KBGO, Kekerasan di Ruang Internet yang Jarang Disadari

Perempuan sedang terduduk sambil menyembunyikan wajahnya, sebagai ilustrasi korban KBGO,

Peringatan: Tulisan ini mungkin dapat memicu pengalaman traumatik. Segera cari dukungan terdekat jika Sobat atau orang di sekitar Sobat sedang berupaya pulih dari kekerasan.

__________

Satu bulan sebelum tulisan ini tayang, pengalaman kurang menyenangkan terjadi pada seorang musisi yang baru saja populer di Indonesia. Bernadya terpaksa harus menutup kolom komentar media sosial TikTok miliknya. Hal ini ia lakukan pasca postingannya diserbu oleh komentar pelecehan seksual dari warganet.

Tahukah Sobat, bahwa gangguan kesehatan mental, doomscrolling, dan produktivitas yang menurun hanyalah segelintir masalah di balik aktivitas digital yang tidak sehat. Seiring dengan semakin populernya penggunaan media sosial, ancaman kesejahteraan digital juga semakin bertambah. Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), seperti yang dialami oleh Bernadya, adalah salah satu contohnya.

Lantas, apa yang dimaksud dengan KBGO? Meminjam definisi yang ditetapkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), KBGO sendiri adalah kekerasan berbasis gender yang dilakukan, didukung, atau diperburuk secara sebagian atau keseluruhan, lewat penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, hingga mengakibatkan penderitaan secara fisik, seksual atau psikologis. 

Singkatnya, KBGO sama dengan kekerasan berbasis gender pada umumnya, yakni kekerasan yang dilakukan atas identitas gender dan seksualitas korban (sering kali adalah perempuan dan penyandang gender ketiga). Hanya saja, KBGO memiliki konteks yang lebih luas karena ia terjadi di dalam ruang digital.

Bernadya tidak sendirian. Sejak kasus KBGO pertama kali didokumentasikan pada tahun 2016, jumlahnya terus menerus meningkat setiap tahunnya. Terakhir kali, berdasarkan dokumen Catatan Tahunan tahun 2023, Komnas Perempuan dan lembaga penyedia layanan telah menerima lebih dari 1.800 aduan KBGO di tahun tersebut. Berikut ini adalah perkembangan kenaikan jumlah kasus KBGO sebelumnya dari tahun ke tahun.

Grafik peningkatan kasus KBGO yang terlaporkan, yakni 16 kasus pada 2016, 97 kasus pada 2018, 281 kasus pada 2019, 940 kasus pada tahun 2020, 1721 kasus pada tahun 2021, dan 1691 pada tahun 2022.

(Sumber: Kertas Kebijakan Saran dan Masukan Komnas Perempuan terhadap RUU Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik)

Dampak Negatif KBGO yang Tidak Bisa Disepelekan

Sebagaimana kekerasan berbasis gender pada umumnya, KBGO turut menyimpan dampak yang tidak bisa disepelekan. Mengutip panduan Awas KBGO yang diterbitkan oleh SafeNet, dampak KBGO membentang mulai dari level individu sampai level masyarakat. 

Pada level individu, korban KBGO dapat mengalami kerugian psikologis, keterasingan sosial, kerugian ekonomi, keterbatasan mobilitas, dan sensor diri. Sementara pada level masyarakat, KBGO dapat menumbuhkan kultur seksisme dan misoginis, serta ketidaksetaraan gender di ruang internet. Di bawah ini adalah rinciannya.

Level Dampak KBGO Gejala
Individu Masalah psikologis. Depresi, kecemasan, ketakutan, menyatakan pikiran bunuh diri.
Keterasingan sosial. Menarik diri dari kehidupan publik, termasuk dengan keluarga dan teman-teman. Hal ini terutama terjadi pada korban yang foto dan videonya didistribusikan tanpa persetujuan mereka.
Kerugian ekonomi. Menjadi pengangguran dan kehilangan penghasilan.
Keterbatasan mobilitas. Kehilangan kemampuan untuk bergerak bebas dan berpartisipasi dalam ruang online atau offline.
Sensor diri. Menghapus diri dari internet dan memutus komunikasi sosial dan profesional karena menganggap internet sudah tidak lagi menjadi ruang yang aman sehingga takut menjadi korban untuk yang kedua kalinya.
Masyarakat Kultur seksisme dan misoginis. Kelompok gender tertentu (biasanya perempuan dan gender ketiga) semakin dirugikan dan dibatasi untuk untuk mendapatkan manfaat dari peluang yang sama secara online yang biasanya didapatkan oleh laki-laki, seperti pekerjaan, promosi dan ekspresi diri.

(Sumber: Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online, Sebuah Panduan)

Apapun Gendernya, Remaja Rentan Menjadi Korban Sekaligus Pelaku

Secara umum, KBGO dapat menimpa siapapun yang beraktivitas di ruang internet. Namun, remaja menjadi salah satu kelompok yang paling rentan untuk menjadi korbannya. Hal ini setidaknya pernah diungkapkan oleh sebuah survei terkait KBGO yang dilakukan pada tahun 2022 terhadap 756 remaja berusia 15-19 tahun di seluruh Indonesia.

Menurut hasil survei tersebut, seluruh responden remaja menyampaikan pernah mengalami setidaknya satu hingga dua KBGO, dimana 37% di antaranya adalah remaja laki-laki. Kemudian, sepertiga responden mengaku menjadi korban KBGO untuk yang kedua kalinya, atau dengan kata lain mengalami kekerasan berulang.

Temuan menarik lainnya, teman sebaya menduduki posisi tertinggi sebagai pelaku KBGO (65%), mengalahkan orang asing (59%), keluarga dan kerabat (37%), maupun guru dan staf sekolah (23%). Hal ini secara tidak langsung menegaskan bahwa remaja, selain rentan menjadi korban, juga sangat mungkin menjadi pelaku.

Ada pun berdasarkan jenis kekerasan yang dialami, pelecehan siber menduduki posisi teratas, di mana 77% responden perempuan dan 51% responden laki-laki melaporkannya. Kekerasan ini terjadi dalam bentuk pengiriman email/teks online yang memuat pesan-pesan yang mempermalukan dan melecehkan identitas gender korban.

Selain itu, korban juga mengalami bentuk-bentuk kekerasan lainnya, seperti cyberflashing (dikirimkan gambar/video bermuatan seksual), doxing (penyebaran gambar/video pribadi bermuatan seksual tanpa persetujuan), dan sexortion (diancam atau diperas lewat penyebaran gambar/video pribadi bermuatan seksual).

Menerapkan Digital Wellbeing untuk Melawan KBGO

Tingginya kasus KBGO kemudian turut memperluas arah dan tujuan dari digital wellbeing. Kini, konsep digital wellbeing bukan hanya soal mendorong aktivitas digital yang sehat secara mental atau mengontrol screen time; melainkan juga tentang etika dalam menggunakan media sosial dan upaya menciptakan internet sebagai ruang yang aman dari tindak kekerasan.

Lebih lanjut, berikut ini adalah beberapa contoh terkait penerapan digital wellbeing untuk menunjang pencegahan KBGO.

1. Memahami Resiko Berinternet.

Waktu, energi, dan produktivitas adalah beberapa concern di dalam digital wellbeing. Namun, akan lebih baik lagi jika hal tersebut juga diikuti dengan kesadaran mengenai resiko berinternet. Dengan memahaminya, Sobat menjadi terdorong melindungi diri sendiri dan lebih sensitif terhadap situasi yang berpotensi mengarah pada KBGO. 

Misalnya, ketika ada seseorang baru dikenal meminta foto selfie bermuatan seksual, Sobat yang memahami resiko berinternet tentu tidak akan langsung memberikan persetujuan. Sebab, apabila Sobat asal membagikan foto kepada orang, bukan tidak mungkin pelaku akan menggunakannya sebagai sarana untuk melakukan KBGO.

2. Melindungi Privasi.

Perlindungan data pribadi adalah hal yang juga tidak kalah penting di dalam praktik digital wellbeing. Dalam konteks KBGO, sering kali kasusnya bermula ketika pelaku memiliki akses terhadap informasi milik korban, baik informasi yang sejak awal sifatnya publik atau informasi lain yang sifatnya pribadi dan tidak disadari bocor.

Mengutip saran National Cybersecurity Alliance, ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk membuat privasi digital kita tetap aman, misalnya seperti tidak menyimpan kata sandi pada browser, menghindari koneksi WiFi di tempat publik, tidak sembarangan mengklik tautan atau dokumen dari pihak tidak dikenal, dan tidak membagikan lokasi dan waktu secara real time.

3. Meminimalisir Konten Negatif.

Doomscrolling, salah satu masalah kesejahteraan digital, utamanya disebabkan oleh paparan yang tinggi akan konten negatif. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan sebisa mungkin meminimalisir konten negatif itu sendiri. 

Pendekatan yang sama juga bisa diterapkan dalam konteks perlawanan terhadap KBGO, misalnya dengan cara menghapus dan melaporkan konten, forum virtual, komentar, dan segala bentuk interaksi lainnya yang mengarah pada praktik KBGO. 

4. Menanamkan Etika Digital.

Menciptakan ruang internet yang aman bagi semua gender bisa dilakukan dengan mulai memperhatikan etika digital. Misalnya, sebelum memberikan komentar, Sobat perlu memikirkan terlebih dahulu apa dampaknya kepada orang lain. 

Jangan sampai Sobat secara impulsif mengirimkan komentar yang menimbulkan rasa tidak nyaman. Mengomentari tubuh dan seksualitas seseorang adalah hal yang perlu dihindari. Dengan mempertimbangkannya, Sobat juga akan terhindar menjadi pelaku KBGO dan berkontribusi memutus lingkaran kekerasan.

5. Membantu Korban.

Selain menerapkan digital wellbeing, Sobat juga bisa berkontribusi membantu korban KBGO dalam mendapatkan keadilan dan penanganan. Hal ini misalnya bisa dilakukan dengan menyebarkan kontak-kontak yang bisa dihubungi oleh korban ketika sedang memerlukan bantuan. Sobat juga bisa bergabung ke dalam jaringan online paralegal yang berfokus memberikan pendampingan kepada para korban KBGO.

Nah, itu dia sedikit penjelasan tentang KBGO dan bagaimana digital wellbeing dapat menjadi pendekatan untuk melawannya. Seiring dengan meluasnya jangkauan internet, KBGO adalah ancaman yang cukup dekat dengan kehidupan di ruang digital. Sobat sangat mungkin menjadi korban atau bahkan pelakunya. Yuk, ciptakan ruang internet yang lebih aman bagi semua orang apapun identitas gendernya.

Penulis: Nobertus Mario Baskoro.

Facebook
X
Threads
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Event Kami

Ruang Kata 4

Artikel Populer

Artikel Terkait

Translate »