Remaja yang mengalami kekerasan dalam pacaran memiliki hak-hak yang melekat pada diri mereka. Hak-hak remaja ini perlu disadari dan dipenuhi guna membantu mereka untuk pulih dan dimungkinkan keluar dari lingkaran kekerasan. Pemenuhannya membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekat di mana remaja bertumbuh dan berkembang.
Hal tersebut menjadi salah satu poin penting yang muncul di dalam diskusi RiseTalk ke-74 yang diselenggarakan pada Selasa (10/12) lalu sebagai bagian dari rangkaian kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP). Kegiatan ini menghadirkan Vallery Massardi dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY sebagai narasumber.
Di dalam diskusi tersebut, Vella, demikian sapaan akrabnya, menyampaikan beberapa hak yang melindungi remaja saat menjadi korban kekerasan. Hak-hak tersebut utamanya berlaku ketika korban sudah berani melaporkan kekerasan yang mereka alami dan kasusnya sudah berjalan di proses peradilan. Apa sajakah hak-hak yang dimaksud?
1. Hak Atas Perlindungan.
Menurut Vella, korban yang sudah melaporkan kasusnya belum tentu langsung terbebas dari lingkaran kekerasan. Sebaliknya, sangat mungkin bagi korban kembali mendapatkan kekerasan lanjutan dari pelaku. Karena itulah hak atas perlindungan ini harus dipenuhi.
“Misal terjadi kekerasan dalam pacaran, terus kemudian si korban berani melapor sampai ke kepolisian dan peradilan. Nah biasanya kekerasan lebih lanjut seperti ancaman dari pelaku itu tuh sangat berpotensi terjadi kepada korban,” tuturnya.
2. Hak Atas Informasi Penanganan Kasus.
Hak selanjutnya yang harus terpenuhi adalah hak atas informasi, terutama informasi yang berkaitan dengan penanganan kasus. Misal, sejauh mana kasusnya sedang berlangsung, layanan-layanan apa saja yang boleh diakses, bagaimana diagnosa dokter atas kondisi kesehatannya, bagaimana hasil penilaian psikolog, dan lain sebagainya.
“Jadi enggak masalah, tanyain apapun yang pengin kamu tanyain, karena itu adalah hak teman-teman. Silahkan tanyakan ke lembaga itu. Nanti teman-teman akan diarahkan nih. Misal terjadi kehamilan yang tidak diinginkan dan butuh dukungan medis, berarti bisa ke puskesmas atau ke klinik terdekat,” jelas Vella.
3. Hak Atas Pendampingan Hukum.
Hak lain yang tidak kalah penting adalah hak atas pendampingan hukum. Vella mengakui bahwa literasi hukum masyarakat di Indonesia, tidak terkecuali remaja, masih rendah. Hal ini menambah situasi kerentanan korban kekerasan dalam memperjuangkan keadilan.
Karena itu, sangat penting bagi korban untuk mendapatkan pendampingan hukum selama melalui penanganan kasus. “Teman-teman bisa reach out lembaga-lembaga bantuan hukum terdekat, dan setahu aku itu enggak berbayar sama sekali, jadi memang benar-benar untuk korban,” tuturnya.
4. Hak Atas Privasi.
Menurut Vella, hak yang satu ini paling sering dilanggar. Ketika sebuah tindak kekerasan terlaporkan, sangat mungkin kasus tersebut mendapatkan perhatian dari publik. Saat hal ini terjadi, informasi terkait identitas korban yang seharusnya dirahasiakan justru tersebar secara luas. Karenanya, Sobat tidak perlu ragu meminta bantuan kepolisian atau lembaga layanan yang mendampingi untuk menjamin privasi Sobat.
“Jadi, di beberapa kasus yang kita tahu juga ke-up di media sosial, biasanya orang-orang itu kayak mencari, ‘Ini siapa ya korbannya?’, ‘Ini siapa ya pelakunya?’. Padahal itu mencederai hak korban atas privasi dan kerahasiaan. Karena itu tadi, banyak potensi-potensi kekerasan lanjutan yang bisa terjadi kalau misal kerahasiaan itu enggak ada,” jelasnya.
5. Hak untuk Tetap Bersekolah.
Vella juga menuturkan, remaja yang menjadi korban kekerasan dalam pacaran seringkali juga kehilangan hak-hak dasarnya sebagai seorang anak. Hak yang dimaksud, kata Vella, salah satunya berkaitan dengan akses pendidikan. Hal ini jamak terjadi pada perempuan korban kekerasan yang mengalami kehamilan tidak direncanakan.
“Biasanya pihak sekolah langsung mengeluarkan korban atas nama baik sekolah. Padahal hak anak itu salah satunya adalah hak mendapatkan pendidikan. Jadi selain kamu adalah korban, kamu juga anak, dan kamu itu berhak untuk tetap bersekolah,” pungkasnya.
6. Hak untuk Menghentikan Penanganan Kasus.
Penanganan kasus kekerasan harus melalui banyak tahapan dan proses yang panjang, sehingga terkadang melelahkan bagi korban. Karenanya, korban juga memiliki hak untuk tidak melanjutkan penanganan kasus. “Misal ketika lembaga yang diakses kok ternyata enggak berperspektif korban, ternyata kamu malah justru distigma. Itu kamu boleh banget lho untuk stop dan enggak lanjut lagi,” katanya.
Pemenuhan Hak yang Masih Terhambat
Di dalam diskusi yang sama, Vella mengatakan bahwa hak-hak tersebut tidak selalu terpenuhi. Menurutnya, masih banyak catatan-catatan penting yang masih perlu diperbaiki dari sistem penanganan kasus kekerasan di Indonesia agar korban benar-benar mendapatkan keadilan pemenuhan atas hak-haknya. Apa sajakah itu?
1. Lingkungan yang Tidak Mendukung.
Hambatan paling awal datang dari lingkungan di mana para remaja berinteraksi dan bertumbuh, seperti keluarga dan sekolah. Menurut Vella, banyak remaja yang tumbuh di keluarga tanpa relasi terbuka atau komunikasi yang baik, sehingga rentan terjebak dalam hubungan toksik dan berkekerasan. Padahal, keluarga seharusnya menjadi ruang aman pertama di dalam hidup remaja.
“Contoh, keluarga hubungan komunikasinya enggak baik nih. Orangtua sering melakukan kekerasan. Makanya anak larinya ke pasangan. Tetapi ternyata pasangannya juga melakukan kekerasan. Tetapi dia merasa ketika kembali ke rumah juga enggak nyaman dan balik lagi ke pasangan. Jadi kadang remaja bingung, di mana safe space yang bisa dia dapatkan ketika bahkan keluarganya aja menjadi ladang kekerasan,” jelas Vella.
Situasi yang kurang lebih sama juga terjadi di lingkungan sekolah. Menurut Vella, masih banyak sekolah yang belum membuka ruang bagi topik-topik tentang kesetaraan gender, hubungan yang sehat, kesehatan seksual reproduksi, dan toleransi antar individu. Topik ini lekat dengan keseharian hidup remaja, namun justru dianggap tabu oleh sekolah.
“Dengan kurangnya pendidikan ini, sekolah gagal mendukung tumbuh kembang siswanya. Sekolah harapannya enggak hanya melihat siswanya sebagai pencetak nilai demi nama baik sekolah, tetapi juga perlu memperhatikan bagaimana sih relasi-relasi siswanya, dan persoalan-persoalan sosial apa saja yang sebenarnya mereka hadapi,” katanya.
2. Minimnya Perspektif Aparat Penegak Hukum.
Tantangan lainnya adalah sumber daya manusia aparat penegak hukum yang tidak selalu memiliki perspektif korban. Kepolisian misalnya, lembaga yang seharusnya menjadi ruang aman bagi korban justru menjadi sumber terjadinya kekerasan berulang. Dengan kata lain, ketika melaporkan kasus, korban justru mengalami reviktimisasi alias kembali menjadi korban untuk yang kedua kalinya.
Kekerasan berulang yang sering terjadi, menurut Vella, adalah kekerasan verbal. Banyak korban yang ketika bertemu dengan polisi harus berhadapan dengan berbagai pertanyaan penyelidikan yang cenderung menyalahkan dan tidak empatik.
“Masih ada yang menilai, nge-judge, ‘Kok kamu mau diperlakukan kayak gitu?’, ‘Kok kamu enggak melawan?’. Padahal kita tuh sudah susah-susah untuk mencari keberanian untuk melapor, tetapi sampai lapangannya kemudian dikerdilkan oleh representasi negara yang seharusnya menjamin keamanan,” jelas Vella.
“Belum lagi di beberapa kasus, ketika korban kekerasan seksual melapor ke polisi, justru polisi kembali melecehkan. Jadi kekerasan ini enggak hanya bisa dipandang secara tunggal. Kami percaya kekerasan itu adalah rantai yang secara struktural itu dilembagakan oleh negara,” tambahnya.
3. Pemahaman Gender yang Belum Merata.
Semua tantangan tersebut kemudian diperburuk kembali dengan pemahaman gender yang belum merata di semua lembaga layanan. Serupa dengan aparat penegak hukum, lembaga layanan yang minim pemahaman gender juga bisa menjadi ruang reviktimisasi bagi korban. Hal ini sangat disayangkan, mengingat lembaga-lembaga layanan adalah aktor utama yang mendukung berjalannya penanganan kasus.
“Misal kekerasan dalam pacarannya itu kekerasan fisik. Kan perlu ada visum di rumah sakit. Nah, ketika kita datang ke sana, bukannya memberikan pelayanan seperti kepada orang lagi sakit, malah selalu nanya kayak ‘Kok bisa kejadian?’, ‘Kok kamu masih mau sama dia?’, ‘Ini pacar kamu?’, ‘Yang ngelakuin pacar atau sudah mantan?’, tutur Vella.
Karena itu, menurut Vella, pendidikan tentang kesetaraan gender sebaiknya tidak hanya diberikan kepada masyarakat dan remaja. Mereka yang bekerja sebagai representasi dari negara juga memerlukannya. “Ketika korban sudah berani melapor, tapi kemudian malah dikerdilkan lagi, itu menurut kami kegagalan besar negara dalam memberikan hak-hak warganya, pungkas Vella.
Bagaimana Jika Sobat Belum Siap Melaporkan Kasus?
Vella mengatakan, setiap orang, tidak terkecuali remaja, memiliki respon yang berbeda-beda ketika mengalami kekerasan. Tidak semua dari mereka langsung memiliki kesadaran sebagai korban dan berani untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialami. Menurutnya, hal ini wajar mengingat setiap orang memiliki ingatan, nilai, dan latar belakang pengalamannya masing-masing dalam memaknai kekerasan.
“Bahkan saat seseorang sudah punya banyak pengetahuan (tentang penanganan kekerasan), responnya juga enggak bisa langsung secepat itu (langsung melaporkan kasus). Pasti ada proses pergulatan di dalam diri korban, sebelum mereka melakukan sesuatu,” jelasnya.
Karena itu, menurut Vella, melaporkan kasus tidak harus selalu menjadi langkah pertama ketika Sobat mengalami kekerasan. Namun, tidak melaporkan kasus bukan berarti tidak memiliki hak apapun. Jadi, Sobat tidak perlu takut. Berikut ini adalah beberapa hak yang bisa Sobat akses sembari menunggu waktu hingga merasa siap untuk menghubungi lembaga layanan.
1. Hak untuk Mendapatkan Dukungan
Remaja yang menjadi korban kekerasan berhak mendapatkan dukungan. Bagi korban, dukungan sangat penting untuk membantu mereka membangun rasa percaya diri sebelum melaporkan kasus kekerasan. Sobat bisa mencari dukungan dari keluarga, teman sebaya, dan orang yang dipercaya.
“Kalau misalnya merasa belum nyaman untuk melaporkan kasus ke lembaga, misalnya karena enggak kenal siapa saja orang-orangnya, boleh kok bercerita dulu ke teman dekat, atau ke orang tua kalau dirasa orang tuanya punya komunikasi yang enak,” kata Vella.
2. Hak untuk Berproses Sendirian
Namun, bagaimana jika merasa belum siap untuk menceritakan pengalaman kekerasan kepada siapapun? Menurut Vella, tidak apa-apa jika Sobat ingin terlebih dahulu mengambil waktu sendiri dan memproses perasaan pasca menerima kekerasan. “Ambil waktu dulu. Enggak apa-apa buat dirasain dulu apa yang terjadi. Beristirahatlah dulu, enggak harus buru-buru me-reach out siapa-siapa,” jelasnya.
Keputusan ini memiliki sisi positif dan negatifnya masing-masing. Mengambil waktu sendiri berarti memberikan lebih banyak ruang untuk pemulihan emosional, menghindari tekanan-tekanan dari luar, dan membantu Sobat mengambil keputusan secara matang tanpa tergesa-gesa.
Namun perlu diingat pula, mengulur waktu juga berpotensi mengaburkan bukti kekerasan dan memberikan kesempatan bagi pelaku untuk kembali melakukan kekerasan lanjutan. Maka dari itu, jangan terlalu lama menunda mencari dukungan ya Sobat!
3. Hak untuk Melaporkan Kasus Saat Siap
Setelah itu, jika sudah merasa lebih percaya diri untuk melapor, Sobat bisa menghubungi lembaga yang menangani kasus kekerasan. Apalagi jika Sobat juga sudah mulai merasakan dampak-dampak pasca kekerasan, seperti gangguan kecemasan, tidak nafsu makan atau makan secara impulsif, sulit tidur, dan lain sebagainya. Terhubung dengan layanan akan memungkinkan Sobat mendapatkan penanganan baik dari psikis maupun kesehatan.
“Sudah banyak lembaga-lembaga yang membantu korban kekerasan, baik secara keadilan peraturannya maupun penanganan langsung dampak-dampak dari kekerasan. Tapi yang terpenting itu tadi, siapkan hati teman-teman ketika ingin melapor, karena kita tau itu hal yang sulit dan berat. Kenyamanan kita sebagai korban paling utama,” tutur Vella.
Menjadi korban kekerasan dalam pacaran adalah pengalaman yang sulit. Menyadari hak-hak sebagai korban adalah langkah awal yang bisa Sobat lakukan untuk bisa pulih dan keluar dari lingkaran kekerasan. Bagi Sobat remaja yang sedang berusaha keluar dari hubungan pacaran yang toksik dan berkekerasan, jangan pernah takut untuk melapor dan memperjuangkan hak-hak Sobat!
Penulis: Nobertus Mario Baskoro