentang apa itu FOMO dan YOLO, bagaimana kedua nilai ini membentuk budaya konsumtif Sobat remaja, serta bagaimana cara menjadi JOMO dan YONO untuk melawannya.
YONO dan JOMO bukan hanya sekadar menjauhkan diri dari tekanan mengikuti tren atau mengejar kesenangan dangkal, tetapi juga mengubah budaya konsumsi ke arah yang lebih baik dan menyehatkan. Jadi, apakah Sobat siap untuk mulai menikmati hidup dengan menjadi JOMO dan YONO? Yuk, mulai sekarang latih kebiasaan belanja yang lebih sehat dan cerdas!
Penulis: Nobertus Mario Baskoro