Bandung, 20 Februari 2025 – Food waste atau limbah makanan masih menjadi permasalahan serius di berbagai kota besar di Indonesia, termasuk Bandung. Setiap harinya, ribuan ton sampah makanan dihasilkan dari rumah tangga, restoran, hingga pasar tradisional. Ironisnya, banyak dari makanan yang terbuang masih layak konsumsi dan berpotensi membantu mereka yang membutuhkan. Dalam menghadapi permasalahan ini, kolaborasi antara NGO, pemerintah, dan masyarakat menjadi kunci dalam mewujudkan kota yang lebih berkelanjutan.
Kondisi Food Waste di Bandung
Menurut data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung, sekitar 50% dari total sampah yang dihasilkan merupakan sampah organik, termasuk sisa makanan. Namun, pengelolaan sampah di tingkat masyarakat masih menghadapi banyak kendala. Salah satu masalah utama adalah minimnya pemilahan sampah organik, anorganik, dan residu di sumbernya, yang menyebabkan potensi pengolahan kembali menjadi terhambat.
“Pengelolaan sampah di tingkat RT, RW, dan kelurahan telah banyak didorong melalui berbagai program edukasi. Masyarakat semakin memahami pentingnya memilah sampah dan mengelola limbah rumah tangga dengan baik. Namun, kenyataannya, edukasi saja tidak cukup,” ujar Muhammad Dera P, perwakilan dari Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB).
Meskipun masyarakat telah memilah sampah dari rumah, minimnya kebijakan yang mendukung dan infrastruktur yang memadai membuat sampah yang telah dipilah seringkali kembali dicampur saat pengangkutan. Hal ini menimbulkan rasa frustrasi di kalangan warga dan menurunkan semangat mereka dalam mengelola sampah secara mandiri.
Lalu Bagaimana Pengelolaan Sampah di Tingkat Masyarakat: Antara Edukasi dan Kebijakan?
Menurut Ka Muhammad Dera P, yang merupakan bagian dari YPBB “ Pengelolaan sampah di tingkat RT, RW, dan kelurahan telah banyak didorong melalui berbagai program edukasi. Masyarakat semakin memahami pentingnya memilah sampah dan mengelola limbah rumah tangga dengan baik. Namun, kenyataannya, edukasi saja tidak cukup.”
Oleh karena itu banyak warga merasa pesimis karena upaya memilah sampah yang mereka lakukan sering kali menjadi sia-sia. Mereka sudah terbiasa memilah sampah organik dan anorganik, tetapi ketika petugas pengangkut sampah datang, sampah-sampah itu kembali dicampur dalam satu tempat. Hal ini menimbulkan rasa frustasi dan anggapan bahwa pemilahan sampah tidak ada gunanya. Masalah utama bukan lagi kurangnya edukasi, melainkan kebijakan yang belum sepenuhnya mendukung sistem pengelolaan sampah yang efektif. Tanpa kebijakan yang jelas, pendanaan yang memadai, serta perencanaan yang matang dari dinas terkait, upaya masyarakat dalam memilah sampah akan terus menemui hambatan.
Kota Bandung, sebagai salah satu kota besar di Indonesia, membutuhkan strategi yang lebih konkret dalam pengelolaan sampah, terutama dalam menangani food waste. Selain edukasi yang berkelanjutan, diperlukan komitmen dari pemerintah untuk menyediakan infrastruktur yang memadai, regulasi yang lebih ketat, serta sistem yang memastikan sampah yang telah dipilah tidak kembali tercampur. Kesadaran masyarakat memang penting, tetapi tanpa dukungan kebijakan yang kuat dan eksekusi yang konsisten, semangat warga dalam mengelola sampah bisa terus menurun. Oleh karena itu, sinergi antara edukasi dan kebijakan adalah kunci utama dalam menciptakan sistem pengelolaan sampah yang lebih baik dan berkelanjutan.
Menurut Ka Muhammad Dera, pendekatan yang lebih efektif dalam menangani permasalahan sampah saat ini harus melibatkan berbagai tingkatan pemerintahan, mulai dari pusat, provinsi, hingga daerah.
Sampah bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi juga terkait dengan kebijakan, pendanaan, serta sistem pengelolaan yang harus diterapkan secara terintegrasi. Pemerintah pusat memiliki peran dalam menetapkan regulasi dan kebijakan nasional yang menjadi acuan bagi pemerintah provinsi dan daerah. Sementara itu, pemerintah provinsi bertugas mengawasi implementasi kebijakan serta memberikan dukungan sumber daya, baik dalam bentuk anggaran maupun infrastruktur. Di sisi lain, pemerintah daerah menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan sistem pengelolaan sampah yang langsung berdampak pada masyarakat. Tanpa koordinasi yang baik di antara ketiga tingkat pemerintahan ini, permasalahan sampah akan terus berulang. Masyarakat sering kali sudah memiliki kesadaran untuk memilah sampah, tetapi jika tidak ada sistem yang mendukung seperti fasilitas pengolahan sampah yang memadai dan petugas yang konsisten menjalankan aturan maka usaha tersebut akan sia-sia.
Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi erat antara pemerintah pusat, provinsi, dan daerah agar sistem pengelolaan sampah bisa berjalan lebih efektif dan berkelanjutan. Dengan pendekatan ini, diharapkan permasalahan sampah, terutama di kota-kota besar seperti Bandung, bisa ditangani dengan lebih baik dan menghasilkan lingkungan yang lebih bersih serta sehat bagi masyarakat.
Peran YPBB sebagai NGO dalam Mengurangi Food Waste
Sejumlah NGO di Bandung aktif mengambil langkah nyata dalam mengatasi masalah food waste. YPBB menjadi salah satu organisasi yang konsisten dalam mendorong gaya hidup ramah lingkungan melalui berbagai program edukasi dan pendampingan kebijakan. Organisasi ini juga konsisten dalam mendorong gaya hidup ramah lingkungan dan pengelolaan sampah yang berkelanjutan melalui berbagai program.
Salah satu program unggulan YPBB adalah Zero Waste Lifestyle, yang berfokus pada edukasi masyarakat mengenai penanganan sampah organik secara benar. Edukasi ini bertujuan meningkatkan kesadaran komunitas akan pentingnya memilah dan mengolah sampah organik, mengingat sampah organik menjadi komponen terbesar dalam timbunan sampah rumah tangga.
YPBB juga berperan sebagai Technical Assistant bagi pemerintah daerah seperti Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Cimahi. Mereka membantu dalam menyusun kebijakan pengelolaan sampah yang lebih efektif. Salah satu kontribusinya adalah mendampingi penyusunan Peraturan Daerah (Perda) tentang pengelolaan sampah pada tahun 2018 di Kota Bandung dan Cimahi, serta pembuatan himbauan terkait pengelolaan sampah organik di wilayah tersebut.
Dalam mendukung visi kota bebas sampah, YPBB menjalankan program Zero Waste Cities sejak tahun 2019 hingga 2021, dan hingga kini program ini masih terus berlanjut. Program ini berfokus pada penerapan konsep zero waste di tingkat komunitas, dengan melibatkan warga secara aktif dalam pengelolaan sampah organik dari sumbernya.
Selain itu, YPBB juga menjalankan program usaha berupa Toko Organis dan Refill Center. Toko ini menyediakan berbagai produk ramah lingkungan yang mendukung gaya hidup minim sampah. Konsepnya adalah masyarakat membawa wadah sendiri untuk diisi ulang dengan kebutuhan rumah tangga seperti sabun, detergen, dan bahan makanan organik. Tersedia juga alat-alat kompos dan layanan konsultasi bagi masyarakat yang ingin memulai pengelolaan sampah organik di rumah.
Inisiatif Masyarakat: Kelurahan Nyengseret sebagai Contoh
Selain upaya yang dilakukan oleh NGO, kesadaran masyarakat juga menjadi faktor penting dalam mengurangi food waste. Pada awalnya program ini digagas untuk menciptakan kesadaran akan pemilahan dan pengelolaan sampah Warga Bandung yang khususnya di Kelurahan Nyengseret, Kecamatan Astana Anyar yang mulai mengadopsi berbagai kebiasaan positif, seperti:
- Membeli bahan makanan sesuai kebutuhan untuk menghindari pemborosan.
- Memanfaatkan aplikasi dan platform berbagi makanan untuk mendonasikan makanan berlebih.
- Mengolah sisa makanan menjadi hidangan baru atau bahan kompos untuk pertanian.
Di kelurahan ini juga mereka mengadakan program Sidak Panik yang telah dijalankan selama 1 tahun karena adanya darurat sampah di Kota Bandung dengan adanya petugas GOBER yang ditugaskan khusus untuk menjemput sampah oraganik dan sampah organik ini mereka kelola untuk menjadi pakan maggot bersih yang nantinya maggot tersebut dijadikan pakan ternak di kelurahan Nyengseret. Selain Rumah Maggot di Kelurahan ini, mereka juga menjadikan sampah organik menjadi pupuk kompos untuk tanaman Buruan Sae. Tanaman dari hasil kegiatan Buruan Sae diperuntukan untuk sumber bahan pangan yang difokuskan kepada anak yang terindikasi stunting di kelurahan tersebut. Kak Sandy menyebutkan “di Kelurahan Nyengseret sebanyak 500 KG sampah organik yang dihasilkan setiap harinya dan dibagikan sebanyak 300 KG untuk Rumah Maggot dan 200 KG dijemput untuk dikelola oleh DLH”.
Selain adanya program yang digagas oleh para warga tersebut mereka juga berkolaborasi dengan organisasi “Wangsit Sauyunan” yang merupakan komunitas yang bergerak dalam ilmu sosial dan lingkungan. Kak Sandi berkata ” komunitas Wangsit Sauyunan merupakan komunitas yang membentu memberikan edukasi kepada para masyarakat di kel. Nyengseret terutama akan kesadaran sampah di Kelurahan tersebut, upaya pemberian edukasinya dengan berbagai cara termasuk dengan memilah 3 R (Reduce, Reuse and Recycle), membawa tas sendiri atau shopping bag saat berbelanja guna mengurang sampah anorganik dan lainnya”.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Meskipun upaya mengurangi food waste di Bandung semakin berkembang, masih ada tantangan yang harus dihadapi. Kurangnya kesadaran di sebagian masyarakat serta keterbatasan infrastruktur untuk pengelolaan food waste maupun sampah umum menjadi kendala utama tetapi juga menjadi target untuk membangun kesadaran tersebut. Namun, dengan sinergi antara NGO, pemerintah, dan masyarakat, diharapkan Bandung dapat menjadi contoh kota yang sukses dalam mengelola food waste dengan lebih baik.
Kesimpulan
Mengurangi food waste bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau NGO, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Dengan adanya aksi kolektif, kebijakan yang mendukung, serta edukasi yang terus menerus, Bandung bisa menjadi kota yang lebih sadar pangan dan berkelanjutan. Food waste bukan sekadar masalah sampah, tetapi juga isu kemanusiaan yang perlu segera ditangani. Apakah kita siap untuk menjadi bagian dari solusi?