Sebagai contoh seorang mahasiswa berprestasi. Ketika kita melihat Instagram atau LinkedIn pasti akan menemukan banyak prestasi, relasi yang keren, dan segala embel-embel lainnya. Itu hanya sepucuk dari diri mereka dan mereka mengizinkan hal tersebut untuk diperlihatkan. Apa bagian dalam yang tidak diperlihatkan? Bisa saja dia mengorbankan jam tidurnya untuk menyeimbangkan organisasi dengan prestasi. Belajar pitch deck dari pagi hingga pagi. Hingga waktu main yang berkurang untuk berkutat di depan paper ilmiah.
Sosial media adalah hasil kurasi. Kita hanya menampilkan apa yang ingin kita bagikan ke orang lain saja. Contoh lain adalah potret mahasiswa yang kuliah di luar negeri. Mungkin kita hanya melihat bagian senangnya saja yaitu dapat berjalan mengitari kota dan lainnya. Tanpa kita tahu mungkin dia merasa culture shock, deadline tugas yang lebih berat dari sekolah di Indonesia, menangis karena homesick, dan lainnya. Apakah itu diperlihatkan? Tidak.
Selain itu, sosial media juga membuat batas daerah menjadi semu. Sebelum sosial media muncul, kita hanya bisa melihat seseorang di sekeliling rumah kita saja. Sejak adanya sosial media, kita dapat melihat banyak informasi dan kehidupan orang lain yang bahkan tidak kita kenal. Kita menjadi tahu kehidupan orang yang berkilometer jauhnya dengan kita. Kita jadi tahu ternyata ada orang yang sempurna di luar sana. Banyak.
Tidak ada yang salah dengan postingan bahagia dan pencapaian orang lain. Mereka berhak untuk memposting apapun di sosial media mereka. Namun, yang menjadi masalah adalah bagaimana respon kita terhadap hal tersebut. Menjadi masalah jika kita mulai membandingkan diri dengan apa yang seseorang tampilkan di sosial media.
Sebagai contoh, kita sudah mendapatkan nilai yang diinginkan lalu merasa bahagia. Kemudian ketika membuka sosial media, kemudian rasa iri muncul atas pencapaian orang lain: nilai seseorang yang lebih tinggi, ia juga begitu cakap berbicara, dan sangat berprestasi. Hal tersebut membuat diri merasa tidak bisa apa-apa. Merasa kurang.
Atau ketika telah menghabiskan keluarga di akhir pekan: bercengkerama sambil tertawa bersama. Merasa bahagia walaupun hanya mengobrol di teras rumah. Kemudian membuka sosial media dan menemukan keluarga orang lain menghabiskan akhir pekan di restaurant fancy dengan senyum merekah. Lagi, kita merasa kurang. Padahal, you’re enough. Adanya sosial media terkadang membuat kita kurang menghargai apa yang kita punya. Di atas langit memang masih ada langit. Namun, dengan adanya sosial media, kita dapat melihat tingginya langit lain dengan mudah. Kita dapat melihat orang lain yang terlihat ‘lebih’ dibandingkan kita.
Bagaimana agar kita dapat bermain sosial media dengan baik tanpa membandingkan sekitar? Jawabannya adalah harus merasa cukup dengan diri sendiri. Bersyukur. Merasa klise? Namun, itulah jawabannya.
Apa itu Bersyukur?
Meskipun terkesan sederhana, ternyata tidak banyak orang yang mampu melakukan rasa syukur. Nurmalasari dan Sanyata (2020) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa penyebab seseorang tidak mampu bersyukur karena pengalaman dan informasi buruk lebih mudah diproses dalam pikiran maupun perasaan. Lalu bagaimana agar kita lebih mudah bersyukur? Jawabannya adalah dengan mencoba gratitude journal.
Apa itu Gratitude Journal?
Sesimpel dapat tidur siang, bertemu teman, hujan di malam hari, dan lainnya. Hal ini dapat membuat kita lebih menghargai hal-hal kecil yang sebelumnya tidak kita sadari. Dengan gratitude journal, kita juga makin sadar bahwa ada banyak rahmat di sekitar kita: terdapat kebahagiaan dari hal-hal kecil.
Dengan gratitude journal, secara tidak langsung akan membuat kita mengapresiasi apa yang kita miliki dan tidak membandingkan dengan orang lain. Dengan menuliskan rasa syukur, akan memperluas pandangan kita tentang diri kita untuk selalu melakukan apresiasi dan mengingatkan pada kita bahwa masih banyak hal-hal baik. Dengan kita bersyukur, maka kita cenderung lebih optimis, memiliki kepuasan dalam hidup, dan efek negatif yang rendah (Sriassah dan Maryan, 2022).
Referensi: