Peringatan: Tulisan ini mungkin dapat memicu pengalaman traumatik. Segera cari dukungan terdekat jika kamu atau orang terdekatmu sedang berupaya pulih dari kekerasan seksual.
__________
Bayangkan kamu sedang berjalan-jalan di sebuah ruang publik, entah itu trotoar, taman, atau pusat perbelanjaan. Saat sedang menikmati me time, tiba-tiba ada orang asing yang menyapa kamu dengan cara yang eksplisit, agresif, atau bisa jadi disertai siulan. Seketika, me time kamu berubah jadi sangat tidak nyaman.
Cat calling, demikian sebutannya di jaman sekarang, banyak terjadi di lingkungan sekitar kita, utamanya pada teman-teman perempuan. Bisa jadi, disadari atau tidak, kita juga pernah menjadi pelakunya. Tahukah kamu? Kalau tindakan seperti ini sebenarnya termasuk ke dalam bentuk kekerasan seksual.
Jika merujuk pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), tindakan catcalling termasuk ke dalam pelecehan seksual non fisik. Ya, berkat UU TPKS, kini bentuk dari kekerasan seksual semakin luas, bukan hanya soal pemerkosaan maupun kontak seksual dan fisik saja.
Namun, pelecehan seksual non fisik hanya satu dari 9 jenis kekerasan seksual yang diatur oleh UU TPKS. Pasal 4 UU TPKS merinci kalau tindak pidana kekerasan seksual juga terdiri atas: pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, dan pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik juga termasuk di dalamnya. Masing-masing dari bentuk kekerasan seksual tersebut pun memiliki ancaman pidana yang berbeda-beda.
Arti Dari Setiap Bentuk Kekerasan Seksual
Merangkum dari dokumen Pengantar Memahami Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang diterbitkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) serta Naskah Akademik UU TPKS, mari pelajari lebih dalam arti dari setiap bentuk kekerasan seksual dalam aturan ini.
1. Pelecehan Seksual Non Fisik
Bentuk kekerasan seksual ini berupa pernyataan verbal, gerak tubuh yang mengarah pada seksualitas. Misalnya, seperti menggoda dengan siulan, kedipan mata, dan ucapan yang bernuansa seksual; termasuk mempertunjukkan materi pornografi, kegiatan seksual, atau organ reproduksi. Budaya cat calling, seperti yang dijelaskan di awal, adalah salah satu contohnya.
2. Pelecehan Seksual Fisik
Bentuk kekerasan seksual ini melibatkan kontak fisik dengan organ reproduksi, termasuk memberikan sentuhan intim pada bagian tubuh korban, dan kontak-kontak fisik lain yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan, perasaan tersinggung, dan bahkan masalah kesehatan dan keselamatan. Salah satu contohnya, saat tulisan ini dibuat, sedang ramai pemberitaan tentang Nia seorang anak penjual gorengan asal Pariaman yang menjadi korban pemerkosaan dan femisida (pembunuhan terhadap perempuan).
3. Pemaksaan Kontrasepsi dan Sterilisasi
Bentuk kekerasan seksual ini berarti memaksa orang lain untuk menggunakan alat kontrasepsi atau sterilisasi yang dapat menghilangkan fungsi reproduksinya untuk sementara waktu atau bahkan permanen. Kasus ini banyak dijumpai, misalnya, pada penyandang disabilitas kejiwaan korban pemerkosaan yang dipaksa diberikan obat kontrasepsi agar tidak terus-menerus melahirkan anak.
4. Pemaksaan Perkawinan
Bentuk kekerasan seksual ini berarti memaksa seseorang untuk menikah dengan orang lain atau diri sendiri tanpa mendapatkan persetujuan dari korban dengan menggunakan tekanan fisik, psikologis, dan ekonomi. Pemaksaan perkawinan, salah satu contohnya, bisa dijumpai pada perkawinan anak dan remaja, atau budaya perkawinan paksa di beberapa daerah.
5. Penyiksaan Seksual
Di dalam UU TPKS, penyiksaan seksual secara khusus merujuk pada kekerasan seksual yang dilakukan oleh pejabat negara, publik, atau daerah. Aparatur sipil negara dan aparat penegak hukum juga bisa menjadi pelaku di dalamnya bentuk kekerasan seksual yang satu ini.
6. Eksploitasi Seksual
Bentuk kekerasan seksual ini berarti mengambil manfaat tertentu dari tubuh atau aktivitas seksual korban. Eksploitasi seksual, sebagai contoh, banyak ditemukan pada korban yang dipaksa menjadi pekerja seks komersial, dengan sebagian besar keuntungan ekonomi dinikmati oleh pelaku.
7. Perbudakan Seksual
Bentuk kekerasan seksual ini berarti menempatkan korban di dalam kondisi yang sulit untuk menolak, melawan, atau mengambil keputusan atas dirinya sendiri. Perbudakan seksual umumnya ditemukan pada kasus-kasus pemerkosaan yang disertai dengan penculikan atau upaya membawa korban ke tempat yang jauh dari keluarga dan lingkungan amannya.
8. Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik
Bentuk kekerasan seksual ini berarti merekam, mengambil gambar atau video, melakukan tangkapan layar atau tangkapan video bermuatan seksual tanpa adanya persetujuan dari korban. Mengirim materi bermuatan seksual secara online dan mencari informasi pribadi seseorang untuk tujuan seksual juga termasuk di dalamnya. Kekerasan seksual berbasis elektronik, misalnya, bisa dijumpai pada pasangan yang mengancam menyebarkan foto bernuansa seksual kepada publik.
Kerentanan & Potensi Remaja di Dalam Isu Kekerasan Seksual
Bentuk-bentuk kekerasan seksual di atas sangat penting untuk dipahami oleh para remaja. Sebab, berbagai penelitian sepakat membuktikan kalau remaja adalah salah satu kelompok yang rentan untuk mengalami kekerasan seksual.
Tinjauan literatur yang ditulis oleh Nasution dkk (2024) misalnya, berhasil merangkum alasan mengapa remaja rentan mengalami kekerasan seksual, seperti: keterpaparan informasi internet yang tinggi, pengasuhan keluarga yang salah, lingkungan yang tidak mendukung, pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi yang rendah, sampai pengalaman kekerasan seksual di masa lalu.
Kerentanan tersebut semakin kompleks ketika remaja sudah menjadi korban kekerasan seksual. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), remaja korban kekerasan seksual memiliki dinamika pengalaman yang berbeda dengan orang dewasa, utamanya dalam konteks kesehatan mental.
Menurut mereka, remaja dapat dengan mudah mengalami trauma dan masalah kesehatan mental yang serius ketika menjadi korban kekerasan seksual. Mereka lebih sering disalahkan dan tidak memiliki ruang untuk menyampaikan perasaannya secara terbuka. Menutup diri dan menanggung beban emosional sendirian adalah jalan keluar yang sering kali dipilih.
Secara lebih spesifik, kerentanan tersebut kemudian lebih besar terjadi pada korban remaja perempuan. Sebuah survei skala besar di Inggris pada (2022) mengungkapkan bagaimana upaya-upaya melukai diri sendiri, percobaan bunuh diri, dan penggunaan obat-obatan terlarang lebih banyak terjadi pada remaja perempuan korban kekerasan seksual ketimbang korban laki-laki.
Kendati demikian, bukan berarti remaja selamanya berada dalam kondisi yang tidak berdaya menghadapi kekerasan seksual. Tulisan ini juga ingin mendorong para remaja untuk turut aktif menurunkan jumlah kekerasan seksual yang terjadi pada remaja. Apa yang bisa diupayakan oleh para remaja?
Bagi sobat remaja yang mengalami langsung atau menemukan orang terdekat menjadi korban kekerasan seksual, pastikan kamu atau korban segera mendapatkan dukungan. Menurut Rape, Abuse and Incest National Network (RAINN), ada beberapa pertolongan pertama yang bisa dilakukan untuk merespon kekerasan seksual, seperti menghubungi fasilitas kesehatan, membuat laporan aduan, dan membantu korban memulihkan diri.
Selain itu, remaja tentunya juga dapat mencari dan saling menyebarkan sumber-sumber pengetahuan alternatif terkait kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk soal ancaman kekerasan seksual, dampak, dan cara melindungi diri.
Lebih lanjut, remaja juga bisa menjadi bagian dari sistem pendukung bagi sebaya yang menjadi korban kekerasan seksual. Sebagai teman sebaya, remaja dapat membantu memberikan dukungan emosional kepada korban, membantu mereka mengambil keputusan atas pengalaman kekerasan seksual yang dihadapi, termasuk membantu melaporkan kasus kekerasan seksual.
Penulis: Nobertus Mario Baskoro