Petani sebagai pilar utama perekonomian Indonesia kerap terjebak dalam stigma sosial. Dalam masyarakat desa, misalnya. Profesi petani masih diremehkan. Keturunannya pun seringkali dilabeli sebagai “Manusia kelas bawah.” Lalu, mengapa kita melupakan peran petani? Padahal, urusan makanan hingga bahan baku industri teknologi canggih pun terdapat hasil kerja keras mereka. Mari, kita telaah benang merahnya!
Petani, Tuan Tanah, dan Pemerintah
Pola pikir masyarakat Indonesia terhadap petani menyebabkan regenerasi petani muda semakin langka. Bahkan, sistem pendidikan secara implisit cenderung mengajak siswa untuk meremehkan profesi petani dan menjauhi sektor agraris. Sementara itu, data dari Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa lahan agraria terus menyusut. Pada tahun 2015, Indonesia memiliki sekitar 29,39 juta hektar lahan nonsawah dan 8,09 juta hektar lahan sawah. Jumlah keduanya sangat fluktuatif hingga pada 2019, masing-masing berjumlah sekitar 29,35 juta hektar dan 7,46 juta hektar. Lebih lanjut, menurut Moeldoko yang dikutip dari detikFinance (Oktober 2024), sekitar 50-70 ribu hektar lahan baku pertanian hilang setiap tahun. Mirisnya, luas panen padi pada Oktober 2024 hanya sekitar 10,05 juta hektar.
Peristiwa tersebut diperparah oleh kebijakan ekonomi yang kurang memihak petani dalam negeri. Petani masih sering menghadapi ancaman gagal panen, rendahnya harga jual hasil tani, hingga kebijakan impor. Bahkan, ketimpangan sosial semakin diperburuk saat tuan tanah atau korporasi besar menguasai sebagian besar lahan produktif. Alhasil, petani kehilangan otonomi di tanah airnya sendiri!
Hal tersebut juga dialami oleh Ibu Nani dan Bapak Sutarmo, pasangan buruh tani padi dari Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Sejak muda, mereka bergantung pada kemurahan hati dan lahan pertanian milik tuan tanah. Karena lahan pertanian garapan mereka menjadi kantor pemerintah dan komersial, mereka terpaksa tidak bertani lagi di usia senja, sekitar 65 tahun. Kemudian, memilih untuk beralih profesi sebagai pedagang keliling dan hidupnya bergantung pada Bansos pemerintah. Bahkan, dari tujuh anak mereka, tak satupun yang bersedia regenerasi menjadi petani karena lebih memilih bekerja di pabrik yang menawarkan kepastian upah.
Program Petani Muda
Krisis regenerasi petani, menjadikan pemerintah meluncurkan Program Petani Muda (Milenial) pada 2019. Program tersebut mengajak generasi muda usia 18-39 tahun untuk mengelola pertanian berbasis teknologi modern. Bahkan, pemerintah menawarkan gaji Rp10-30 juta per bulan. Namun, program tersebut masih perlu dibenahi. Kurangnya sosialisasi, hambatan infrastruktur, dan pola pikir masyarakat tetap menjadi permasalahan utama. Meski demikian, beberapa petani muda kini muncul sebagai influencer sosial media.
Salah satu yang menarik perhatian penulis adalah Sandi Octa Susila dari Cianjur, Jawa Barat. Sandi berhasil meraih omset hingga Rp800 juta per bulan dari hasil pertanian. Melalui kolaborasi yang kuat bersama sekitar 385 petani lokal, Sandi mampu
berinovasi dengan 141 produk yang dipasarkan secara modern. Saat ini, sudah ada 4 instansi yang diolahnya. Antara lain, Perusahaan Mitra Tani Parahyangan, Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S), Kelompok Tani Mitra Tani Parahyangan, dan PT Bumi Parahyangan Investama. Kisah sukses Sandi terbukti dengan perusahaannya yang mampu menyuplai produk pertanian pada 25 hotel di Cianjur, Bogor, dan sekitarnya. Atas dedikasi dan kerja kerasnya, Sandi dinobatkan menjadi Ketua Duta Petani Milenial Kementerian Pertanian dalam Kick Andy Heroes 2020.
Menjadi Petani Muda Saja Tidak Cukup
Bercita-cita menjadi petani muda tidak cukup tanpa pendidikan yang memadai. Seperti kisah sukses petani muda Sandi Octa Susila yang meraih gelar Magister Manajemen Agribisnis, IPB. Sedangkan, saat ini banyak generasi muda Indonesia yang mengglorifikasikan bahwa pendidikan bukanlah hal penting dan scam (tipuan), seperti tren yang terjadi di TikTok. Jika pola pikir tersebut dipertahankan, maka kualitas regenerasi petani Indonesia pasti akan semakin merosot.
Kemudian, menilik Vietnam sebagai negara importir terbesar di Indonesia, sangatlah menarik. Negara agraris tersebut memiliki jumlah petani muda yang sukses berbekal pendidikan tinggi. Salah satunya, Tran Thi Khanh Trang, pemuda Vietnam dengan gelar MBA dari Colorado State University di Amerika Serikat (AS). Dalam rangka mendorong inovasi pertanian, Vietnam berkolaborasi dengan para akademisi.
Khususnya, Vietnam University of Agriculture (VNUA). Perguruan tinggi tersebut secara masif menciptakan SDM dan perhatian besar pada pemerataan teknologi pertanian hingga ke pedesaan. Bahkan, menggandeng negara-negara Asia seperti Indonesia melalui UGM, IPB, dan Unpad. VNUA juga bermitra dengan 78 organisasi dunia seperti FAO, IFAD, WFP, dan ASEAN Farmers Association (AFA) untuk mendukung implementasi kemajuan pertanian Vietnam.
Bukan hanya itu!
Melalui ratifikasi Land Law Vietnam 2024, masyarakat petani Vietnam sangat diuntungkan. Antara lain, kebebasan dalam hal pajak tanah, pelatihan pertanian dan teknologi, dukungan finansial, hingga modernisasi penjualan hasil pertanian. Jadi, tidak heran jika Vietnam berpotensi menjadi negara maju di Asia.
Solusi Regenerasi Petani Muda Indonesia
Beberapa solusi yang dapat kita terapkan untuk memberi dampak besar pada kualitas petani muda Indonesia, antara lain:
• Mengubah pola pikir bahwa petani pekerjaan rendahan. Solusi tersebut dapat diterapkan dengan mengenalkan profesi petani di setiap jenjang pendidikan di Indonesia. Kemudian, mengajak para siswa melakukan kegiatan pertanian / agrikultur secara bertahap sesuai skala kurikulum.
• Penghargaan sosial untuk para petani. Penghargaan dapat dilakukan dengan memviralkan profesi petani melalui sosial media sebagai kampanye multinasional yang efektif dan tanpa biaya. Kemudian, memberi para petani maupun regenerasinya pendidikan gratis yang memadai untuk mendapatkan pengetahuan terkini tentang pertanian dan ekonomi.
• Menerapkan kebijakan di sektor pertanian dan ekonomi yang ramah petani dalam negeri. Tegaskan kebijakan tersebut melalui undang-undang. Aturan yang tegas juga perlu didorong dengan bermitra pada sektor pertanian negara-negara agraris yang lebih maju. Bukan hanya sekadar bermitra, tetapi memberi ilmu dan harapan nyata yang dapat diimplementasikan untuk para petani Indonesia.
Kita pun harus ingat tentang peringatan hari Tani Nasional yang sudah ada sejak 24 September 1960. Momen tersebut perlu dijadikan realisasi untuk memenuhi hak-hak petani. Regenerasi petani muda memang darurat. Namun, dukungan dari masyarakat dan pemerintah yang minim serta tidak tegas hanya akan semakin menghambat perkembangan sektor pertanian. Kemudian, akan merambat ke sektor lain seperti ekonomi yang semakin mencekik masyarakat itu sendiri.
#RuangKata