Belajar dari Urban Farming dalam Mengatasi Krisis di Perkotaan

Krisis di perkotaan bisa terjadi kapan saja. Berbicara soal krisis, seluruh dunia sempat mengalami krisis di era Covid-19 beberapa waktu silam. Saat itu, semua pihak, terutama orang-orang di bidang kesehatan tengah fokus menanggulangi krisis kesehatan agar penyebaran virus SARS-CoV-2 bisa ditekan. World Health Organization (WHO) pada 2020 lalu mengeluarkan imbauan resmi agar seluruh dunia menerapkan physical distancing. Indonesia merespons imbauan tersebut dengan menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), dengan menutup berbagai tempat kerja, tempat ibadah, sekolah, fasilitas umum, sampai transportasi umum.

Tak hanya terjadi krisis kesehatan, era Covid-19 juga punya dampak signifikan pada krisis pangan di seluruh dunia, terutama di wilayah perkotaan. Sudah jadi rahasia umum kalau wilayah perkotaan cenderung bergantung pada pertanian di desa atau wilayah pinggiran. Kemudian, saat muncul kebijakan tentang pembatasan sosial, otomatis proses distribusi bahan pangan dari desa ke kota berhenti. Lantas, setelah itu, apa yang terjadi? Yup, masyarakat perkotaan menjadi rentan.

Urban Farming. Sumber: Pexels/Jatuphon Buraphon. https://www.pexels.com/id-id/foto/pemandangan-sayuran-348689/

Pemerintah Indonesia diketahui punya beberapa program yang tertulis dalam Jaring Pengaman Sosial (JPS), salah satunya operasi pasar dan logistik. Program tersebut bertujuan untuk menyediakan bahan pangan dengan harga terjangkau, mengatur distribusi pangan yang berjalan lancar, dan lain sebagainya. Namun, terlepas dari program bantuan dari pemerintah, rupanya muncul pula berbagai aksi solidaritas dari masyarakat langsung, seperti di wilayah perkotaan Yogyakarta, ada gerakan bernama Solidaritas Pangan Jogja (SPJ). SPJ ini punya program membentuk dapur umum untuk menyediakan makanan pada kelompok masyarakat yang dianggap rentan.

Seiring dengan berjalannya gerakan SPJ, bermunculan pula urban farming di wilayah perkotaan Yogyakarta, salah satunya Kebunku Jogja, yang berlokasi di Bantul. Urban farming satu ini memiliki luas 300 meter, dengan berbagai metode tanam, seperti polybag, tumpang sari, serta hidroponik. Jika dibandingkan dengan lahan pertanian tradisional, area Kebunku Jogja memang cenderung kecil, karena menerapkan konsep urban farming yang menekankan pemanfaatan ruang terbatas di area perkotaan. Meski demikian, urban farming Kebunku Jogja ini punya peran memenuhi kebutuhan pangan pada dapur umum SPJ.

Di samping Kebunku Jogja, masih banyak lagi urban farming di wilayah perkotaan Yogyakarta, misalnya di Bantaran Kali Code, Cokrodiningratan. Konsep urban farming masyarakat wilayah Bantaran Kali Code diketahui hanya mengandalkan pupuk organik, sehingga hasil panen sayurannya lebih aman untuk dikonsumsi dan tidak mencemari media tanam dengan bahan kimia. Urban farming yang ada di wilayah Bantaran Kali Code bukan hanya digarap oleh komunitas penduduk setempat, tapi anak-anak muda juga punya peran penting, lho, contohnya ada peserta KKN UIN Sunan Kalijaga yang turut membantu proses pertanian terong, cabai, sawi, bayam, dan jenis sayuran lainnya.

Situasi serupa juga dialami masyarakat perkotaan di Malaysia. Dalam artikel terbitan Universiti Malaya, Kuala Lumpur pada Februari 2024 lalu, peneliti berfokus menginvestigasi motivasi masyarakat untuk melakukan urban farming di tengah krisis Covid-19. Salah satu temuannya menyebutkan, masyarakat perkotaan yang telah berkeluarga punya motivasi cukup tinggi melakukan urban farming, terutama dalam mengelola kebun di pekarangan tempat tinggal pribadi. Pasalnya, hasil panen dari kegiatan urban farming bisa dijadikan bahan makanan sehari-hari untuk keluarga. Hal ini juga membantu agar kondisi perekonomian keluarga tetap aman.

Kemunculan urban farming di tengah krisis pangan pada era Covid-19 lalu tentu saja sangat membantu masyarakat, baik di Yogyakarta, Malaysia, ataupun wilayah lainnya dalam mengatasi krisis yang terjadi di wilayah perkotaan. Apalagi jika lebih banyak wilayah perkotaan lain di Indonesia menjalankan metode urban farming yang serupa, dijamin semakin banyak pula masyarakat perkotaan yang lebih mandiri walaupun dunia sedang mengalami krisis.

Selain tentang memenuhi kebutuhan makanan, kita juga bisa melihat kemungkinan munculnya manfaat lain dalam penerapan urban farming, seperti meningkatkan kondisi kesehatan sampai ekonomi masyarakat perkotaan.

Manfaat Urban Farming

  • Keseimbangan gizi masyarakat

Adanya urban farming dapat membantu menyediakan beragam jenis sayuran dan buah-buahan untuk masyarakat. Terutama saat terjadi krisis seperti Covid-19 silam di Yogyakarta, diketahui bantuan-bantuan sosial dari pemerintah ataupun lembaga tertentu yang diterima oleh masyarakat Bantaran Kali Code lebih banyak berfokus pada makanan instan. Alhasil, kehadiran urban farming sangat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat akan vitamin, serat, dan nutrisi dari bahan alami lainnya yang tak bisa didapat dari makanan instan.

  • Akses bahan pangan dengan modal minim

Saat ketersediaan pangan di perkotaan tengah langka, otomatis harga bahan pangan berisiko meningkat. Kehadiran komunitas yang mengelola urban farming dapat membantu masyarakat kota mendapatkan bahan pangan dengan harga lebih rendah. Sebab, masyarakat bisa membeli langsung dari petani atau pengelola urban farming, tanpa adanya perantara. Bahkan, masyarakat kota juga dapat menanam bahan makanan sendiri di area pekarangan rumah sesuai konsep urban farming, sehingga modal yang dikeluarkan untuk mendapatkan bahan pangan yang dikonsumsi sehari-hari semakin minim lagi.

  • Kebaruan edukasi seputar pengelolaan limbah organik

Urban farming dapat membuka peluang edukasi di kalangan masyarakat kota tentang pengelolaan limbah organik atau dikenal dengan nama eco enzyme. Alih-alih dibuang langsung begitu saja, limbah bahan makanan seperti sayuran dan buah-buahan dapat difermentasi dan diolah menjadi pupuk organik. Pupuk tersebut kemudian dapat dimanfaatkan kembali untuk penanaman di lahan urban farming. Pengelolaan limbah ini juga sangat berguna untuk mengurangi total limbah yang disalurkan ke tempat pembuangan akhir (TPA).

  • Peningkatan kualitas udara

Kualitas udara di perkotaan seringkali cukup rendah, karena tingginya penggunaan transportasi, pekerjaan industrialisasi, dan lain sebagainya. Keberadaan urban farming akan sangat membantu meningkatkan kualitas udara, karena aneka tanaman dapat menyerap polutan serta melepaskan oksigen. Makanya, semakin banyak kegiatan urban farming, semakin banyak pula wilayah perkotaan yang udaranya berkualitas.

  • Ketersediaan ruang terbuka hijau

Umumnya, pembangunan wilayah perkotaan lebih dominan pada mendirikan gedung-gedung pencakar langit, wilayah perumahan dengan konsep industrial, dan lain-lain. Hal ini menyebabkan interaksi masyarakat dengan alam atau ruang terbuka hijau semakin sedikit, atau bahkan tidak ada sama sekali. Urban farming dapat menciptakan lingkungan hijau yang lebih nyaman bagi masyarakat perkotaan.

  • Solusi bagi masyarakat yang menganggur

Situasi krisis seperti Covid-19 rentan jadi penyebab masyarakat kehilangan pekerjaan. Urban farming dapat menawarkan solusi untuk masyarakat yang tengah menganggur, agar tetap bisa mendapatkan pemasukan. Contoh nyata sempat dialami oleh masyarakat kota Nairobi, Kenya. Lewat urban farming, banyak masyarakat Nairobi, terutama perempuan yang telah kehilangan pekerjaan di era Covid-19, tetap bisa memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Mereka membangun urban farming di pekarangan apartemen untuk menanam aneka sayuran, contohnya kale, bayam, bawang bombay, dan masih banyak lagi sayuran hijau lainnya. Bahkan, sisa hasil panen mereka juga mereka jual untuk memperbaiki kondisi keuangan.

 

Referensi Artikel:

Ahmada, S.F., Marsetyo, F.D. & Putri, R.A. (2020). Solidaritas Pangan Jogja Sebagai Aktor Alternatif Penyedia Kesejahteraan di Masa Krisis pandemi covid-19. Journal of Social Development Studies. 1(2). https://doi.org/10.22146/jsds.524

Gracia, Aurelia. (2023). #TanahAirKrisisAir: Kebun Kali Code, Fitri Nasichudin, dan Penyelamatan Air dari Rakyat Biasa. Magdalene.co. https://magdalene.co/story/profil-fitri-nasichudin-atasi-krisis-air/#google_vignette

Lim, M.J. et al. (2024). Fear of covid-19, resilience, urban farming motivation, and life satisfaction among urban poor post-covid-19 pandemic in Malaysia: A cross-sectional study. Cogent Psychology. 11(1). https://doi.org/10.1080/23311908.2024.2326793

Okeng’a, Pauline. (2020). Covid-19: Jobless Urban Women forms Farming Group. ScienceAfrika. https://news.scienceafrica.co.ke/covid-19-jobless-urban-women-forms-farming-group/

Redaksi Jawa Pos Radar Jogja. (2019). Urban Farming di Bantaran Kali Code Jogja. https://radarjogja.jawapos.com/opini/65736713/urban-farming-di-bantaran-kali-code-jogja

Redaksi Wiradesa.co. (2021). Urban Farming Kebunku Jogja: Menjawab Kebutuhan Pangan di Tengah Pandemi. https://www.wiradesa.co/urban-farming-kebunku-jogja-menjawab-kebutuhan-pangan-di-tengah-pandemi/

World Health Organization. (2020). COVID-19:  Physical  Distancing. https://www.who.int/westernpacific/emergencies/covid-19/information/physical-distancing

Facebook
X
Threads
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Event Kami

Ruang Kata 4

Artikel Populer

Artikel Terkait

Translate »