Bisakah Urban Farming Menyelamatkan Kelas Menengah di Indonesia?

Uurban farming di lingkungan perkotaan.

Terlahir sebagai kelas menengah di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Menjadi bagian dari mereka berarti harus hidup serba pas-pasan, makan tabungan sendiri, terancam tidak bisa memiliki properti, hingga menjadi sasaran berbagai kebijakan ekonomi pemerintah yang semakin banyak memotong pendapatan pribadi.

Seperti namanya, masyarakat kelas menengah adalah mereka yang secara ekonomi hidup di tengah-tengah. Tidak bisa dibilang kaya seperti pemilik modal, tetapi hidup berkecukupan. Di Indonesia sendiri, kelas menengah merujuk pada orang-orang dengan pengeluaran sebesar Rp1,2 hingga 6 juta setiap bulannya. Menurut bank dunia, Indonesia memiliki sekitar 52 juta jiwa penduduk kelas menengah, dengan sebagian besarnya hidup di lingkungan perkotaan.

Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, sepanjang 2019 hingga 2024, sebanyak 9,5 juta dari anggota masyakarat kelas menengah turun kasta ke kelompok yang lebih rendah. Sisa-sisa efek pandemi, tingginya angka pemutusan hubungan kerja, biaya hidup yang semakin melonjak, hingga jumlah lapangan pekerjaan yang semakin berkurang ditenggarai jadi penyebabnya.

Di tengah nasib kelas menengah Indonesia yang semakin memelas, urban farming atau pertanian perkotaan terdengar seperti sebuah solusi yang menjanjikan. Berbagai diskursus pun sepakat bahwa urban farming mampu menjadi peluang bisnis yang dapat meningkatkan ketahanan pangan dan memperkuat ekonomi penduduk urban. Potensi ini tidak terlepas dari keunggulan urban farming yang sangat fleksibel dengan keterbatasan sumber daya tanah dan air di wilayah perkotaan.

Lantas, sejauh mana pertanian kota atau urban farming bisa menjadi jawaban atas persoalan kelas menengah di Indonesia?

Urban Farming Sebagai Gaya Hidup

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat terlebih dahulu bagaimana selama ini masyarakat kelas menengah memaknai urban farming. Sebuah penelitian tesis dari Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (2018), mengungkapan bahwa tren urban farming di kalangan kelas menengah justru lebih banyak digerakkan oleh motivasi post-materialisme, yakni kehendak untuk eksis dan menjadi bagian dari perubahan sosial.

Para pelaku urban farming di Surabaya yang menjadi informan penelitian tersebut diketahui aktif memanfaatkan urban farming sebagai sarana untuk mempromosikan tradisi subsisten dan gaya hidup hijau. Berjejaring dengan pemerintah dan organisasi masyarakat kemudian dilakukan untuk memperluas gerakan mereka.

Selain itu, sebuah survei terhadap sejumlah pelaku budidaya sayuran organik di Kota Yogyakarta (2021) turut menemukan bahwa sebagian besar responden justru lebih dominan didorong oleh keinginan aktualisasi diri dan sosial ketimbang motivasi yang bersifat ekonomi.

Kemudian, menurut sebuah publikasi ilmiah yang diterbitkan di jurnal internasional Consumer Studies, urban farming di kalangan para pelaku pertanian di lingkungan perkotaan nyatanya juga lebih terlihat seperti sebuah praktik politics of everyday life; sarana untuk mengintegrasikan kehidupan sehari-hari dengan semangat pelestarian lingkungan, menjaga kesehatan mental, hingga ekspresi dan pembentukan identitas.

Dari beberapa penelitian tersebut, kita bisa mendapatkan gambaran umum, bahwa sebenarnya para kelas menengah di perkotaan yang menjadi pelaku urban farming tidak sepenuhnya disetir oleh motivasi untuk meningkatkan pendapatan dan ketahanan pangan rumah tangga. Motivasi non ekonomi yang berkaitan dengan gaya hidup dan estetika terlihat lebih cocok dengan mereka.

Persoalan Di Baliknya

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan tren urban farming sebagai sebuah gaya hidup. Namun, pada konteks penanganan persoalan kelas menengah di Indonesia, orientasi life style di dalam tren urban farming menyimpan berbagai persoalan yang justru membuatnya semakin jauh dari cita-cita penguatan ekonomi dan ketahanan pangan.

Persoalan pertama adalah kentalnya komodifikasi. Urban farming yang semata diterapkan sebagai sebuah gaya hidup sangat mungkin bermuara pada komodifikasi. Para pelaku urban farming misalnya harus menghadapi semacam tuntutan untuk membeli produk, alat, teknologi yang diproduksi dan distandarisasi oleh industri yang kapitalistik. Hal ini menjadi semakin bermasalah ketika komoditas-komoditas tersebut justru memiliki harga yang tinggi dan bertentangan dengan prinsip pelestarian lingkungan atau pembangunan berkelanjutan.

Komodifikasi tersebut pada akhirnya melahirkan persoalan yang kedua, yakni eksklusivitas. Tuntutan besar untuk melakukan hyper-consumption akan mengakibatkan urban farming mungkin hanya bisa diakses oleh kelompok masyarakat tertentu dengan pendapatan yang tinggi dan daya beli yang kuat. Masyarakat kelas menengah ke bawah yang sebenarnya paling membutuhkan dukungan ketahanan pangan justru terseksklusi dan tidak memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara bermakna di dalam gerakan urban farming.

Persoalan ketiga adalah teralihkannya fokus isu-isu sistemik. Ketika urban farming hanya menjadi sebuah gaya hidup, sangat mungkin para pelakunya akan menempatkan fokus yang terlalu besar pada nilai-nilai simbolik individual. Sebaliknya, masalah struktural yang berkaitan dengan nasib orang banyak seperti sistem pangan lokal, perubahan iklim, dan ketahanan pangan perkotaan justru rentan terabaikan. Hal ini sangat disayangkan mengingat titik berangkat lahirnya gagasan tentang urban farming tidak terlepas dari isu-isu tersebut.

Pesoalan terakhir, sebagai implikasi dari ketiga masalah di atas, ialah dampak yang sangat terbatas. Urban farming idealnya harus memberikan dampak yang besar dan berkelanjutan. Namun, ketika cuma dijadikan sebagai hobi dan kegemaran personal, urban farming akan sangat mudah menjadi tren yang terputus-putus; bisa dilakoni oleh banyak orang dalam satu waktu, lalu redup di waktu lainnya. Sebagai akibatnya, sekali lagi, misi sebenarnya untuk meningkatkan ketahanan pangan perkotaan menjadi sulit tercapai.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Dari beberapa kemungkinan persoalan tersebut, menurut saya urban farming belum bisa menjadi jawaban yang pas untuk menolong para kelas menengah perkotaan di Indonesia yang nasibnya semakin terhimpit. Namun, bukan berarti hal tersebut sama sekali tidak bisa diupayakan. Tulisan ini juga hendak memberikan dua rekomendasi yang mungkin bisa diterapkan apabila ingin menjadikan urban farming sebagai instrumen untuk menghidupi kelas menengah.

Pertama, mengubah urban farming sebagai sebuah gerakan kolektif. Alih-alih hanya menjadi acuan gaya hidup individual yang spontan dan sporadis, urban farming perlu dilakukan dalam skala yang lebih besar dan melibatkan lebih banyak orang. Pemerintah, organisasi non-profit, dan masyarakat dengan berbagai latar belakang harus memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi aktor urban farming. Secara praktis, tips ini bisa diterapkan misalnya dalam bentuk inisiasi kebun komunitas di lahan bersama atau pengadaan kebun vertikal di ruang publik. Kelompok-kelompok rentan dan terpinggirkan seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan anak-anak juga perlu diberikan kesempatan yang sama agar gerakan kolektif urban farming dapat berlangsung lebih inklusif.

Kedua, mengintegrasikan urban farming dengan kebijakan perkotaan. Berkaitan dengan tata kota dan ketahanan pangan, pemerintah daerah bisa menggunakan wewenangnya untuk menciptakan ekosistem yang baik bagi urban farming untuk bertumbuh. Hal ini misalnya bisa dilakukan dalam bentuk pemberian insentif atau subsidi bagi para pelaku urban farming, mengadakan pelatihan urban farming yang terbuka untuk umum. Selain itu, pemerintah daerah juga bisa memfasilitasi investasi pada teknologi pendukung urban farming, memberdayakan pasar lokal sebagai penyalur hasil panen, serta menggandeng media untuk memperluas penyebaran pengetahuan tentang urban farming dan manfaatnya.

Apabila menilik kembali potensi dan manfaat yang bisa dihasilkannya, urban farming sekilas bisa menjadi solusi bagi masyarakat kelas menengah di perkotaan yang ingin meningkatkan pendapatan rumah tangga dan memperkuat ekonomi. Namun, cita-cita ini rasanya sulit untuk dicapai jika urban farming direduksi hanya sebagai gaya hidup kelas menengah. Bagi para pelaku urban farming yang masih terkungkung oleh hegemoni lifestyle, tulisan ini ingin mendorong kalian untuk mengarahkan kembali pertanian perkotaan ke jalur sebenarnya, yakni sebagai misi mencapai ketahanan pangan, keberlanjutan lingkungan, dan keadilan sosial.

Facebook
X
Threads
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Event Kami

Ruang Kata 4

Artikel Populer

Artikel Terkait

Translate »