Perempuan, karena identitas gendernya, lebih rentan mengalami risiko kejahatan digital. Sepanjang tahun 2023, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan telah menerima lebih dari 1200 aduan kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO). Aduan ini mencakup berbagai bentuk kekerasan, seperti penyebaran konten intim non konsensual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, hingga pelanggaran privasi.
Sistem hukum menjadi salah satu aspek yang turut membentuk situasi kerentanan tersebut. Perempuan akan lebih terlindungi dari risiko kejahatan digital jika kebijakan perlindungan data pribadi yang ada berpihak pada mereka. Sebaliknya, perlindungan perempuan menjadi minim ketika kebijakan tersebut tidak mempertimbangkan dimensi gender.
Di Indonesia, ada empat regulasi yang sedikit-banyak memiliki potensi untuk melindungi perempuan dari risiko kejahatan digital, antara lain Undang-undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Selain itu, juga ada Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Lantas, sejauh mana aturan-aturan ini efektif melindungi perempuan? Yuk Sobat, kita kulik bersama!
UU PDP: Dikritik Karena Tidak Mengakui Kerentanan Gender
Undang-undang PDP Nomor 27 Tahun 2022 merupakan landasan utama aturan perlindungan data di Indonesia. Secara umum, regulasi yang baru berlaku sejak Oktober 2024 ini cukup progresif karena memberikan jaminan yang pasti terkait perlindungan privasi dan keamanan data. UU PDP di antaranya mengatur hak-hak pemilik data pribadi, kewajiban pihak-pihak yang memiliki akses terhadap pengelolaan data pribadi, serta jenis-jenis pelanggaran data pribadi dan sanksinya.
Kendati demikian, UU PDP dinilai masih belum cukup mampu melindungi perempuan dari risiko KBGO. Beberapa pihak pernah mengulasnya, seperti Komnas Perempuan dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Mereka memandang UU PDP masih netral gender dan belum mengakui adanya situasi kerentanan perempuan terhadap KBGO. Di dalam UU PDP, mereka yang dianggap rentan hanyalah anak-anak dan penyandang disabilitas (Pasal 25 dan 26).
Selain itu itu, UU PDP juga luput mengatur hak-hak pemulihan bagi korban. Pemulihan memang disinggung oleh Pasal 46, tetapi hanya sebagai informasi yang wajib tercantum di dalam laporan. Sementara bagaimana pemulihan tersebut dilakukan tidak terdefinisikan secara jelas. Padahal, perempuan korban KBGO setidaknya membutuhkan dukungan pemulihan fisik dan psikologis atas kekerasan yang mereka alami.
Absennya keberpihakan UU PDP pada perempuan juga dapat dilihat pada Pasal 4. Pasal ini mengatur apa yang dimaksud dengan data pribadi, yakni data pribadi umum dan data pribadi spesifik. Sayangnya, pada rincian data pribadi spesifik, UU PDP luput memasukkan konten intim non-konsensual di dalamnya. Padahal data pribadi jenis ini sering menjadi medium dari KBGO, dan dengan demikian harus dilindungi.
UU ITE: Dulu Mengkriminalisasi Korban, Sekarang Direvisi
UU ITE sering menjadi biang kerok yang menghambat perempuan korban kejahatan digital dalam mendapatkan keadilan. Sebab, UU ITE, terutama naskah lamanya, memiliki pasal yang dinilai karet dan sering disalahgunakan untuk mengkriminalisasi korban. Sebut saja Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3).
Pasal 27 ayat (1) melarang setiap orang untuk “menyiarkan, mentransmisikan, dan membuat dapat diakses informasi elektronik yang melanggar nilai kesusilaan”. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang dimaksud dengan perbuatan melanggar kesusilaan adalah “mempertunjukkan ketelanjangan, dan aktivitas seksual kepada umum”.
Pasal tersebut bermasalah karena sering dipakai aparat penegak hukum untuk menyalahkan korban. Hanya karena wajah dan tubuh korban tampil di dalam konten seksual, mereka sering dituduh melanggar kesusilaan. Padahal, di dalam banyak kasus, pembuatan dan penyebaran konten intim dilakukan tanpa persetujuan dan pengetahuan korban. Saat korban terlibat pun, biasanya mereka berada di bawah ancaman pelaku.
Sementara Pasal 27 ayat (3) berbicara tentang pencemaran nama baik. Pasal ini juga tidak luput dari banyak kritikan karena sering dimanfaatkan oleh pelaku untuk menyerang balik korban. Lewat pasal ini, korban yang berani membuka suara atas pengalaman kekerasan mereka bisa dituntut atas tuduhan pencemaran nama baik terhadap pelaku.
Kabar baiknya, penyalahgunaan pasal-pasal problematik tersebut hanya berlaku di dalam naskah lama UU ITE. Sekarang, regulasi ini telah direvisi melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 2024. Di dalam naskah terbaru, ketentuan pelanggaran kesusilaan dan pencemaran nama baik bisa dikecualikan bagi mereka yang membela diri sebagai korban (Pasal 45).
Menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), modifikasi tersebut bisa memperkuat posisi perempuan korban kejahatan digital, serta mengarahkan aparat penegak hukum untuk berfokus menindak pelaku yang menyebarkan konten intim non konsensual.
Namun, tidak menutup kemungkinan korban KBGO masih kesulitan mengakses keadilan. Misalnya, Konde menyorot pasal 28 ayat 3 tentang penyebaran berita bohong yang masih dipertahankan. Menurut mereka, pasal ini berpotensi disalahgunakan untuk membungkam kritik para aktivis perempuan yang membela perempuan korban kekerasan.
UU Pornografi: Membawa Masalah UU ITE Lama
Peraturan lainnya adalah UU Pornografi Nomor 44 Tahun 2008. Sebenarnya regulasi ini telah mengatur larangan dan sanksi yang tegas bagi pelaku penyebaran konten intim non konsensual, karena bisa dikategorikan sebagai tindak pidana pornografi. Namun, untuk melindungi perempuan korban kejahatan digital, beberapa pasal masih menyimpan masalah.
Kembali mengutip Fakultas Hukum UI, masalah tersebut sudah bisa dilihat pada Pasal 1. Bagian ini menjelaskan apa itu pornografi, yakni “gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”.
Kemudian, ada juga Pasal 4 yang melarang setiap orang untuk “membuat, memperbanyak, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan produk pornografi”. Demikian pula dengan Pasal 8 yang melarang siapapun untuk “menjadi model atau objek dari pesan bermuatan pornografi”.
Sekilas, ketiga pasal tersebut terlihat baik-baik saja. Namun sebenarnya ada hal yang luput, yakni konteks dan latar belakang bagaimana sebuah konten pornografi dibuat. Sebab, tidak boleh dilupakan, bahwa tidak semua pembuatan dan penyebaran materi pornografi dilakukan dengan kesadaran penuh, tapi sebaliknya, cenderung dipicu oleh ketimpangan relasi kuasa.
Sekali lagi, perempuan yang terlibat di dalam pembuatan konten seksual belum tentu dalam kondisi memberikan persetujuan, dan sangat mungkin berada di bawah ancaman pelaku. Dengan demikian, UU Pornografi menyimpan risiko yang sama dengan naskah UU ITE yang lama, di mana korban rentan dikriminalisasi alih-alih dilindungi.
UU TPKS: Paling Berpihak pada Korban, Tapi Masih Punya Banyak PR
Hingga tulisan ini dibuat, UU TPKS menjadi peraturan yang menurut MinRise paling melindungi perempuan dari risiko kejahatan digital. Sebab, UU TPKS telah secara eksplisit mengatur soal kekerasan seksual berbasis elektronik (Pasal 4). Lewat UU ini, para korban juga terlindungi oleh hak yang sama seperti korban kekerasan seksual pada umumnya, yakni hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan (Pasal 1).
Definisi dari kekerasan seksual berbasis elektronik yang dimaksud oleh UU TPKS juga cukup jelas, yakni terdiri dari: merekam, dan mengambil gambar atau tangkapan layar bermuatan seksual tanpa persetujuan; menyebarluaskan informasi elektronik bermuatan seksual di luar kehendak korban; dan melakukan penguntitan atau pelacakan terhadap seseorang untuk tujuan seksual. Bagi yang melanggar bisa dikenakan hukuman pidana paling lama 4 tahun penjara atau denda maksimal Rp200 juta (Pasal 14).
Selain itu, UU TPKS juga memberikan sedikit ruang keberpihakan bagi para Sobat Remaja. Kekerasan seksual di dalam regulasi ini diatur sebagai delik aduan, yang berarti proses hukum baru bisa berjalan ketika ada aduan langsung dari korban. Namun, ketentuan tersebut dikecualikan salah satunya bagi anak. Artinya, ketika Sobat Remaja berusia di bawah 18 tahun mengalami kekerasan seksual elektronik; orang tua, keluarga, atau teman sebaya yang menyaksikannya boleh langsung melaporkan tanpa menunggu inisiatif korban.
Walaupun terlihat sangat melindungi korban, UU TPKS bukan tanpa celah. Sebagai regulasi yang masih baru, aturan ini masih menyisakan banyak kekurangan di dalam pelaksanaannya. Menurut Rifka Annisa, penggunaan UU TPKS untuk menghukum pelaku masih setengah hati. Di dalam menangani kasus KBGO, aparat penegak hukum masih gemar menggunakan UU ITE dan UU Pornografi ketimbang UU TPKS. Bahkan, pasal pencemaran nama baik dari UU ITE masih saja terus disalahgunakan untuk mengkriminalisasi korban.
Magdalene juga melaporkan, sosialisasi UU TPKS belum menyentuh aparat penegak hukum secara merata. Hal ini bisa terlihat dari banyaknya reviktimisasi (kekerasan berulang) yang dialami korban ketika berani melaporkan kasus. Saat terjadi penyebaran konten intim non seksual misalnya, korban tidak jarang mendapatkan pertanyaan penyelidikan yang cenderung menyalahkan mereka.
Dear Sobat, Jangan Pesimis!
Perempuan nampaknya belum sepenuhnya terlindungi dari risiko kejahatan digital. Hal ini bisa dilihat melalui laporan kasus yang terus meningkat, aturan problematik yang masih dipertahankan, hingga kualitas penegakan hukum yang masih meninggalkan banyak catatan penting. Kendati demikian, situasi tersebut bukan menjadi alasan untuk merasa pesimis.
Tidak henti-hentinya, MinRISE selalu mengajak Sobat untuk terus menjaga privasi dan data pribadi, memaksimalkan fitur-fitur keamanan dari platform digital yang Sobat gunakan, melaporkan kekerasan yang Sobat temukan atau alami saat berselancar di internet, menyadari hak-hak yang melekat pada diri Sobat ketika menjadi korban, maupun membantu teman sebaya yang sedang berjuang mendapatkan keadilan.
Di sekitar Sobat, juga ada keluarga dan teman sebaya yang siap memberikan perlindungan, serta lembaga penyedia layanan yang bersedia mendampingi Sobat. Bersama, kita bisa menciptakan ekosistem digital yang lebih aman dengan berbagi pengetahuan, saling mendukung, dan mendorong perubahan kebijakan yang lebih adil.
Yuk, jangan takut dan terus lantang memperjuangkan ruang internet yang aman bagi perempuan!
Penulis: Nobertus Mario Baskoro