Health Heroes – Pada awalnya Maria berpikir bahwa pernikahannya akan baik-baik saja setelah dijodohkan oleh orang tua-nya dengan seorang tentara [1]. Kini, Maria tak bisa menjawab acap kali anaknya, umur sembilan tahun, bertanya, “Papa di mana?” Maria hanya bisa beralasan, sang Papa sedang dinas di luar kota.
Maria seperti wanita pada umumnya mengharapkan bahwa dia akan bersekolah tinggi, mendapatkan banyak teman, dan juga dapat mengejar cita-citanya untuk menjadi seorang dokter. Semua harapan ini akhirnya berganti menjadi tanggung jawab untuk mengurus seorang anak yang masih berumur 9 tahun. Maria adalah korban pernikahan siri yang dilakukan oleh para tentara ketika bertugas di Desa Tihulale pada saat kerusuhan Ambon berlangsung.
Dalam sebuah artikel berjudul berjudul “Analisis Konflik Ambon Menggunakan Penahapan Konflik Simon Fisher” dari Jerry Indrawa, konflik Ambon merupakan sebuah konflik antar agama yang dimulai pada tanggal 19 Januari 1999 dan berlangsung selama beberapa tahun. Konflik Maluku sering digambarkan sebagai permusuhan lama antara Muslim dan Kristen, meskipun situasinya lebih rumit. Dari tahun 1999 hingga 2002, konflik ini merenggut hampir 5.000 nyawa dan membuat sepertiga penduduk Maluku dan Maluku Utara mengungsi.
Sejumlah tentara dikirim ke Maluku yang ditempatkan pada perbatasan-perbatasan Desa Muslim dan Kristen. Hal ini pun terjadi di sebuah desa yang terletak di Pulau Seram. Begitu tentara datang dengan membawa banyak sekali senjata dan berpakaian rapi sebagai seorang prajurit, masyarakat setempat pun menyambut peristiwa itu dengan bahagia karena menganggap bahwa desa mereka akan dijamin keamanannya.
Setelah tinggal selama dua tahun, tentara yang bertugas di perbatasan menunjukan sikap tertarik kepada perempuan-perempuan di desa setempat. Berbagai cara pelan-pelan digunakan untuk mengambil hati para perawan desa, seperi memberikan uang jajan, mengajak keluar di malam Minggu dan sering bertamu menemui orang tua wanita di beberapa malam.
Salah satu perempuan yang juga menjadi target para tentara itu bernama Maria. Wanita cantik berambut ikal dan berkulit langsat itu difavoritkan oleh para tentara. Dalam beberapa kesempatan tentara itu datang ke rumah Maria untuk sekedar mengobrol dengan Ayah-nya. Namun, sebagai wanita Maria mengetahui tujuan sebenarnya yang coba disembunyikan dalam obrolan-obrolan bersama Ayah-nya di setiap malam.
“Bapak, Beta sudah siap maso minta[2]”
Itulah kalimat yang didengar oleh Maria saat menguping pembicaraan tentara dan orang tua-nya. Orang tua Maria yang bekerja sebagai guru menganggap bahwa menikahkan anaknya dengan seorang perwira bergaji tetap dari Jawa itu, masa depan anaknya sudah pasti akan terjamin.
Ketika Maria sedang berbadan dua dengan kandungan memasuki usia 7 Bulan, suaminya diperintahkan untuk kembali ke Jawa setelah menyelesaikan masa tugasnya. Suaminya berjanji akan kembali lagi ke Desa dan membawa keluarganya untuk diperkenalkan kepada Maria. Namun, setelah melahirkan bukan suaminya yang datang berkunjung, melainkan sebuah surat cerai dan ungkapan kejujuran dari suaminya bahwa dia telah memiliki keluarga baru di Jawa.
Maria pun harus menerima kenyataan bahwa sekarang dia adalah janda anak satu bekas istri seorang tentara. Seperti nasib janda pada umumnya, Maria dikucilkan, dihina, bahkan dianggap sebagai perempuan yang pantas untuk ditinggalkan. Maria hidup dalam penderitaan untuk selalu dipandang rendah.
Maria adalah satu dari beberapa perempuan yang menjadi korban pernikahan siri di Maluku. Pernikahan ini berasal dari hasrat dan nafsu sementara dari para penikmatnya. Mereka datang dan menjadikan perempuan sebagai objek yang pantas untuk dipermainkan secara bergilir. Setelah dijamu dengan wajah polos dan senyum termanis dari perempuan di Desa Tihulale, para tentara membalasnya dengan dongeng-dongeng hasil karangan sendiri yang mampu memakan korban.
Masalah yang dialami oleh Maria jika dikaji dalam Undang-undang, Pasal 1 UU Perkawinan No.16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU No.1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan sah-nya suatu Perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan No.16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU No.1 Tahun 1974 yang berbunyi:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Sehingga sepanjang pernikahan itu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama yang dianutnya, maka pernikahan tersebut dianggap telah sah secara hukum. Baik pernikahan tersebut dihadapan petugas yang ditunjuk oleh Undang-Undang maupun tidak seperti siri/di bawah tangan.
Namun yang menjadi masalah dan persoalannya adalah terkait pembuktian adanya pernikahan tersebut. Menurut aturan perundang-undangan, perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan adanya Kutipan Akta Nikah yang diterbitkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (Agama Islam) dan Kutipan Akta Perkawinan oleh Catatan sipil (Non Muslim). Sehingga apabila suatu pernikahan tidak dilaksanakan di hadapan petugas yang ditunjuk, maka akan kesulitan terhadap pembuktian pernikahannya sebab tidak tercatat pada institusi yang berwenang.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No.16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU No.1 Tahun 1974 yang berbunyi:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan UU yang berlaku” .
Dampak dari Nikah Siri atau nikah di bawah tangan di antaranya adalah :
- Tidak lengkapnya suatu perbuatan hukum karena tidak tercatat secara resmi dalam catatan pemerintah.
- Anak yang dilahirkan dari pernikahan siri dianggap tidak dapat dilegalisasi oleh negara melalui akte kelahiran yang garis keturunannya dari bapaknya.
- Tidak mendapatkan surat atau akta nikah dari KUA (Kantor Urusan Agama) dan Kantor Catatan Sipil sedangkan setiap warga negara Indonesia yang melakukan pernikahan harus mendaftarkan pernikahannya secara negara.
- Tidak dapat membuktikan perkawinannya, sedangkan perkawinan dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pencatat nikah.
- Dampak yang timbul juga apabila pernikahan siri/di bawah tangan ingin melakukan perceraian maka istri akan sulit untuk mendapatkan hak atas harta bersama apabila suami tak memberikannya.
- Apabila ada warisan yang ditinggalkan suami karena meninggal dunia, istri dan anak akan sangat sulit mendapatkan hak dari harta warisan.
- Jika seorang suami berprofesi sebagai PNS/Pejabat Pemerintahan maka istri dan anak tidak berhak mendapatkan tunjangan apapun.
“Perempuan itu bukanlah tempat umum yang bisa datang untuk dinikahi, ditiduri, dihamili, dan ditinggali. Sebab dia adalah orang yang berhak untuk dihargai”.
—
[1] Sebenarnya Maria belum lama kenal, baru enam bulan Tentara itu bertugas di desanya.
[2] “Bapak, saya telah bersedia untuk melamar”