Tingginya Kasus Pernikahan Anak di Indonesia : Ancaman Serius bagi Anak

menangis

Apa itu Pernikahan Anak?

Masih tingginya kasus pernikahan anak yang berusia ≤ 18 tahun tentunya menjadi ancaman yang serius bagi Indonesia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) (2020) melaporkan bahwa terdapat 11,21% perempuan di Indonesia yang usia pernikahan pertamanya kurang dari 18 tahun, yang artinya saat itu mereka melaksanakan praktik pernikahan saat masih anak-anak. 

Bagaimana Dampaknya terhadap Anak?

Pernikahan anak berisiko mengancam kesejahteraan anak, karena akan menimbulkan dampak seperti ketidaksiapan secara mental untuk membina rumah tangga, berisiko tinggi untuk mengalami komplikasi saat kehamilan maupun persalinan yang dapat mengancam nyawa, hingga pengingkaran hak anak untuk mendapatkan pendidikan. BPS, UNICEF dan PUSKAPA (2020) melaporkan bahwa pernikahan anak merupakan salah satu alasan adanya kasus perselingkuhan maupun kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) akibat ketidakstabilan emosi.

Kenapa Bisa Terjadi?

BPS et al. (2020) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) (2020) menjelaskan bahwa kemiskinan merupakan faktor yang mendasari anak tidak dapat mengakses pendidikan dengan baik, sehingga terpaksa untuk menikah. Kemiskinan juga menumbuhkan stigma bahwa kehadiran anak perempuan hanya dianggap sebagai beban ekonomi, sehingga diharapkan dengan menikah, anak perempuan akan memiliki taraf hidup yang lebih baik bagi dirinya maupun keluarganya. Orangtua juga sering khawatir apabila anak perempuannya tidak segera menikah, sehingga memutuskan untuk dinikahkan saja meskipun belum mencapai usia dewasa.

Bagaimana Cara Menanggulanginya?

Adanya kasus pernikahan anak yang berisiko mengancam kesejahteraan mereka tentunya perlu untuk kita minimalisasi sedini mungkin. Bappenas (2020) meluncurkan Strategi Nasional Pencegahan Pernikahan Anak (STRANAS PPA) yang terdiri dari 5 (lima) strategi yaitu:

  1. Mengoptimalisasikan kapasitas anak, yaitu menjadi kunci perubahan dengan melakukan “2P” atau Pelopor dan Pelapor. Anak sebagai agent of change melalui penyebaran mengenai dampak dari pernikahan anak. Anak juga wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang jika menemukan kasus pernikahan anak. Media sosial dapat menjadi sarana bagi anak untuk mewujudkan peran ini.
  2. Menguatkan peran orang tua, keluarga, organisasi sosial/kemasyarakatan, maupun sekolah dalam rangka menciptakan lingkungan yang mendukung adanya pencegahan pernikahan anak.
  3. Menjamin anak mendapat layanan dasar komprehensif untuk kesejahteraan anak, salah satunya adalah memenuhi hak wajib belajar 12 tahun. Dengan seorang anak belajar hingga 12 tahun, semakin banyak ilmu yang dia miliki semakin paham dia akan buruknya dari pernikahan anak.
  4. Menjamin penegakan regulasi terkait pencegahan pernikahan anak, termasuk mendorong adanya Kabupaten/Kota Layak Anak, sehingga semakin banyaknya masyarakat yang peduli dan tidak melakukan pernikahan anak ini.
  5. Penguatan koordinasi antarsektor yang berkepentingan dalam pencegahan pernikahan anak ini, sehingga tidak hanya terbentuknya regulasi terkait pernikahan anak, tetapi juga mengoptimalisasikan koordinasi sehingga kasusnya dapat diminimalisasi.

Sebagai generasi penerus bangsa, sudah sangatlah wajib bagi anak untuk mendapatkan pendidikan dan dapat menggapai potensi dirinya dalam rangka membentuk jati dirinya sendirinya dengan optimal. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama mencegah semakin tingginya kasus pernikahan anak demi mewujudkan kesejahteraan bangsa ini.

Referensi :

Bappenas (2020) “Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak,” 53(9), hal. xi–78.

WHO (2013) Child Marriages: 39,000 Every Day – More than 140 million girls will marry between 2011 and 2020, United Nations.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) (2020) Profil Anak Indonesia 2020, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (2017) “Pencegahan Perkawinan Anak,” hal. 6–10.

Facebook
X
Threads
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Event Kami

ruang kata

Artikel Populer

Artikel Terkait

Translate »