Di tengah krisis iklim, harga pangan global diperkirakan akan terus mengalami kenaikan. Situasi ini jelas akan mengancam akses masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan khususnya produk – produk pertanian. Ditambah lagi, faktor berkurangnya lahan pertanian yang kini banyak dialihfungsikan menjadi kawasan industri, jalan tol, perkantoran, hingga perumahan menunjukkan semakin terbatasnya sumber-sumber pangan masyarakat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), mengutip dari Kompas.id, periode 2018 hingga 2023 mencatat penurunan luas lahan baku sawah dari 7,7 juta hektare menjadi 7,1 juta hektare, dengan penyusutan mencapai 648.800 hektare. Artinya, rata-rata sekitar 130.000 hektare lahan dialihfungsikan setiap tahunnya.
Permasalahan tampaknya tidak berhenti di situ, tantangannya semakin kompleks, tidak hanya berkurangnya lahan pertanian tetapi juga penurunan jumlah sumber daya manusia dalam bertani dan minimnya minat serta tidak adanya regenerasi tenaga kerja di sektor pertanian. Berdasarkan BPS, dikutip dari Media Indonesia, pada tahun 2023, jumlah unit usaha pertanian perorangan tercatat hanya 29,36 juta, dengan mayoritas dikelola oleh generasi X (usia 43-58 tahun), yang mencakup 42,39% dari total petani yang terdata.
Krisis Lahan & Petani Muda
Jika kondisi ini terus berlanjut tanpa adanya perbaikan terhadap kedua permasalahan tersebut, dampaknya akan terlihat pada berkurangnya suplai pasokan pangan yang selama ini mengandalkan dari pedesaan. Hal ini dapat menyebabkan kelangkaan, terutama bagi masyarakat perkotaan. Merujuk dari ICDI Indonesia, data BPS (2020) mencatat bahwa 56,7% penduduk Indonesia tinggal di kawasan perkotaan, dan angka ini diperkirakan meningkat hingga 70% pada tahun 2035. Artinya, ini menunjukkan bahwa mayoritas pasokan pangan dikonsumsi oleh masyarakat di kota dan wilayah pinggiran.
Urban farming dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan ini. Dengan memanfaatkan metode seperti hidroponik, aquaponik, atau menggunakan pot dan polybag, masyarakat dapat membudidayakan tanaman sayuran, buah-buahan, hingga tanaman obat secara mandiri.
Meskipun kontribusinya terhadap produksi nasional masih tergolong kecil, urban farming memungkinkan suplai pangan menjadi lebih terjangkau dengan mendekatkan produsen dan konsumen. Selain itu, pemanfaatan lahan sempit di perkotaan yang diubah menjadi area pertanian dapat menjadi solusi untuk mengatasi krisis lahan terhadap kebutuhan pertanian. Halaman rumah dapat dimanfaatkan sebagai awal bagi petani muda pemula untuk belajar dan mendalami dunia pertanian.
Di samping itu, urban farming juga berpotensi menarik minat generasi muda untuk terlibat dalam sektor pertanian. Peningkatan akses terhadap teknologi yang semakin mudah dijangkau, ditambah dengan peran media sosial seperti Instagram dan TikTok, menyediakan beragam konten edukatif tentang cara bertani yang mudah di perkotaan. Tidak menutup kemungkinan, langkah ini juga dapat mendorong terbentuknya komunitas-komunitas urban farming di berbagai wilayah perkotaan.
Apabila cara ini diterapkan di setiap rumah tangga, masyarakat dapat terhindar dari risiko kerawanan pangan yang serius. Selain itu, antar tetangga juga dapat saling berbagi atau bertukar hasil panen, seperti sayuran dan buah-buahan.
Ketahanan Pangan melalui Urban Farming
Presiden Prabowo membawa misi dalam kepemimpinan barunya untuk mewujudkan swasembada pangan di Indonesia. Misi ini didasarkan pada situasi krisis global, di mana banyak negara mulai memprioritaskan kepentingan domestik. Oleh sebab itu, Indonesia perlu meningkatkan kemampuan produksi dan memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri.
Urban farming dapat menjadi solusi jangka panjang dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan. Dengan memanfaatkan metode dan teknik yang berkelanjutan serta mudah diakses, seperti mendaur ulang limbah organik rumah tangga menjadi kompos, praktik ini menawarkan pendekatan yang ramah lingkungan. Selain itu, hasil panennya pun lebih segar dan bersifat organik.
Manfaat lainnya, seperti membantu masyarakat miskin perkotaan meningkatkan pendapatan dan kualitas hidup. Dengan mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan dapur, mereka dapat lebih berhemat. Selain itu, urban farming juga berkontribusi pada penghijauan lingkungan, yang pada akhirnya membantu mengurangi polusi.
Halaman rumah dan atap gedung dapat dijadikan sebagai bagian dari gerakan sosial kolektif untuk bersama-sama memenuhi kebutuhan pangan di meja makan. Petani muda dari kalangan generasi muda memiliki potensi untuk menjadi garda terdepan dalam mengatasi krisis pangan dan lahan. Dengan semangat inovasi dan kemampuan beradaptasi terhadap teknologi, mereka dapat berkontribusi besar dalam menciptakan sistem pertanian yang efisien dan berkelanjutan.