Tahun 2024 dipenuhi dengan cerita tentang petani yang membuang hasil panennya. Aksi ini pernah terjadi di berbagai daerah, seperti Bener Meriah, Aceh; Pekanbaru, Sumatera Selatan; Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta; hingga Bima, Nusa Tenggara Barat. Para petani melakukannya sebagai protes terhadap harga hasil bumi yang semakin menurun di pasaran, di tengah modal bertani yang justru semakin mahal.
Berbagai cerita tersebut memperlihatkan bagaimana para petani di Indonesia berada dalam kondisi yang sulit untuk sejahtera. Berdasarkan Survei Terpadu Pertanian 2021, mengutip CNN Indonesia, kesejahteraan petani Indonesia masih berada di bawah rata-rata. Pendapatan mereka kurang dari US$1 per hari atau senilai Rp15.764 dengan kurs yang berlaku saat tulisan ini dibuat.
Selain itu, Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) tahun 2023 mengatakan terdapat 25,9 juta penduduk miskin di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 40% atau 10,34 juta jiwa di antaranya adalah anggota rumah tangga pertanian (RTP), dan 13% atau 3,6 juta orang di antaranya merupakan buruh tani.
Multi-Krisis yang Merugikan Petani
Kondisi kemiskinan yang melilit petani tidak terlepas dari berbagai bentuk krisis yang mereka hadapi. Krisis paling utama dan berdampak jangka panjang tentu saja adalah krisis iklim yang kenyataannya berdampak berat pada sektor pertanian.
Gejala-gejala perubahan iklim seperti cuaca yang tidak menentu, peningkatan suhu ekstrim, intensitas hujan berlebih telah menimbulkan efek merugikan bagi para petani. Periode waktu tanam dan panen menjadi sulit untuk diprediksi, pertumbuhan dan perkembangan tanaman juga tidak efektif, dan keuntungan petani pun menurun secara signifikan.
Krisis iklim tersebut kemudian melahirkan krisis kedua, yakni krisis kekuasaan. Para petani tidak lagi memiliki kuasa untuk menerapkan pertanian tradisional yang mengandalkan cara alam bekerja. Sebagai jalan keluarnya, mau tidak mau, petani tunduk pada solusi ringkas pertanian modern yang ditawarkan oleh pemerintah bersama dengan industri.
Contoh yang paling jelas adalah terkait dengan penggunaan pupuk. Saat ini, para petani di Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pupuk kimia. Hal ini tidak terlepas dari program food estate revolusi hijau yang dimulai sejak rezim orde baru. Melalui program tersebut, dominasi penggunaan pupuk kimia dinormalisasi melalui kebijakan subsidi; membuat pupuk kimia dapat diakses dengan mudah di pasar.
Maraknya pemanfaatan pupuk kimia, kendati menyita lebih sedikit tenaga kerja, nyatanya menimbulkan degradasi kualitas tanah dan air selama bertahun-tahun. Akibat dari kondisi ini, petani tidak memiliki pilihan lain selain terus menerus mengandalkan produk industrial yang mahal, dan sulit kembali berpulang ke pola pertanian tradisional.
Krisis ketiga adalah krisis kepemilikan tanah. Banyak petani yang dipaksa untuk melepaskan tanah mereka yang sudah diwariskan sejak lama oleh leluhur. Tanah-tanah yang sebelumnya merupakan lahan produktif penghasil panen pun menjadi hilang, berganti dengan apartemen, perumahan, hotel, dan pusat hiburan. Bagi petani, kehilangan tanah tentu saja sama dengan kehilangan produktivitas dan penghasilan.
Merujuk data Kementerian Agraria dan Tata Ruang tahun 2022, sebagaimana diberitakan oleh Kompas, rata-rata konversi lahan sawah menjadi nonsawah di Indonesia mencapai 100.000 sampai 150.000 hektar per tahun. Sementara menurut Kementerian Pertanian, selama kurun waktu 2015 hingga 2019, terdapat pengurangan luas lahan sawah dari seluas 8,1 juta hektar menjadi 7,5 juta hektar.
Pertanian Lestari, Jawaban Atas Krisis Petani & Alam
Melihat bagaimana krisis iklim, krisis kekuasaan, dan krisis kepemilikan tanah menjebak petani pada kondisi kemiskinan, rasanya gagasan tentang Pertanian Lestari menjadi sangat relevan. Pada Agustus 2024 lalu, kebetulan saya berkesempatan mengobrol dengan Sana Ullaili, ketua Solidaritas Perempuan Kinasih yang mempopulerkan Pertanian Lestari.
Selama kurang lebih dua tahun terakhir, Solidaritas Perempuan Kinasih mengadvokasi pola Pertanian Lestari untuk memberdayakan para petani perempuan di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang juga dihadapkan dengan berbagai macam krisis. Lantas, apa yang dimaksud dengan Pertanian Lestari itu sendiri?
Sana menjelaskan, bahwa Pertanian Lestari adalah pola pertanian yang berupaya menjaga keseimbangan alam, sosial, dan ekonomi. Pertanian Lestari lekat dengan kultur pertanian tradisional-alami warisan leluhur nenek moyang yang mengedepankan prinsip kelestarian alam dan relasi harmoninya dengan manusia.
“Petani, alam, dan masa depan, tidak bisa dipisahkan dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta. Tanaman, hewan, mikroba, udara, air juga demikian. Semuanya harus bergerak secara harmonis. Tidak ada yang lebih atau kurang. Harus proporsional,” tutur Sana saat saya mewawancarainya.
Di samping kelestarian alam, semangat lain yang juga dibawa oleh Pertanian Lestari adalah penghormatan terhadap nilai-nilai tradisi. Hal ini berarti mengurangi ketergantungan pada budaya pertanian modern-mekanis berbasis industrial, dan beralih pada kultur pertanian tradisional berbasis lokalitas yang responsif terhadap kondisi perubahan iklim.
“Ada keragaman benih padi dan tanaman lokal yang bisa bertahan hidup yang berdasar pada kondisi cuaca tertentu. Jadi petani gak harus selalu membeli paket benih dan pupuk yang dipasarkan oleh pemerintah. Tujuannya adalah melestarikan dan mengembangbiakan benih-benih yang adaptif terhadap alam, pola tanam yang beragam, tidak monokultur,” lanjut Sana.
Nilai penting lainnya dari Pertanian Lestari adalah pewarisan pengetahuan. Sana mengatakan, ide tentang Pertanian Lestari belum bereproduksi dengan baik dan hanya berhenti sampai petani generasi awal yang sudah dalam usia tidak produktif. Karena itu, kelompok petani muda juga harus mendapatkan akses terhadap pemahaman Pertanian Lestari, sebagai bentuk upaya perawatan pengetahuan sekaligus membuka peluang regenerasi petani.
Manfaat dan Cara Menerapkan Pertanian Lestari
Pertanian Lestari mampu memberikan manfaat kepada petani dan sekaligus alam itu sendiri. Bagi para petani, pertanian lestari membantu mereka untuk lebih berdaya, tidak bergantung pada alat pertanian industrial yang mahal, menurunkan biaya produksi, dan menjaga panen tetap stabil di tengah perubahan iklim. Selain itu, petani juga terhubung kembali dengan nilai-nilai tradisi tempat tinggal mereka, serta tetap sejahtera dan adaptif dengan berbagai situasi krisis.
Sementara bagi alam, Pertanian Lestari membantu lingkungan tetap terjaga, terawat, dan seimbang, serta memberikan manfaat produktivitas jangka panjang terhadap kehidupan di sekitarnya. Nah, berikut ini adalah contoh-contoh kecil dari penerapan Pertanian Lestari.
1. Bertani Sambil Merawat Kesehatan Tanah.
Yakni mengelola tanah dengan tetap merawat kesuburan alaminya. Misalnya adalah dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia dan beralih ke pupuk alami yang berasal dari sampah organik dan kotoran hewan, atau menanam lebih dari satu jenis tanaman. Hal ini berguna menjaga nutrisi tanah, dan memicu pertumbuhan mikroorganisme yang bermanfaat bagi keberlangsungan tanaman.
2. Penggunaan Air Secara Efisien.
Yakni menerapkan teknik penghematan air, seperti memanfaatkan sistem irigasi yang mengalirkan air secara langsung ke akar tanaman, atau degan mengumpulkan dan menyimpan air hujan untuk digunakan selama musim kering. Hal ini sangat berguna sebagai respon atas gejala-gejala krisis iklim seperti kekeringan.
3. Pembasmian Hama Secara Alami.
Yakni mengurangi penggunaan pestisida kimia dan menggantinya dengan metode pengendalian hama yang lebih alami. Misalnya dengan memanfaakan predator alami, mikroorganisme yang dapat mengendalikan populasi hama, atau tanaman penolak hama.
4. Mengurangi Emisi dan Limbah.
Yakni meminimalisir jejak karbon yang dihasilkan dari aktivitas pertanian, misalnya dengan cara memanfaatkan kembali sisa tanaman dan limbah organik sebagai pupuk kompos; menggunakan sumber energi terbarukan seperti energi surya, air, dan biogas untuk menunjang kegiatan pertanian; serta mengurangi penggunaan alat pertanian berbasis bahan bakar fosil.
5. Memberdayakan Petani.
Yakni menyediakan akses pendidikan yang inklusif bagi para petani untuk menerapkan praktik pertanian yang berkelanjutan berbasis nilai tradisi lokal. Petani generasi awal, petani muda, termasuk petani yang menyandang identitas kelompok rentan seperti petani perempuan harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk diberdayakan.
Nah, itu dia penjelasan tentang inovasi Pertanian Lestari dan bagaimana manfaatnya dalam memulihkan kesejahteraan petani sekaligus mendukung kelestarian alam. Menurut Sobat sendiri, sejauh mana relevansi Pertanian Lestari saat ini? Apakah pertanian kita saat ini sudah benar-benar lestari?
#Ruang Kata