“Karena perubahan yang besar dimulai dari langkah yang kecil.
Dari Desa untuk Indonesia”
_Rizki Maulana_
“Indonesia darurat permasalahan gizi”. Sebuah kalimat yang terdengar miris namun faktanya sangat realistis terhadap refleksi masyarakat Indonesia abad ke-20 ini. Bagaimana mungkin Indonesia dengan kekayaan alam yang memiliki potensi sumber daya protein alami dan hewani yang tinggi, tetapi akumulasi konsumsi protein per-kapitanya masih tergolong rendah. Bahkan Badan Studi Kasus Gizi dalam surveinya menyebutkan prevalensi gizi buruk di Indonesia masih bertahan di angka 20% dari target jangka menengah 14%. Kemudian Kementerian Kesehatan RI menambahkan masalah gizi tersebut antara lain stunting, wasting, overweight, dan kekurangan zat gizi mikro. Beberapa data tersebut secara tegas mengklaim bahwa isu permasalahan gizi di Indonesia masih tergolong tinggi sehingga membutuhkan penanganan yang efektif. Jadi, isu gizi buruk ini bukan sekedar ispan jempol yang perlu diacuhkan eksistensinya ya shabat!
Menyikapi hal tersebut pemerintah bersama lembaga-lembaga kesehatan dan gizi secara kolektif dan komprehensip telah meluncurkan langkah-langkah visionernya dalam menanggulangi permasalahan gizi di Indonesia. Keseriusan tersebut tertuang dalam berbagai kebijakan pemerintah dengan mengadakan program antara lain: penyuluhan gizi, penyuluhan kesehatan, revitalisasi posyandu dan kampanye-kampanye publik terkait pentingnya menjaga gizi seimbang. Nah, berbicara soal kampanye gizi nih, sahabat pasti sudah akrab dengan salah satu kampanye Kemenkes yang tidak asing lagi di telinga kita? Yups, ia adalah “Isi Piringku”. Kampanye ini disosialisasikan sebagai panduan praktis bagi orang Indonesia untuk mengadopsi pola makan dengan prinsip gizi yang seimbang. Kampanye ini mendapat respon yang cukup baik di kalangan masyarakat kota loh, namun sayangnya kampanye tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan pola makan bergizi bagi masyarakat pedesaan. Riset menunjukkan meski kampanye tersebut sudah digencarkan beberapa tahun terakhir, tetap saja angka gizi buruk di Indonesia tetap di angka yang masih tergolong tinggi.
Lalu Bagaimana Soulsinya?
Sebenarnya kampanye tersebut sah-sah saja disosialisasikan kepada masyarakat, namun sebelum itu terlebih dahulu pemerintah perlu melakukan riset mendalam ke berbagai lapisan masyarakat demi efektifitas program jangka panjang. Perlu kita ketahui bersama bahwa yang menjadi pokok permasalahannya ialah masyarakat Indonesia belum sadar akan pentingnya menjaga gizi. Kecendrungan yang lebih dirasakan oleh masyarakat pedesaan yang sering beranggapan bahwa makanan bergizi adalah makanan yang enak dan mahal saja. Padahal untuk memperoleh gizi yang baik, mereka tidak harus membeli daging berkualitas premium atau buah dan sayur yang sudah teruji laboratorium. Bisa saja gizi yang baik itu berasal dari ladang belakang rumah mereka, atau dari pasar-pasar tradisional tempat mereka biasa berbelanja. Jadi dapat disimpulkan, makanan yang sehat dan bergizi itu tidak harus mahal ya sahabat, ia dapat diperoleh dengan cara yang sederhana dan bahkan sangat dekat dengan kita.
Nah, pemahaman seperti inilah yang perlu pemerintah tekankan terlebih dahulu kepada masyarakat pedesaan agar asumsi yang transparan tentang standar makanan bergizi di atas dapat teratasi. Setelah masyarakat menyadari idealisme ini barulah kampanye “Isi Piringku” sebagai panduan praktis untuk mengadopsi pola makan gizi seimbang ini akan terealisasi dengan maksimal.
“Dari Remaja Desa Untuk Indonesia.”
Untuk menciptakan perubahan yang besar, perlu dimulai dengan langkah yang kecil. Oleh karena itu peran mulia sahabat sebagai remaja Indonesia yang peduli akan kesehatan nasional sangat dibutuhkan. Sahabat yang masih remaja tentu memiliki kesehatan baik fisik maupun motorik yang lebih baik dari penduduk usia di atasnya terkhusus orang tua. Dilengkapi dengan peran teknologi yang mendukung, tentu sahabat remaja di pedesaan dapat mengakses informasi tentang permasalahan gizi dan solusinya di media sosial. Kemudian berlandaskan semboyan “Dari Remaja Desa Untuk Indonesia.” sahabat perlu mencontohkan budaya memperoleh gizi seimbang yang baik dan benar kepada masyarakat pedesaan. Perlu kita ketahui bahwa untuk menciptakan perubahan yang besar, perlu dimulai dengan langkah yang kecil. Untuk itu penulis merekomendasikan Budaya 5S sebagai langkah awal menciptakan masyarakat paham gizi di pedesaan.
Menjadi Pahlawan Gizi dengan 5S
Nah, sebagai upaya awal dalam membangun literasi paham gizi, sahabat yang berada di pedesaan dapat melakukan langkah sederhana dengan 5S nih. Adapun rincian dari 5S adalah sebagai berikut:
1. See (Melihat)
Melihat berarti menilai, sebelum membeli atau mengkonsumi makanan, sahabat perlu mengecek dan memeriksa makanan tersebut. Hal ini penting dilakukan untuk mengambil kesimpulan apakah makanan tersebut layak atau tidak untuk dikonsumsi. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan sebelum membeli atau mengkonsumsi makanan ialah, rasa-bau-warna pada makanan, legalitas produk, tanggal kadaluwarsa, kandungan gizi, lebel halal yang tersertifikasi, dan lain-lain.
2. Selective (Memilih)
Setelah mengecek kelayakan suatu produk atau makanan, kemudian sahabat perlu memilih makanan tersebut secara selektif. Meski terlihat enak dan bergizi namun perlu sahabat ketahui bahwa kondisi tubuh setiap orang berbeda-beda. Bergizi bagi orang lain belum tentu bergizi bagi kita dan begitupun sebaliknya. Sebagai contoh makanan yang mengandung susu, susu memang sangat baik untuk kesehatan, namun pada beberapa kondisi susu justru sangat berbahaya dikonsumsi bagi penderita asam lambung, gerd, dan ginjal. Maka dari itu pastikan sahabat memilih makanan yang paling aman dan nyaman dikonsumsi sesuai dengan kondisi.
3. Simple (Sederhana)
Tahukah kamu jika satu gelas jus alpukat memiliki kalori yang setara dengan 200 gram daging sapi panggang? Nah, fakta ini telah menunjukkan bahwa makanan yang sehat dan bergizi itu tidak harus enak dan mahal ya sob! Masyarakat desa cendrung berasumsi bahwa menu junkfood seperti yang terlihat di iklan-iklan memiliki kandungan gizi yang kompleks daripada ubi dan kentang rebus yang mereka makan. Padahal makanan bergizi yang sehat telah mereka konsumsi sehari-harinya, hanya saja perlu porsi yang seimbang agar kebutuhan kalori harian dapat terpenuhi. Masyarakat desa harus tahu bahwa idealisme makanan sehat tidak terbatas pada rasa kenyang semata. Kalau hanya kenyang, sarapan sepiring nasi porsi kuli juga kenyangnya sampai pagi berikutnya.
4. Save (Simpan)
Tidak dapat dipungkiri nih, kebiasaan menyimpan makanan sangat identik dengan budaya masyarakat pedesaan. Namun perlu diketahui bahwa menyimpan makanan terlalu lama akan mengurangi kandungan gizi di dalamnya. Maka dari itu durasi menyimpan makanan perlu jadi perhatian. Usahakan tidak menyimpan makanan melebihi dua hari, meski belum merubah rasa, bau, dan warna pada makanan namun kandungan gizi di dalamnya pasti akan berkurang.
5. Share (Bagikan)
Setelah menjalankan langkah-langkah sederhana di atas, maka sahabat perlu membagikannya kepada teman-teman, keluarga, dan seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian bersama kita bisa menciptakan bangsa yang lebih sadar akan gizi pada makanan yang akan membawa perubahan positif untuk masa depan yang lebih sehat.
Sudah saatnya bangsa yang kaya akan sumber daya protein alami dan hewani yang tinggi ini dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakatnya. Pemerintah dan remaja sebagai generasi muda perlu berkerjasama secara kolektif mewujudkan kesehatan nasional untuk kehidupan berkelanjutan. Dikarenakan sebagian besar permasalahan gizi buruk mengorientasi di daerah pedesaan maka ini tentu menjadi kewajiban bagi remaja desa untuk mengemban tugas mulia. Dengan diimplementasikannya budaya sadar gizi versi 5S di atas, maka kedepannya Indoneisa diharapkan mampu keluar dari angka gizi buruk yang selama bertahun-tahun menghantui negeri ini. Apabila hal itu terwujud maka remaja pedesaan telah sukses menjadi pahlawan kesehatan untuk Indonesia.