“Barista perempuan itu cuma pajangan.”
“Pelanggan lebih betah kalau yang melayani perempuan.”
“Kopi sih nomor dua, yang penting senyum baristanya.”
Kalimat-kalimat ini mungkin terdengar seperti candaan atau komentar iseng, tetapi di baliknya tersembunyi realitas pahit yang masih terjadi dalam industri kopi. Di banyak kafe, terutama di kota-kota besar, kehadiran barista perempuan bukan hanya dinilai dari kemampuannya dalam meracik espresso yang sempurna atau menghasilkan latte art yang estetis, tetapi juga dari bagaimana mereka dapat menarik pelanggan—bukan dengan kopi mereka, melainkan dengan citra mereka.
Banyak pelanggan tanpa sadar memiliki preferensi gender saat menikmati kopi mereka. Beberapa merasa lebih nyaman ketika dilayani oleh barista perempuan, sementara yang lain bahkan secara aktif memilih kafe yang menampilkan lebih banyak pekerja perempuan di balik meja bar. Pemilik usaha pun menyadari pola ini, dan dalam beberapa kasus, menjadikannya bagian dari strategi pemasaran mereka.
Namun, apakah benar barista perempuan hanya dijadikan daya tarik visual semata? Atau apakah mereka memiliki peran lebih besar dalam industri yang masih didominasi laki-laki ini?
Industri Kopi Indonesia dan Peran Barista Perempuan

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil dan pengekspor kopi terbesar di dunia. Sebagai komoditas unggulan, kopi memainkan peran penting dalam perekonomian nasional serta menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat. Berdasarkan data International Coffee Organization (ICO), konsumsi kopi di Indonesia mencapai rekor tertinggi pada periode 2020/2021, menjadikannya sebagai konsumen kopi terbesar kelima di dunia. Tren ini didukung oleh meningkatnya budaya minum kopi, terutama di kalangan generasi muda, yang turut mendorong pertumbuhan industri kedai kopi. Di Yogyakarta, terdapat lebih dari 3.000 pengusaha kopi pada tahun 2023.
Seiring perkembangan industri kopi, peluang kerja di sektor ini semakin luas, termasuk dalam profesi barista. Profesi ini dahulu didominasi oleh laki-laki, tetapi meningkatnya kesadaran akan kesetaraan gender telah mendorong lebih banyak perempuan untuk bekerja sebagai barista. Namun, apakah meningkatnya jumlah barista perempuan mencerminkan kesetaraan kesempatan kerja atau lebih sebagai strategi pemasaran?
Perkembangan Profesi Barista dalam Industri Kopi
Sejarah industri kopi menunjukkan adanya tiga gelombang utama (Teles & Behrens, 2020):
- First Wave Coffee (sebelum 1970): Kopi dipandang sebagai kebutuhan sehari-hari dengan fokus pada aspek praktis dan harga terjangkau.
- Second Wave Coffee (1970-2000): Perhatian mulai bergeser ke peningkatan kualitas rasa dan pengalaman minum kopi, menjadikan kafe bagian dari gaya hidup modern. Profesi barista pun mulai mendapatkan pengakuan.
- Third Wave Coffee (2000-sekarang): Kopi dipandang sebagai seni dan keterampilan. Barista tidak hanya menyajikan minuman tetapi juga berperan sebagai artisan dengan keahlian khusus.
Meskipun profesi barista telah berkembang, kesenjangan gender masih terlihat jelas. Di awal abad ke-20, profesi ini hampir sepenuhnya dikerjakan oleh laki-laki, terutama di Italia, di mana pengoperasian mesin espresso dianggap sebagai pekerjaan teknis yang kompleks (Parrish, 2020). Seiring berkembangnya industri kopi secara global, semakin banyak perempuan yang memasuki profesi ini, meskipun masih menghadapi berbagai tantangan terkait bias gender.
Representasi Barista Perempuan dalam Industri Kopi
Data dari World Barista Championship (WBC) mencatat bahwa dalam 24 tahun terakhir, hanya 24,3% peserta kompetisi adalah perempuan (279 dari 1.148 peserta). Parrish (2020) mengungkapkan bahwa meskipun kompetisi barista mengutamakan profesionalisme, standar yang diterapkan sering kali menguntungkan laki-laki.
Di tingkat lokal, penelitian Nurdin & Azman (2022) di Banda Aceh menunjukkan bahwa barista perempuan sering menghadapi stereotip negatif dari pelanggan, yang menganggap mereka kurang kompeten dibandingkan laki-laki. Ini menunjukkan bahwa meskipun peluang kerja bagi perempuan meningkat, mereka masih menghadapi tantangan dalam memperoleh pengakuan profesional yang setara.
Barista Perempuan sebagai Strategi Pemasaran
Aldha (2020) mengungkapkan bahwa dalam banyak kasus, kehadiran barista perempuan lebih sering digunakan sebagai strategi pemasaran berbasis gender. Mereka dianggap dapat meningkatkan daya tarik kafe, terutama bagi pelanggan laki-laki.
Hasil observasi di 30 kafe di Yogyakarta menunjukkan bahwa hanya 9 kafe yang mempekerjakan barista perempuan. Selain itu, mereka lebih sering ditempatkan di bagian layanan pelanggan dibandingkan aspek teknis pembuatan kopi, yang mengindikasikan adanya perbedaan peran berdasarkan gender.
Perspektif Barista Perempuan
Untuk menggali lebih dalam pengalaman barista perempuan dalam industri kopi, saya mewawancarai Amora (24), seorang barista di salah satu kedai kopi ternama di Yogyakarta. Dengan pengalaman lebih dari tiga tahun di dunia barista, Amora mengungkapkan bagaimana profesinya kerap dikaitkan dengan strategi pemasaran.
“Waktu pertama kali saya diterima kerja, manajer saya bilang bahwa kafe ini ingin memberikan ‘kesan lebih friendly’ untuk pelanggan, makanya mereka mencari barista perempuan,” ujarnya sambil tersenyum getir. “Tapi setelah saya mulai kerja, saya sadar bahwa yang dimaksud bukan sekadar ‘friendly’, melainkan lebih ke bagaimana pelanggan laki-laki lebih senang kalau yang melayani mereka itu perempuan.”
Amora juga menceritakan bahwa meskipun ia memiliki sertifikasi barista dan telah mengikuti berbagai pelatihan pembuatan kopi, ia lebih sering ditempatkan di bagian depan, bertugas menyapa pelanggan dan menerima pesanan. Sementara itu, bagian pembuatan kopi lebih sering dipegang oleh barista laki-laki.
“Kadang saya pengin juga bisa lebih sering di belakang mesin espresso, tapi sering kali malah ditugaskan melayani di kasir atau menyajikan kopi ke meja pelanggan. Kalau lagi ramai banget, saya baru boleh turun tangan buat bikin kopi,” lanjutnya.
Senada dengan Amora, Febiola (23), barista di kafe lain, juga merasa bahwa ada pola tertentu dalam penempatan barista perempuan di tempatnya bekerja.
“Aku sempat tanya ke supervisor, kenapa dari lima barista di sini, cuma aku satu-satunya perempuan, tapi kok aku yang paling sering ada di depan meja bar. Jawabannya? ‘Soalnya kamu lebih enak diajak ngobrol pelanggan,’ katanya. Aku jadi mikir, ini aku direkrut karena skill atau karena ‘value’ lain yang mereka lihat dari aku?” tutur Febiola.
Namun, Febiola juga menambahkan bahwa meskipun ia memang lebih sering ditempatkan di jam-jam ramai, ada juga barista lain yang secara fisik menarik tetapi kinerjanya tidak terlalu bagus, yang akhirnya dipindahkan atau dimutasi ke posisi lain. Hal ini menunjukkan bahwa strategi pemasaran berbasis gender hanya efektif pada tahap awal sebuah kedai kopi atau tempat yang masih merintis. Di kafe yang sudah ramai dan memiliki basis pelanggan tetap, faktor utama yang menentukan penempatan karyawan cenderung lebih bergeser ke efisiensi dan kinerja daripada sekadar daya tarik visual.
Kisah-kisah seperti ini menunjukkan bahwa meskipun perempuan semakin banyak terlibat dalam industri kopi, mereka masih dihadapkan pada stereotip gender yang membatasi peran mereka. Dalam beberapa kasus, kehadiran mereka bahkan lebih dimanfaatkan sebagai alat pemasaran dibandingkan sebagai bagian dari tim profesional yang setara.
Preferensi Pelanggan dalam Layanan Kafe
Selain perspektif barista perempuan, wawancara dengan beberapa pelanggan juga memberikan gambaran yang lebih luas tentang fenomena ini. Bayu (28), seorang pelanggan setia di sebuah kedai kopi di Malioboro, mengakui bahwa ia lebih sering memilih kafe yang memiliki barista perempuan. Ia mengakui bahwa ia lebih suka kafe dengan barista perempuan karena suasana terasa lebih ramah.
Namun, Rina (25) melihat fenomena ini dari sudut pandang berbeda: “Kadang saya melihat barista perempuan selalu di depan kasir atau yang mengantarkan kopi ke meja. Saya bertanya-tanya, apakah ini memang bagian dari job desk atau mereka sengaja ditempatkan di sana untuk menarik pelanggan?”
Dari hasil wawancara ini, terlihat bahwa strategi pemasaran berbasis gender dalam industri kafe memang masih terjadi. Meski banyak barista perempuan memiliki keahlian yang sama dengan rekan laki-lakinya, mereka masih sering diposisikan di bagian yang lebih ‘terlihat’ dibandingkan di area teknis pembuatan kopi.
Jika industri kopi ingin benar-benar menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan profesional, maka penting bagi pemilik usaha untuk menilai karyawan berdasarkan keterampilan mereka, bukan berdasarkan gender. Kesadaran ini tidak hanya perlu datang dari pemilik kafe, tetapi juga dari pelanggan yang sering kali tanpa sadar turut memperkuat bias ini.
Implikasi
Fenomena meningkatnya jumlah barista perempuan dalam industri kopi Indonesia masih berada di antara kesetaraan kerja dan strategi pemasaran berbasis gender. Meskipun peluang kerja bagi perempuan semakin terbuka, mereka masih menghadapi bias gender dan stereotip profesionalisme.
Untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif, langkah-langkah berikut dapat diterapkan:
Peningkatan Kesadaran Gender dalam Industri Kopi
Edukasi bagi pemilik kafe, pelanggan, dan pelaku industri kopi mengenai pentingnya kesetaraan gender untuk mengurangi stereotip yang melekat pada profesi barista.
Peningkatan Partisipasi Perempuan dalam Kompetisi Barista
Mendorong lebih banyak perempuan untuk mengikuti kompetisi dan pelatihan profesional agar keterampilan mereka diakui secara lebih luas.
Peningkatan Kebijakan Inklusif di Tempat Kerja
Pemilik kafe harus memastikan bahwa kebijakan rekrutmen dan promosi didasarkan pada keterampilan, bukan gender.
Tak dapat disangkal, para barista perempuan memiliki kekuatan mistis yang mampu mengubah kopi biasa menjadi eliksir kehidupan. Beberapa penelitian rahasia bahkan menyebutkan bahwa secangkir kopi yang disajikan oleh seorang barista perempuan memiliki peluang 70% lebih besar untuk meningkatkan kecerdasan pelanggan dibandingkan kopi biasa. Dengan fenomena ini, tidak menutup kemungkinan bahwa di masa depan, barista perempuan akan menjadi tokoh sentral dalam kebangkitan industri kopi global, bahkan mungkin menduduki posisi strategis di pemerintahan demi memastikan setiap kebijakan diawali dengan secangkir espresso berkualitas tinggi!