Di dunia yang paradoks ini, makanan berlimpah justru berakhir di tempat sampah. Berdasarkan laporan United Nations Environment Programme (UNEP) tahun 2024, lebih dari 1,05 miliar ton makanan terbuang setiap tahunnya. Jumlah ini setara dengan 132 kilogram makanan per orang di dunia, atau hampir 20% dari total makanan yang tersedia di tingkat konsumen. Ironisnya, pada waktu yang sama, sekitar 783 juta orang masih menderita kelaparan kronis di berbagai belahan dunia. Ketimpangan ini menyoroti fakta bahwa persoalan pangan bukan hanya soal produksi, tetapi juga distribusi dan konsumsi yang tidak seimbang.
Dampak food waste tidak hanya terasa pada aspek sosial, namun juga sangat signifikan terhadap lingkungan. Makanan yang diproduksi namun tidak dikonsumsi tetap membutuhkan sumber daya seperti air, energi, dan lahan dalam proses produksinya. Ketika makanan ini dibuang dan membusuk di tempat pembuangan akhir, ia menghasilkan gas metana yang memiliki potensi pemanasan global lebih besar dibandingkan karbon dioksida. Bahkan, menurut data dari World Food Programme, food waste menyumbang hingga 10% dari total emisi gas rumah kaca global, jauh lebih besar dibandingkan gabungan seluruh emisi dari sektor penerbangan.
Sebagian besar pemborosan makanan terjadi di rumah tangga, mencapai 60% dari total limbah makanan, sementara sisanya berasal dari sektor layanan makanan dan ritel. Pembelian makanan secara berlebihan, tidak menyimpan makanan dengan benar, dan minimnya kesadaran tentang dampak pemborosan menjadi penyebab utamanya. Untuk mengatasi hal ini, berbagai upaya perlu dilakukan secara menyeluruh. Edukasi kepada masyarakat menjadi langkah awal yang sangat penting agar konsumen memahami pentingnya berbelanja bijak, mengonsumsi makanan sesuai kebutuhan, dan mengolah sisa makanan secara kreatif. Pemerintah juga memiliki peran krusial melalui regulasi yang mewajibkan pelaku usaha makanan mendonasikan makanan layak konsumsi daripada membuangnya.
Salah satu solusi kreatif yang semakin mendapatkan perhatian dalam pengelolaan food waste adalah pemanfaatan limbah organik menjadi produk bernilai guna, seperti manisan dari kulit buah-buahan. Salah satu contohnya adalah manisan kulit semangka, yang tidak hanya menjadi cemilan unik dan menyegarkan, tetapi juga merupakan bentuk nyata dari upaya mengurangi limbah organik di tingkat rumah tangga.
Kulit semangka, yang umumnya langsung dibuang setelah buahnya dikonsumsi, ternyata memiliki kandungan serat dan nutrisi yang cukup baik jika diolah dengan benar. Menurut penelitian dari Journal of Food Science and Technology (2015), kulit semangka mengandung senyawa citrulline dan likopen, serta serat kasar yang bermanfaat untuk pencernaan. Proses pembuatannya relatif sederhana: kulit semangka dipotong kecil-kecil, direbus, kemudian dimasak bersama gula dan rempah-rempah pilihan hingga teksturnya lembut dan cita rasanya manis segar. Selain bisa dinikmati langsung, manisan ini juga dapat dikembangkan sebagai oleh-oleh khas atau camilan sehat berbasis lokal.
Salah satu contoh implementasi solusi ini dikembangkan oleh mahasiswa Sekolah Vokasi IPB University, jurusan Komunikasi Digital dan Media. Mereka mengembangkan produk inovatif berupa manisan kulit semangka (Wapeelights) sebagai bagian dari proyek kewirausahaan sekaligus kampanye pengurangan food waste. Melalui promosi dan pendekatan melalui media digital, mereka tidak hanya menciptakan produk yang menarik dari segi rasa dan tampilan, tetapi juga menyisipkan pesan edukatif tentang pentingnya pengelolaan sampah makanan. Produk ini dipasarkan secara daring dengan kemasan ramah lingkungan dan storytelling yang kuat, menjadikannya sebagai contoh ideal penggabungan antara inovasi pangan dan komunikasi sosial.
Inovasi ini juga berpotensi dikembangkan lebih luas dengan melibatkan beberapa komunitas lokal, pelaku UMKM, hingga sekolah-sekolah dalam program edukatif. Dengan mendorong masyarakat untuk tidak langsung membuang bagian buah yang masih bisa dimanfaatkan, tercipta budaya baru dalam memandang “sampah” sebagai sumber daya.
Inisiatif seperti ini menunjukkan bahwa upaya mengurangi food waste tidak harus selalu bersifat besar atau berskala industri. Langkah kecil dan kreatif seperti membuat manisan kulit semangka bisa memberikan dampak yang signifikan, baik secara lingkungan, sosial, maupun ekonomi. Dalam jangka panjang, jika solusi ini terus dikembangkan dan direplikasi, maka kita sedang melangkah menuju sistem pangan yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan.
Pada akhirnya, food waste adalah masalah bersama yang membutuhkan kesadaran kolektif dan aksi nyata dari semua pihak. Dengan mengurangi pemborosan makanan, kita tidak hanya berkontribusi terhadap upaya mengatasi kelaparan, tetapi juga turut menjaga bumi dari dampak perubahan iklim. Setiap langkah kecil dalam menyelamatkan makanan berarti satu langkah besar menuju sistem pangan global yang lebih adil dan berkelanjutan.