Remaja menjadi salah satu kelompok yang rawan mengalami persoalan gizi, baik itu gizi kurang, gizi berlebih, atau masalah gizi lain. Tentu saja, permasalahan ini tak bisa dianggap remeh, sebab kebutuhan nutrisi dapat berakibat pada masa depan seorang individu. Pemenuhan gizi yang kurang seimbang dapat berakibat pada produktivitas, status kesehatan, serta prestasi akademik.
Dari kaitan di atas, asupan makanan sangat mempengaruhi status gizi seseorang. Akan tetapi, berdasarkan pengamatan penulis, hampir tidak pernah ditemui remaja di lingkungan pertemanan penulis dari sekolah dasar hingga kuliah yang memiliki kepedulian selektif pada jajanan dan label kandungan gizi. Sangat disayangkan, padahal gizi yang baik dapat digunakan dengan efisien oleh tubuh dalam perkembangan otak, pertumbuhan tubuh, serta kemampuan kerja secara optimal.
Ketidaktahuan akan masalah gizi dapat berimbas pada perilaku keliru dalam memaknai asupan makanan. Dengan demikian, pengetahuan akan gizi harus gencar dilakukan karena dapat mempengaruhi aksi dan perilaku seseorang dalam memilih apa yang ia makan. Makin banyak informasi gizi yang diterima, maka bisa mendorong sikap kritis seseorang terutama remaja dalam memenuhi status gizinya.
Berdasarkan data dari Global Health Survey pada tahun 2015, sebanyak 65,2% remaja mengaku tidak selalu sarapan, 75,7% sering mengonsumsi makanan tinggi penyedap, 93,6% kurang mengonsumsi buah dan sayur, serta 42,5% menerapkan pola hidup sedentary lifestyle. Hasil survei tersebut membuktikan bahwa mayoritas remaja belum paham risiko yang mengintai dari kebiasaan tersebut.
Hal di atas juga didukung dengan observasi dan pengalaman penulis yang tinggal di daerah Bandung. Sebagian besar remaja yang penulis kenal, tidak sarapan terlebih dulu sebelum berangkat sekolah. Bahkan, mereka bisa hanya makan satu kali dalam sehari dan lebih banyak mengkonsumsi jajanan.
Sikap di atas dapat menyebabkan beberapa penyakit yang dapat meneror remaja akibat kebutuhan nutrisi yang tidak seimbang, yaitu pertama, kelebihan gizi atau obesitas. Obesitas dapat terjadi ketika remaja memiliki kecenderungan tak acuh pada kandungan makanan lagi gizi, sehingga sangat besar kemungkinan mereka makan hanya untuk meredakan rasa lapar. Terlebih, banyak ditemui remaja yang mengonsumsi karbohidrat dengan karbohidrat lagi.
Tentu saja, ancaman obesitas pada remaja akan mengakibatkan banyak gangguan kesehatan. Remaja yang mengalami obesitas, memiliki risiko penyakit hipertensi, diabetes melitus, kanker, penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, dan lain sebagainya yang bisa menurunkan usia harapan hidup dan produktivitas di masa depan.
Pada tahun 2018, Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI) melakukan sebuah Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang menunjukkan hasil bahwa 33,5% penduduk Indonesia kurang aktif melakukan aktivitas fisik. Kemudian 66,4% remaja melakukan pola hidup sedentary lifestyle, yang dapat diartikan pola hidup tanpa mengeluarkan banyak energi, seperti menonton, rebahan, duduk santai, bermain permainan melalui gawai, dan masih banyak lagi.
Maka tak heran, bila obesitas terjadi di kalangan remaja akibat kurangnya aktivitas fisik. Perkembangan teknologi di ranah makanan dan layanan pesan antar pun membuat keadaan seolah semakin rumit. Banyak kepraktisan yang ditawarkan dari makanan instan sehingga remaja menyukai beragam jenis fast food yang belum jelas status nutrisinya.
Konsumsi remaja pada jajanan seperti minuman botol yang berwarna, gorengan, minuman manis, makanan tinggi kadar lemak, mengandung banyak zat aditif memang menjadi hal yang disukai. Mereka menganggap bahwa makanan apa saja bisa dikonsumsi asal membuat perut kenyang. Terlebih kebanyakan remaja tidak sarapan dan lebih memilih jajan sehingga membuat pola kehidupan remaja semakin tidak sehat.
Kedua, remaja rawan mengalami penyimpangan masalah perilaku makanan, terutama bagi remaja putri. Penyimpangan makan seperti ini bisa diakibatkan oleh praktik diet ketat sebagai salah satu upaya membentuk tubuh langsing. Stereotipe tubuh langsing dianggap sebagai bentuk tubuh paling ideal membuat remaja berlomba-lomba membatasi frekuensi asupan makanan.
Remaja putri mulai sensitif pada perubahan bentuk tubuh serta penampilan yang bisa saja disebabkan oleh faktor psikologis akan ketidakpuasan. Pemikiran ini akan membuat remaja menjadi tidak percaya diri, berpikiran negatif, merasa rendah diri, dan lain sebagainya yang mengakibatkan melakukan pembatasan makan.
Seperti yang banyak ditemui oleh penulis, remaja kerap dengan sengaja melewatkan waktu makan, mengambil porsi makan yang begitu sedikit, menahan rasa lapar, bahkan memuntahkan lagi makanan. Keadaan ini akan menyebabkan masalah kesehatan seperti bulimia nervosa, anoreksia nervosa, binge-eating disorders, serta perilaku makan menyimpang lain. Ketika remaja membatasi frekuensi makan atas dasar alasan ingin membentuk tubuh ideal, jelas sekali bahwa kebutuhan nutrisi oleh tubuh tidak bisa terpenuhi.
Ketiga, stunting atau memiliki tinggi badan pendek. Rerata tinggi anak di Indonesia lebih pendek ketimbang standar dari World Health Organization (WHO) yaitu laki-laki lebih pendek 12,5 cm dan perempuan lebih pendek 9,8 cm. Akan tetapi, remaja Indonesia seolah tidak sadar atas kondisi ini. Padahal, stunting dapat menyebabkan penurunan sistem kekebalan tubuh, penurunan fungsi kognitif, serta gangguan metabolisme tubuh. Apabila kondisi ini terus berlanjut, maka bisa menyebabkan penyakit degeneratif seperti jantung koroner, hipertensi, dan diabetes melitus.
Keempat, masalah yang berkaitan dengan penurunan kuantitas sel darah merah atau anemia. Jumlah hemoglobin yang berada di bawah batas normal dapat membuat remaja menjadi kerap merasa pusing, lesu, lemas, mata berkunang-kunang, serta wajah pucat. Kaitan anemia dengan gizi yaitu anemia bisa diakibatkan oleh kurangnya konsumsi sumber makanan hewani serta makanan nabati.Kedua sumber makanan ini memiliki kandungan zat besi yang berguna bagi tubuh.
Bagi remaja putri yang aktif memiliki siklus menstruasi setiap bulan, bahkan dianjurkan mengonsumsi suplemen tambah darah pada periode menstruasinya. Lagi-lagi, edukasi semacam ini sangat jarang dilakukan juga diterapkan pada masyarakat. Padahal, anemia dapat berakibat pada penurunan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena penyakit.
Dari beberapa masalah kesehatan di atas, maka diperlukan upaya preventif demi mengedukasi para remaja untuk mengatur pola serta konsumsi makanan dalam rangka pemenuhan gizi.
Edukasi secara masif dapat menjadi salah satu solusi dalam mendorong remaja agar lebih memiliki kepekaan dan pola pikir kritis terhadap asupan nutrisi.
Literasi gizi pun dapat menjadi jalan keluar untuk mencegah penyakit-penyakit yang telah dipaparkan di atas menjangkit para remaja. Sebab, literasi gizi akan memberi pemahaman terkait informasi gizi serta dapat menentukan pola makan sesuai untuk pemenuhan nutrisi. Sehingga, diharapkan remaja bisa terhindar dari masalah gizi yang dapat mengintai perkembangannya.
Referensi:
Indartanti, Dea. 2014. Hubungan status gizi dengan kejadian anemia pada remaja putri. J. of Nutrition College. 3(2).
Syafei, Abdullah. 2019. Literasi gizi (nutrition literacy) dan hubungannya dengan asupan makanan dan status gizi remaja. J. Ilmu Kesehatan Masyarakat. 8(8).