Mari kita lakukan sebuah latihan, Sobat. Ingat kembali saat terakhir kali kamu merasa kesal atau marah dengan seorang teman, teman sekelas, atau anggota keluarga. Apa yang kamu katakan? Apakah kamu mengatakan sesuatu kepada mereka?
Atau apakah kamu membiarkannya berlalu, dalam upaya menghindari konflik?
Jika yang terakhir terasa relevan, kamu tidak sendirian. Keinginan untuk menghindari konflik dan terlihat disukai adalah hal yang dialami oleh banyak remaja perempuan di Indonesia dan dunia. Namun, jika dibiarkan, pola pikir ini dapat memiliki efek negatif pada hubungan dan peluang dalam kehidupan pribadi dan profesional, serta pada kesehatan mental.
Jadi, dari mana pola pikir ini berasal, dan bagaimana kita bisa mengatasinya? Untuk itu, teruslah membaca untuk menemukan jawabannya dan memulai perjalanan keberanian ini bersama-sama!
Pola Pikir Kesempurnaan
Dalam bukunya Brave, Not Perfect, Reshma Saujani membahas bagaimana sejak lahir, perempuan dan laki-laki dipersiapkan dengan cara yang berbeda. Di satu sisi, perempuan diajarkan untuk menjadi ‘sempurna’—untuk bersikap sopan dan baik serta menempatkan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan mereka sendiri.
Di sisi lain, laki-laki justru didorong untuk bermain lebih berat, jatuh dengan keras, dan kemudian bangkit kembali. Dorongan awal untuk mengeksplorasi ini memungkinkan mereka memasuki masa dewasa dengan penuh kesiapan untuk keluar dari zona nyaman dan mengambil risiko, sementara perempuan masih berusaha untuk mencari tahu segalanya.
Perbedaannya adalah, sementara perempuan bisa sangat rajin, banyak yang terlalu takut akan ketidaksempurnaan—takut melakukan kesalahan, takut mencoba sesuatu yang tidak mereka ketahui—untuk melangkah keluar dari zona nyaman mereka dan mengambil risiko.
Sekolah dan Lingkaran Sukses
Jika pola pikir ini begitu negatif, mengapa sering kali didorong dan diyakini? Salah satu faktor terbesar yang memengaruhi hal ini adalah sekolah (Saujani, 2019).
Di sekolah, siswa dipuji karena ketekunan dan kesopanan mereka. Mematuhi semua aturan, mendapatkan nilai baik—itulah yang menjadikan seorang siswa sempurna. Dan remaja perempuan sangat mahir dalam hal itu. Penelitian menunjukkan bahwa remaja perempuan unggul dan rata-rata lebih baik dalam belajar dibandingkan remaja laki-laki. Menurut suatu studi, remaja perempuan lebih sering “kooperatif” dan memiliki “minat yang lebih besar untuk belajar” (Arsendy, 2021). Bagi remaja perempuan yang mengikuti pola pikir ini, sepertinya dunia mereka memberi imbalan kepada mereka dengan rapor yang mengesankan dan pujian, sehingga siklus ini terus berlanjut.
Salah satu perempuan yang diwawancarai dalam buku Saujani merangkumnya dengan sempurna: “Bagaimana saya tidak berusaha untuk menjadi sempurna, ketika dunia memberi imbalan untuk kesempurnaan?”
Tetapi kenyataannya, dunia yang dia bicarakan hanyalah lingkungan di mana remaja perempuan tumbuh selama tahun-tahun sekolah mereka. Masalah muncul ketika remaja perempuan ini memasuki dunia dewasa hanya untuk menemukan bahwa sifat-sifat yang sama ini tidak lagi bernilai. Remaja perempuan yang terlibat dan cerdas bertransisi menjadi perempuan yang tidak dapat membela diri saat menghadapi diskriminasi, yang kesulitan untuk menyuarakan pendapat mereka yang jujur, yang terlalu berhati-hati dalam mengambil risiko, dan yang terlalu khawatir tentang apa yang dipikirkan orang lain tentang mereka sehingga tidak bisa benar-benar menikmati dan menjalani hidup mereka sepenuhnya.
Salah satu kutipan terkenal oleh psikolog Carol Dweck berbunyi, “Jika hidup adalah satu sekolah dasar yang panjang, remaja perempuan akan menguasai dunia.” Namun, kenyataannya tidak demikian; dan dengan terjebak dalam anggapan bahwa itu adalah kenyataan, kita membatasi potensi kita dan merugikan diri sendiri serta hubungan kita.
Lebih Banyak Dampak Buruk: Efek Negatif dari Mengejar Kesempurnaan
Dalam cara apa lagi pola pikir ini berbahaya? Cek daftar di bawah ini untuk memahami beberapa hasil negatif dari pola pikir ini.
- Bermain Aman.
Tanpa belajar bagaimana mengambil risiko dalam lingkungan yang aman, banyak perempuan memutuskan untuk melakukan yang terbaik yang mereka bisa dalam situasi mereka tanpa meraih sesuatu di luar apa yang mereka nyaman. Ini sering kali menyebabkan perempuan mengabaikan tujuan mereka demi apa yang aman dan apa yang mereka tahu bisa mereka kuasai.
- Kekhawatiran Konstan/Mencari Persetujuan Orang Lain.
Pola pikir ini juga menyebabkan banyak perempuan tumbuh dengan kebutuhan terprogram untuk menyenangkan orang lain. Akibatnya, mereka sering khawatir tentang bagaimana orang lain mungkin memandang tindakan mereka, yang mengakibatkan beban mental tambahan yang bisa membuat mereka kelelahan dan teralihkan.
- Kurangnya Representasi Perempuan di Industri yang Secara Tradisional dikuasai Laki-Laki.
Sebagai hasil dari peran gender yang melemah tetapi masih ada di dalam masyarakat Indonesia, posisi seperti di bidang pendidikan dan layanan rumah tangga lebih dinormalisasi dan didorong untuk remaja perempuan. Akibatnya, remaja perempuan yang dibesarkan untuk mengikuti pola pikir kesempurnaan ini lebih cenderung mengikuti norma tersebut, seringkali tanpa mempertimbangkan secara serius atau melihat diri mereka menjelajahi jalur karier yang kurang umum.
Inilah sebabnya mengapa kita melihat sedikit kemajuan dalam industri yang secara tradisional didominasi laki-laki seperti STEM dan pekerjaan terkait tenaga kerja. Ketimpangan gender ini terlihat jelas dalam grafik persentase sektor pekerjaan perempuan dan laki-laki di bawah, yang menunjukkan bahwa perempuan mendominasi di sektor pendidikan dan industri yang terkait dengan layanan, sementara mereka tertinggal di sektor lainnya.
Selain itu, Dokumenter Indonesian Women in Science and Technology oleh GIZ menyatakan bahwa “persentase siswa perempuan di sekolah vokasi berbasis STEM (Pendinginan & AC, Permesinan, dan Teknik Kendaraan Ringan) hanya 2% dibandingkan hampir 98% siswa laki-laki di kelas X, XI, XII, dan XIII.” Universitas lain mengumpulkan data antara 2007 dan 2016 “yang menunjukkan bahwa selama tiga tahun, tidak ada perempuan sama sekali di Departemen Teknik Mesin” (Yayasan Jurnal Perempuan [YJP], 2016).
- Kesulitan Mendapatkan Promosi.
- Perempuan juga cenderung kurang terlihat dalam peran kepemimpinan. Hal ini berasal dari persepsi publik tentang apa yang seharusnya menjadi peran perempuan dalam masyarakat, tetapi juga diperpetuasi oleh kurangnya ambisi yang tampak dari perempuan akibat pola pikir ‘kesempurnaan’ ini. Mereka cenderung terjaga di bayang-bayang, yang kemudian terus mendorong generasi perempuan baru yang tidak memiliki model peran yang jelas untuk diikuti.
Interseksionalitas: Menjadi Remaja Perempuan Indonesia
Pola pikir ini dapat ditemukan di seluruh dunia, bahkan di negara-negara di mana ketidaksetaraan gender diakui dan ditangani secara luas.
Namun, kekuatan pola pikir ini bervariasi dari negara ke negara, dan sangat relevan di Indonesia akibat keyakinan yang telah lama ada mengenai peran perempuan dalam masyarakat. Hubungan ini adalah contoh interseksionalitas, sebuah istilah dalam sosiologi yang merujuk pada bagaimana setiap orang mengalami kombinasi diskriminasi berdasarkan kombinasi identitas mereka (Coombes, 2020).
Meskipun Indonesia telah melihat kemajuan dalam hal kesetaraan gender, masih ada banyak pemikiran tradisional mengenai apa yang seharusnya menjadi peran mereka dalam masyarakat. Secara tradisional, perempuan di sebagian besar bagian Indonesia dipandang bekerja lebih domestik, dan tidak ‘ditakdirkan’ untuk mengambil risiko. Secara historis, citra ini telah diperkuat melalui media. Hal ini terutama berlaku selama Era Orde Baru, ketika terjadi gelombang Ibuisme Negara: gagasan bahwa perempuan seharusnya berada di ranah domestik dan melayani masyarakat dengan baik sebagai istri dan ibu (Giannopoulos, 2024).
Dengan demikian, penting untuk diakui bahwa meskipun pengalaman perempuan ini dibagikan secara internasional, ada kombinasi unik di Indonesia yang mungkin membuatnya lebih sulit bagi perempuan muda untuk mengakses pola pikir keberanian ini. Meskipun demikian, sangat penting untuk berusaha menuju cara berpikir ini dan melawan stereotip ini satu tindakan berani sekaligus.
Menjadi Berani
Menjadi berani bukanlah sesuatu yang bisa kamu lakukan dalam semalam, dan itu tidak berarti melakukan sesuatu yang besar. Keberanian itu seperti otot; sehingga sesuatu yang perlu kamu latih, dan seringkali. Dan itu dimulai dari interaksi sehari-hari. Itu dimulai dengan mencoba sesuatu yang baru, bahkan jika itu hanya rasa kopi. Itu dimulai dengan memberi tahu seorang teman bahwa sesuatu yang mereka lakukan membuatmu tidak nyaman, alih-alih mencoba menghindari konflik. Itu dimulai dengan mengundang ketidaksempurnaan, dan dengan terus berusaha untuk memperbaiki diri.
Tetapi, bagaimana kamu benar-benar mempraktikkan keberanian? Ayo, mari kita latih otot keberanian kita bersama! Lihat strategi di bawah ini dan pilih satu untuk dilakukan mulai hari ini. Jangan ragu untuk mencoba yang lain juga dan lihat mana yang cocok untukmu!
Strategi & Latihan
- Fokus pada Kesehatan
Menjadi berani membutuhkan fokus dan kerja keras; itu membutuhkan penggantian apa yang telah kita ajarkan sebagai benar sejak usia muda. Jadi, yang paling penting adalah memastikan kamu memiliki energi untuk berani sejak awal, yang bisa kamu lakukan dengan merawat diri sendiri. Menghidrasi, makan dengan baik, mendapatkan tidur yang cukup, praktik mindfulness, dan tetap aktif dapat membantu membuat sisa proses ini lebih mudah.
- Menggunakan “belum”
Alih-alih berpikir dalam istilah absolut—Saya tidak percaya diri. Saya tidak pandai berbicara—pikirkan dengan kata “belum.”
Saya belum percaya diri.
Saya belum pandai berbicara.
Dengan mengubah cara berpikir kita, kita beralih dari memberi tahu diri kita bahwa kita tidak akan pernah bisa melakukan hal-hal ini menjadi menjanjikan kepada diri kita bahwa kita sedang berusaha mencapainya. Pernyataan ini bertransformasi dari kemunduran permanen menjadi rintangan yang bisa kita atasi.
- Tantang diri sendiri untuk berani setiap hari
Untuk menjadi berani, kamu harus menjadikannya sebagai kebiasaan. Jadi, tantang diri kamu untuk melakukan bahkan hanya satu hal berani setiap hari. Itu bisa menjadi sesuatu yang kamu katakan kepada seseorang, atau mengatakan tidak daripada ya. Itu bisa menjadi melakukan sesuatu yang biasanya tidak kamu lakukan, seperti mengambil jalan baru pulang. Selama kamu terus melatih otot keberanian itu, kamu akan mulai melihat dirimu menjadi lebih percaya diri seiring berjalannya waktu.
- Lakukan sesuatu yang tidak kamu kuasai
Menempatkan diri kita dalam lingkungan di mana kita tidak yakin bisa berhasil membantu kita membangun toleransi terhadap kegagalan dan menerima ketidaksempurnaan kita sendiri. Seperti yang dikatakan Reshma sendiri, “Pertama toleransi, kemudian penerimaan, dan kemudian, percayalah atau tidak, kebahagiaan” (Saujani, 2019). Apakah ada aktivitas yang ingin kamu coba tetapi terhenti karena kamu tidak pandai? Cobalah lagi.
- Minta umpan balik
Mirip dengan strategi #4, meminta umpan balik adalah cara lain untuk membangun toleransi terhadap kegagalan. Alih-alih mencoba untuk melewati atau melupakan kesalahanmu, benar-benar refleksikan dan lihat apa yang bisa kamu pelajari. Bagaimana kamu bisa melakukan lebih baik di lain waktu? Bahkan ketika kamu sudah melakukan pekerjaan dengan baik, selalu ada lebih banyak yang bisa dipelajari dan direnungkan. Dengan terus-menerus mengenali ketidaksempurnaanmu dan berusaha untuk tumbuh dari situ, kamu bisa menjadi lebih percaya diri pada dirimu sendiri dan bagaimana kamu merespons ketika segala sesuatunya tidak berjalan dengan baik.
- Mulai sekarang.
Selamat—membaca artikel ini dan mempelajari ide-ide ini adalah langkah pertama menjauh dari kesempurnaan dan menuju keberanian. Tetapi itu adalah langkah terkecil. Yang jauh lebih penting adalah menerapkannya, mulai sekarang. Jika kamu dehidrasi, segera minumlah segelas air. Jika kamu pergi ke kafe, cobalah memesan minuman baru. Dalam skala yang lebih besar, mulailah apa yang telah kamu tunda. Jika kamu ingin belajar alat musik, atau mengambil kelas, atau memulai bisnis, lakukanlah. Sekarang adalah waktu untuk memulai.
Mungkin ini tidak terasa banyak, tetapi bahkan dengan mengakui kecenderungan kita untuk mengejar kesempurnaan dan berusaha untuk berani, kita sedang mengubah pola pikir kita. Segera, tindakan kecil ini akan menjadi memori otot yang bisa kamu andalkan saat kamu membutuhkannya.
Semoga berhasil dalam perjalanan keberanianmu!
Lihat artikel-artikel yang terdaftar untuk belajar lebih banyak! Buku Reshma Saujani, Brave Not Perfect, adalah sumber yang baik jika kamu ingin mendalami lebih dalam—banyak dari artikel ini berisi ide-ide yang ia tulis (catatan: buku ini dalam bahasa Inggris).
Referensi
Arsendy, S. (2021) Girls do better than boys at school in Indonesia – if they get the chance. https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/girls-do-better-than-boys-at-school-in-indonesia-if-they-get-the-chance/.
Asriani, D.D. and Ramdlaningrum, H. (2019) ‘Examining Women’s Roles in the Future of Work in Indonesia,’ Friedrich Ebert Foundation [Preprint]. https://repository.theprakarsa.org/media/publications/291667-examining-womens-roles-in-the-future-of-4e1e2b09.pdf.
Coombes, H. (2020) Intersectionality 101: what is it and why is it important? https://www.womankind.org.uk/intersectionality-101-what-is-it-and-why-is-it-important/.
Giannopoulos, G. (2024) Roadblocks to gender equality remain in Indonesian schools. https://eastasiaforum.org/2024/09/04/roadblocks-to-gender-equality-remain-in-indonesian-schools/.
Saujani, R. (2019) Brave, not perfect. HarperCollins UK.
Yayasan Jurnal Perempuan [YJP] (2016) ‘Status Perempuan dalam STEM (Sains, Teknologi, Engineering & Matematika),’ Jurnal Perempuan, 91. https://www.jurnalperempuan.org/uploads/1/2/2/0/12201443/buku_seri_pp_jp91-amp-ad-amp.pdf.