Seiring kian luasnya penggunaan internet, risiko keamanan digital yang mengikutinya juga semakin besar. Namun, tahukah Sobat? Dari antara banyak lapisan masyarakat penikmat internet, terdapat kelompok yang lebih rentan untuk menghadapi risiko keamanan digital. Perempuan dan kelompok minoritas gender menjadi salah satunya. Mengapa bisa demikian?
Berdasarkan riset UN Women mengatakan bahwa identitas gender adalah salah satu faktor signifikan yang membuat seseorang rentan menjadi korban kejahatan siber. Salah satu faktornya yakni kesenjangan literasi digital. Dalam lingkungan sosial yang mengutamakan partisipasi laki-laki, perempuan seringkali terhambat dalam mengakses pengetahuan yang mereka butuhkan untuk melindungi diri di ruang siber.
Dalam konteks penetrasi internet misalnya, laki-laki secara global masih menduduki posisi dominan sebagai pengguna internet daripada perempuan. Sementara di Indonesia sendiri, data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan bahwa perempuan memiliki proporsi yang lebih sedikit dalam memiliki dan menguasai telepon genggam, teknologi digital yang digunakan oleh hampir semua orang.
Diskusi publik yang diselenggarakan Combine Reseacrh Institution turut mengungkapkan, bahwa pengetahuan digital dan perlindungan data pribadi perempuan bahkan seringkali belum menyentuh hal-hal mendasar, seperti cara menerapkan pin pada ponsel atau langkah-langkah mengelola password di media sosial.
Selain itu, ketika menjadi korban, perempuan pun masih terancam kesulitan mendapatkan keadilan. Hal ini disebabkan karena kebijakan perlindungan data pribadi yang umumnya absen menaruh perhatian pada kerentanan perempuan maupun identitas gender lainnya.
Di Indonesia sendiri misalnya, Undang-undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi pernah mendapatkan kritik karena dinilai masih netral gender dan belum secara spesifik mengamanatkan perlindungan terhadap korban perempuan. Bahkan, penyusunan aturan pelaksanaanya pun juga dianggap minim partisipasi semua gender.
Pada konteks yang luas, norma sosial dan budaya turut membangun kerentanan perempuan sebagai sasaran kejahatan digital. Sebagai contoh, masyarakat yang hidup dalam lingkungan dengan kultur patriarki umumnya cenderung menormalisasi pengalaman kejahatan digital bernuansa seksual yang dihadapi perempuan, seperti KBGO.
Contoh lainnya, penelitian yang dilakukan oleh UK Aid mengungkapkan bahwa kejahatan siber marak menyasar pada perempuan yang berpartisipasi di ruang publik, seperti pemimpin masyarakat sipil atau pembela hak asasi manusia. Hal ini disebabkan oleh struktur norma sosial dan budaya yang memandang perempuan sebatas sebagai makhluk domestik dan hanya boleh berperan pada rumah tangga.
Risiko Keamanan Digital yang Rentan Dialami Perempuan & Minoritas Gender
Sebenarnya, kejahatan digital terjadi dalam banyak bentuk. Namun, merangkum panduan yang diterbitkan oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet), perempuan dan kelompok minoritas gender rentan terhadap beberapa jenis kejahatan digital berikut ini.
1. Pelanggaran Privasi.
Kejahatan ini meliputi mengambil, menggunakan, memanipulasi, dan menyebarkan informasi data pribadi tanpa persetujuan korban. Sebagai contoh, banyak perempuan yang dicuri foto dan video pribadinya untuk digunakan sebagai materi pelecehan (revenge porn) atau dimanipulasi menggunakan AI untuk menjadi konten bermuatan seksual (deep fake)
2. Pengawasan dan Pemantauan.
Kejahatan ini mencakup memantau, melacak, dan mengawasi kegiatan online atau offline, dengan maupun tanpa teknologi tanpa sepengetahuan dari korban. Sebagai contoh, banyak perempuan yang menjadi korban stalking oleh orang baru dikenal, atau kelompok minoritas gender yang diteror ujaran kebencian di media sosial.
3. Perusakan Reputasi.
Kejahatan ini meliputi tindakan membuat, mengambil, menggunakan, memanipulasi, dan menyebarkan data, foto, dan video pribadi, termasuk impersonasi (berpura-pura menjadi orang lain) untuk mencoreng nama baik korban maupun tujuan kejahatan lainnya. Kejahatan ini misalnya sering dihadapi oleh perempuan korban kekerasan dengan tujuan memulihkan reputasi pelaku.
4. Pelecehan Online.
Kejahatan ini mencakup pengiriman pesan, foto, dan video bernuansa seksual dengan tujuan untuk mempermalukan identitas gender korban. Misalnya, media sosial TikTok akhir-akhir ini memanen perhatian karena banyaknya komentar bernada pelecehan seksual yang tersebar di berbagai konten.
5. Serangan Peretasan.
Kejahatan ini meliputi peretasan situs web, media sosial, dan sumber daya digital lainnya, termasuk pengungkapan informasi anonim seperti nama dan alamat sebagai sebuah bentuk ancaman. Kejahatan ini juga bisa ditemukan melalui beragam preseden peretasan terhadap lembaga yang memperjuangkan kesetaraan gender dan keadilan bagi korban kekerasan.
Apa yang Bisa Perempuan Lakukan untuk Melawan Risiko Keamanan Digital?
Meskipun rentan menjadi korban kejahatan digital, perempuan dan kelompok minoritas gender juga bisa berkontribusi melawan kejahatan digital lho! Lantas, apa saja yang bisa Sobat lakukan?
1. Memperkuat Keamanan Digital Pribadi.
Langkah paling awal tentunya bisa dilakukan dari level individu, yakni membuat diri Sobat sendiri aman di ruang digital. Caranya bisa dilakukan dengan berpikir sebelum menyebarkan informasi pribadi, belajar tentang manajemen password, melengkapi ponsel dengan aplikasi perlindungan data, dan lebih peka terhadap ancaman pishing yang tersebar di berbagai sudut internet.
2. Membangun Dukungan Komunitas.
Setelah sudah merasa lebih aman untuk beraktivitas di ruang digital, Sobat boleh menularkan pengetahuan dan pengalaman Sobat dalam melawan kejahatan digital kepada orang lain, terutama teman sebaya, yang mungkin juga membutuhkan hal serupa atau belum memahami cara menjaga keamanan privasi di ruang internet.
3. Membantu Korban.
Apabila Sobat mendapati orang terdekat mengalami kejahatan digital, tak perlu ragu untuk memberikan dukungan kepada mereka. Sobat bisa menerapkan psychological first aid untuk membuat korban merasa aman, dilindungi, dan juga dipedulikan, sambil membantu korban melindungi data-data pribadi yang masih aman.
4. Melaporkan Kasus.
Jika Sobat menemukan bukti kejahatan digital yang terjadi di ruang internet, Sobat tentu dapat melaporkannya. Sobat bisa menggunakan fitur report yang disediakan oleh platform media sosial, atau secara langsung melaporkan kasus kepada aparat penegak hukum dan lembaga penyedia layanan korban.
Selama penggunaan internet terus meluas dan kesadaran terkait kesetaraan gender belum merata, kejahatan digital yang menyasar perempuan dan kelompok minoritas gender akan terus terjadi. Langkah sekecil apapun tetap berguna untuk melawan kejahatan digital dan menciptakan ruang internet yang aman bagi semua orang.
Penulis: Nobertus Mario Baskoro