Label Kemasan di Era “Health-Washing”
Gaya hidup sehat yang sedang menjadi trend sekarang membuat semakin banyak produk makanan dan minuman yang tampil dengan klaim yang menarik konsumen, khususnya orang muda seperti “rendah gula”, “tanpa pengawet”, “alami”, hingga “ramah lingkungan”. Label-label ini membuat konsumen merasa aman dan bangga mengonsumsinya. Label kemasan seperti ini, biasanya sering ditemui pada jus kemasan atau susu dan dianggap keputusan sehat. Namun, di balik kemasan berwarna hijau lembut dan kata-kata menenangkan itu, tersimpan fenomena yang disebut health-washing strategi pemasaran yang membuat produk tampak sehat padahal belum tentu demikian.
Istilah yang Menipu: Saat Label Jadi Ilusi Kesehatan
Menurut Heiss dkk., (2021) Health-washing merupakan praktik memberi kesan bahwa suatu produk baik untuk kesehatan, meski kandungan sebenarnya tidak mendukung klaim tersebut. Misalnya, minuman yang mencantumkan tulisan besar “mengandung vitamin C” tetapi mengandung kadar gula setara dengan satu kaleng soda. Istilah-istilah seperti “natural”, “organic”, atau “plant-based” sering digunakan untuk membangun citra positif, padahal belum tentu mencerminkan kualitas gizi produk tersebut.
Penelitian Theben dkk., (2020) menunjukkan bahwa elemen visual seperti warna kemasan dan klaim kesehatan memiliki pengaruh signifikan terhadap persepsi konsumen tentang tingkat kesehatan suatu produk. Melalui eksperimen terhadap ratusan partisipan, mereka menemukan bahwa warna kemasan hijau dan biru cenderung meningkatkan persepsi bahwa produk tersebut lebih sehat, alami, dan ramah lingkungan dibandingkan warna kemasan merah atau kuning yang diasosiasikan dengan rasa manis dan kalori tinggi. Selain itu, klaim kesehatan seperti “rendah gula”, “bebas lemak”, atau “sumber serat” memperkuat efek tersebut dengan menciptakan kesan positif terhadap produk, bahkan ketika komposisi gizinya tidak sepenuhnya mendukung klaim yang tercantum.
Di Indonesia, tren ini makin meningkat seiring dengan kesadaran orang muda akan gaya hidup sehat yang justru dimanfaatkan oleh produsen untuk mengemas ulang produk lama dengan citra baru yang lebih “green” dan “fit”. Kurangnya pengetahuan bisa membuat orang muda lebih mudah tertipu.
Hallez dkk., (2023) dalam Persuasive Packaging? The Impact of Packaging Color and Design on Perceived Healthiness menyebutkan bahwa fenomena ini diperkuat oleh pengaruh visual dan psikologis dari iklan digital. Generasi muda yang hidup dalam budaya media sosial sangat terpapar pada estetika “wellness” foto tubuh ideal, warna hijau lembut, kemasan minimalis, serta tagline positif seperti “clean eating” atau “good for you”. Desain visual yang tenang dan natural menciptakan ilusi kredibilitas dan kesederhanaan, membuat produk tampak lebih “jujur” dan “aman”.
Secara psikologis menurut Stoltze dkk., (2021) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa strategi ini bekerja karena memanfaatkan efek halo (halo effect) kecenderungan otak manusia menilai keseluruhan produk berdasarkan satu kesan positif. Misalnya, jika kemasannya terlihat alami dan bersih, konsumen cenderung menganggap isi produk juga sehat, tanpa membaca tabel gizi. Selain itu, algoritma media sosial memperkuat bias ini dengan terus menampilkan konten gaya hidup sehat yang dikaitkan dengan merek tertentu, sehingga membentuk asosiasi emosional antara “cantik”, “sehat”, dan “produk tersebut”.
Kasus di Indonesia: Ketika “Rendah Gula” Tak Selalu Sehat
Saat ini banyak kita jumpai minuman kekinian yang mengklaim diri sebagai low sugar drink dan “rendah kalori”. Banyak dari produk ini memang mengurangi gula tebu, tetapi menggantinya dengan pemanis buatan seperti aspartam atau sukralosa dalam jumlah tinggi. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebenarnya telah mengingatkan bahwa penggunaan pemanis buatan perlu diawasi secara ketat, terutama pada produk yang dikonsumsi anak-anak, orang muda dan kelompok rentan
Trend green labelling pada makanan ringan juga menjadi bentuk lain dari kemasan yang tidak selalu sehat. Beberapa merek mencantumkan label “tanpa pengawet” atau “dari bahan alami”, tetapi jika diperhatikan lebih dalam, produk tersebut tetap mengandung bahan tambahan seperti MSG, penguat rasa, atau minyak terhidrogenasi. Dalam konteks ini, istilah “alami” sering kali digunakan tanpa dasar yang jelas, karena belum ada standar nasional yang ketat mengenai penggunaan klaim tersebut di label produk makanan.
Kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa strategi health-washing bukan hanya masalah etika pemasaran, tetapi juga berdampak langsung pada pilihan konsumen. Banyak yang merasa sudah menjalani pola makan sehat, padahal tanpa sadar masih mengkonsumsi produk tinggi gula, garam, dan lemak tersembunyi.
Praktik Membaca Kemasan: Kecil di Mata, Besar di Makna
“Jadilah konsumen yang bijak”, satu kalimat yang teringat ketika menuliskan topik ini. Sayangnya, kebanyakan konsumen, khususnya orang muda, masih jarang membaca label gizi secara cermat. Banyak yang hanya melihat klaim di depan kemasan tanpa menelusuri bagian Informasi Nilai Gizi dan Daftar Komposisi di belakangnya. Padahal, dua bagian inilah yang memuat fakta sesungguhnya.
Ada dua hal penting yang sering tidak diperhatikan saat membaca label kemasan, seperti:
Green Labelling yang Menyesatkan
Istilah seperti “alami”, “tanpa bahan pengawet”, atau “bahan organik” sering kali digunakan untuk menarik perhatian. Namun, produk tetap bisa mengandung bahan kimia lain yang berfungsi serupa, seperti anti-caking agent atau pewarna sintetis. Warna hijau dan gambar dedaunan di kemasan menciptakan ilusi “sehat”, padahal itu bagian dari strategi pemasaran, bukan jaminan gizi.
Klaim Rendah Gula atau Rendah Kalori
Tidak sedikit produk yang mengklaim rendah gula atau kalori, namun porsi saji yang digunakan sangat kecil. Misalnya, label menyebut “hanya 100 kalori per sajian”, padahal satu kemasan berisi empat porsi. Artinya, jika dikonsumsi seluruhnya, kalori yang masuk menjadi empat kali lipat.
Kritik atas Budaya Konsumsi: Iklan, Citra, dan Keterjebakan Estetika
Kemasan produk masa kini tidak hanya menjual isi, tetapi juga gaya hidup. Iklan di media sosial kerap menampilkan citra orang sehat dan bahagia mengkonsumsi produk dengan label hijau dan klaim “healthy choice”. Desain minimalis, warna lembut, dan tipografi modern memperkuat kesan alami dan aman. Inilah bentuk lain dari aesthetic consumerism dimana keputusan membeli didorong oleh citra, bukan substansi.
Studi Apriyanti (2023) yang mengambil penelitian di Semarang menunjukkan bahwa hanya 6,7% konsumen di Semarang yang memperhatikan informasi nilai gizi dengan serius, hal ini menunjukkan literasi gizi yang masih rendah.
Menuju Konsumen Kritis: Membaca Lebih Dalam, Hidup Lebih Sehat
Membaca label kemasan mungkin terlihat sepele, tetapi ini adalah bentuk literasi kesehatan yang penting di era health-washing. Dengan memahami informasi nilai gizi, kita bisa mengetahui berapa banyak gula, lemak, dan garam yang dikonsumsi serta mengenali istilah teknis yang sering digunakan untuk menutupi kandungan tidak sehat.
Konsumen perlu mengubah kebiasaan seperti Jangan hanya percaya pada klaim besar di depan kemasan, baca bagian Informasi Nilai Gizi dan Komposisi secara lengkap. Perhatikan ukuran porsi saji dan jumlah total dalam satu kemasan. Pemerintah dan lembaga pengawas juga memiliki peran penting dengan memperketat aturan pelabelan, mengawasi penggunaan istilah seperti “alami” dan “tanpa pengawet”, serta memperkuat edukasi publik
tentang literasi pangan.
Era health-washing menuntut orang muda yang lebih kritis dan tidak mudah terbuai oleh citra kemasan. Produk sehat bukan ditentukan oleh warna hijau pada label, melainkan oleh transparansi informasi gizi dan kejujuran produsen. Dengan membangun kebiasaan membaca label kita dapat menjaga kesehatan tubuh serta menegakkan hak sebagai konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar. Sudahkah sobat memperhatikan label kemasan sebelum membeli produk? Yuk, biasakan cek label sebelum membeli. Jangan biarkan kemasan menipu mata dan kata “sehat” menipu pola makanmu. Langkah kecil membaca label bisa jadi perubahan besar buat kesehatanmu.





