Saos Pentol Bu Bidan

saus pentol

Kalau temen-temen main ke Jombang dan sekitarnya, pasti akan menemukan banyak sekali jajanan “pentol” dengan berbagai varian. Pentol kuah, pentol bakar, pentol puyuh, pentol telur ayam, pentol jamur, pentol besar, pentol kecil dan banyak sekali macam lainnya.

Pentol sepertinya memang jajan paling populer di Jombang. 10 tahun hidup disana, jarang sekali sehari aku lalui tanpa jajan pentol. Mencoba pentol sana sini, dari penjual yang satu ke penjual lainnya. Misal ada content creator yang membandingkan pentol di seluruh Jombang, mungkin akan jadi konten yang satu tahun tiga bulan belum selesai.

Pentol merupakan versi camilan dari bakso: bahan untuk membuatnya mirip dan bentuknya sama. Pentol yang enak biasanya dibuat dengan campuran daging yang lebih banyak dan lebih mahal. Bedanya pentol dengan bakso adalah biasanya pentol langsung dimakan tanpa memakai piring, melainkan memakai wadah plastik yang diikat bagian atasnya kemudian digigit salah satu ujung bawahnya, kebayang? Hehe.

Ini cara paling masuk akal untuk memakan pentol karena selain bisa menggigit daging pentol itu, kita juga bisa sesekali meminum sedikit kuah atau campuran bumbu tambahannya, jadi lebih medhok kan? Beberapa ada yang memakai stik bambu tusuk sate, tapi menurutku rasanya kurang greget dengan cara seperti itu.

Seperti saudaranya si bakso, pentol biasanya dimakan dengan tambahan saos, kecap, dan sambal. Dari saos ini, aku menemukan salah satu penjual pentol yang unik. Di depan Mushola Pom Bensin Tambakberas Jombang tepatnya, berjejer penjual bermacam jajan. Di antara banyaknya penjual, ada salah satu penjual pentol yang menurutku cukup spesial itu. Di gerobaknya tertulis pentol puyuh, pentol jamur, dan lainnya.

Memang seolah tidak ada yang berbeda dengan penjual pentol yang lain, tapi ketika teman-teman beli, baru sadar bahwa ada yang berbeda. Yap, saos yang digunakan. Warnanya bukan merah atau orange seperti kebanyakan saos yang kita ketahui, tapi saos pentol satu ini berwarna coklat kehijauan.

“Hah? Saos macam apa ini?” batinku.

Hari pertama membeli pentol dari penjual itu, rasanya kaget karena ternyata rasanya enak, padahal saosnya aneh. Sayangnya, aku tidak berkesempatan bertanya perihal saos kepada penjual karena terdapat antrean menderet di belakang.

Namun, akibat rasa penasaran yang semakin tinggi, akhirnya esok harinya aku memutuskan untuk membeli pentol itu lagi. Aku sedikit bingung karena penjualnya berganti, kemarin bapak-bapak kok sekarang ganti ibu-ibu, eh ternyata istri dari bapak kemarin. Aku sengaja membeli pentol itu saat jam masuk sekolah sehingga sepi tidak ada antrean, agar bisa meredakan rasa penasaranku terhadap saos berwarna coklat kehijauan itu.

“Bu, beli pentol 7 ribu. Campur pentol puyuh, pentol kecil, sama kubis ya,” kataku.

“Siap, mas ganteng,” katanya tanpa “ganteng” yang aku tambahkan sendiri.

Selagi Ibu itu memasukkan pesananku ke plastik, langsung aku bertanya. “Bu, itu kenapa saosnya beda ya?” Ibu itu terlihat terdiam sejenak, pergerakan tangannya yang sedang memasukkan pentol pesananku terhenti, pandangannya seperti terkaget oleh pertanyaan tiba-tiba dariku.

Aku sempat khawatir, apa mungkin yang aku tanyakan adalah resep rahasia perusahaan yang dititipkan ke Mr. Crab kemudian disembunyikan oleh Spongebob dan selalu diincar oleh Plankton? Suasana saat itu terasa mencekam di benakku. Untungnya, deg-degan yang kurasakan seketika runtuh berkat senyum si ibu penjual pentol. Lega rasanya. Kemudian perlahan beliau bercerita.

Dimulai dari cerita tentang background beliau yang ternyata adalah seorang bidan yang bekerja di salah satu Puskesmas. Kemudian beliau berjualan pentol bersama suaminya untuk menambah penghasilan demi kebutuhan keluarga, terutama untuk anaknya yang masih nyantri di pesantren. Intinya beliau sadar bahwa pecinta pentol di Jombang memang sebanyak itu sehingga beliau sekeluarga memutuskan ikut berjualan.

Bersamaan dengan itu, beliau memang sudah lama resah dengan banyaknya pentol yang dijual di sekitarnya. Bukan karena takut saingan, tapi kekhawatiran dari sisi kesehatan. Beliau mengamati bahwa untuk menekan biaya produksi dan menambah keuntungan, banyak penjual pentol yang memakai saos murahan alias abal-abal yang menurutnya sangat berbahaya dan mengancam kesehatan para konsumen yang kebanyakan adalah anak-anak.

Wong saos yang asli saja kalo kebanyakan juga ngga sehat, apalagi yang murahan warna pink begitu mas!” katanya tampak sebal.

“Karena itu mas, saos pentolku beda. Tanpa mengorbankan selera konsumen yang kadung suka saos dan nggatau sehat atau tidaknya itu, saya berusaha mengurangi konsumsi saosnya.” Begitu beliau menjelaskan dan aku makin bingung.

“Caranya bagaimana, Bu?” tanyaku lagi. Untung beliau tidak terdiam lagi seperti awal aku bertanya.

Beliau dengan wajah sumringah menjelaskan, “Aku campur ke sambal kacang mas, sedikit sekali saos yang aku masukkan, asal ada rasa saosnya saja. Dan ternyata pembeliku tidak protes loh, malah kebanyakan bilang kalo saos racikanku ini lebih enak dari yang lain. Aku sempat tanyakan ke dokter juga, katanya dengan begini memang bisa lebih sehat karena kalo sambel kacang kan aku bikin sendiri jadi dijamin bersih dan sehat.”

Mendengar jawaban itu, giliran aku yang terhenti sejenak. Aku yang hampir setiap hari makan pentol baru sadar bahwa ternyata setiap hari aku mengkonsumsi saos yang mungkin saja tidak sehat.

Bu Bidan yang sadar dengan lamunanku menegurku, “Ini mas pentolnya.”

Sambil menerima pentol dan menyerahkan uang 7 ribu, aku kembali bertanya, “Bu, saos jenengan kan enak, sehat juga. Kalau resepnya dicuri sama penjual pentol lain gimana Bu?”

Dengan ringan beliau menjawab, “Loh justru itu harapanku mas, andaikan semua penjual pentol sadar kalau terlalu banyak konsumsi saos itu bahaya. Kalau mau membuat sedikit perubahan, pasti akan lebih banyak konsumen terutama anak-anak yang lebih sehat dan lebih aman. Kalo mas mau resepnya, datang ke rumah nanti saya ajarin.” Aku hanya terdiam tersenyum dan kembali ke motorku. “Maturnuwun, Bu,” pungkasku.

Dalam perjalanan pulang, aku baru menyadari satu hal. Yaitu betapa hebatnya Bu Bidan dengan saos pentolnya itu. Hal kecil sangat berpotensi untuk dapat berdampak luar biasa. Bagaimana beliau memperhatikan kesehatan para konsumen pentolnya. Hal ini patut ditiru oleh penjual pentol lain.

Jika ada gelar pahlawan kesehatan, bagiku beliau layak jadi salah satunya. 

Facebook
X
Threads
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Event Kami

IYD Challage 2024

Artikel Populer

Artikel Terkait

Translate »