Walaupun perempuan merupakan mayoritas dalam industri pendidikan di Indonesia, yaitu sebesar 70%, hanya 30% kepala sekolah yang merupakan perempuan (The Jakarta Post, 2020). Mengapa angka ini tidak mencerminkan proporsi perempuan di industri ini? Jawabannya terletak di apa yang disebut dengan Glass Ceiling.
Apa itu “Glass Ceiling”?
“Glass Ceiling” adalah ungkapan yang diciptakan dan dipopulerkan di AS pada akhir tahun 1900-an dan digunakan untuk menggambarkan hambatan yang dihadapi perempuan dan kelompok minoritas lainnya dalam mendapatkan promosi atau posisi kepemimpinan.
Kaca atau ‘Glass’ mengacu pada bagaimana penghalang ini biasanya tidak terlihat dan tidak dijelaskan secara eksplisit. Sebaliknya, hambatan ini disebabkan oleh norma budaya dan kepatuhan terhadap status quo. Karena masalah ini tidak konkrit, maka permasalahan ini lebih sulit untuk diatasi dan tidak dapat diselesaikan dengan mudah melalui kebijakan-kebijakan baru.
Glass Ceiling di Tempat Kerja Indonesia
Glass Ceiling ini ada di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Meskipun perempuan di Indonesia kini punya peluang lebih besar untuk lulus dari perguruan tinggi dan berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja, hanya sebagian kecil dari mereka yang memegang posisi kepemimpinan di bidangnya masing-masing.
Seperti disebutkan sebelumnya, meskipun banyak perempuan yang bekerja di bidang pendidikan, rasio perempuan yang memegang peran kepemimpinan dalam industri ini tidak sebanding sama sekali. Selain itu, kepala sekolah perempuan sering harus bekerja lebih keras dan menunggu lebih lama dibandingkan kepala sekolah laki-laki untuk mendapatkan promosi (The Jakarta Post, 2020).
Situasinya juga sangat memprihatinkan di bidang politik, dimana: “Jumlah keterwakilan perempuan di DPR RI dalam tiga periode terakhir berfluktuasi dan tidak pernah mencapai persentase minimum yang diharapkan, yakni sebesar 17,9 persen pada periode 2009-2014, 17,3 persen pada periode 2014-2019, dan 20,5 persen pada periode 2019-2024″ (Antara, 2023). Situasi yang sama juga terjadi di industri bisnis, dimana pada IDX200 (200 Teratas Bursa Efek Indonesia) 2021, hanya 15% anggota Tim Kepemimpinan Eksekutif dan 4% CEO adalah perempuan. Statistik ini tidak berubah sejak tahun 2019.
Contoh-contoh ini hanyalah sedikit dari sekian banyak industri yang berbagi pengalaman serupa.
Dari Mana Ide ini Berasal?
Sebagian besar, Glass Ceiling di Indonesia berasal dari ide bahwa laki-laki adalah pemimpin alami dan perempuan tidak cocok untuk peran tersebut. Banyak orang memandang laki-laki sebagai sosok yang kuat dan cakap, yang bertugas menafkahi keluarga atau bekerja, sementara perempuan dipandang lebih lemah lembut dan hanya ditugasi melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak.
Hal ini sebagian besar disebabkan oleh kuatnya budaya agama dan patriarki di banyak daerah di Indonesia yang menempatkan laki-laki pada posisi yang lebih berkuasa. Dinamika kekuasaan ini juga meluas melampaui ranah rumah tangga hingga ranah publik.
Manajer Program Girls Leadership Academy dari Yayasan Plan Indonesia, Lia Toriana, membahas pengaruh agama terhadap pemilihan sekolah OSIS lokal dalam artikel Magdalena, menyebutkan bahwa “Narasi keagamaan yang mendorong ketua OSIS laki-laki karena imamnya laki-laki masih banyak ditemukan.” (Parhani, 2021). Akibatnya, perempuan cenderung diabaikan ketika ingin mengisi peran-peran tersebut, dan mereka sendiri kurang percaya diri dan berkeinginan untuk meraih posisi yang lebih tinggi.
Glass Ceiling di Sekolah Indonesia
Contoh ini juga menunjukkan bagaimana Glass Ceiling ini sangat menonjol di sekolah-sekolah, dimana perempuan dan anak perempuan merasa sulit untuk mengambil peran dan tanggung jawab kepemimpinan. Hal ini terutama terjadi di sekolah negeri, yang kini menjadi lebih konservatif dan sering lebih religius dibandingkan sekolah swasta (Parhani, 2021).
Meskipun banyak anak perempuan yang bergabung dalam ekstrakurikuler, sering yang memimpin mereka adalah anak laki-laki, sering kali karena keyakinan bahwa anak laki-laki adalah pemimpin yang lebih baik. Karena itu, anak perempuan sering merasa tidak memenuhi syarat dan tidak percaya diri, sehingga hambatan tersebut tetap ada.
Salah satu siswi yang mencalonkan diri sebagai ketua OSIS di sekolahnya, Zahwa Laksana, dalam artikel TelusuRI.id menyebutkan bahwa teman-temannya juga merasakan hal serupa, dengan mengatakan kepada dirinya: “Laki-laki diprioritaskan menjadi pemimpin, bagaimana perempuan bisa menjadi pemimpin juga? Apakah mereka tidak malu? Itu bukan sifat mereka. Saya sebagai perempuan tidak berani menjadi ketua OSIS selama masih ada laki-laki” (TelusuRI, 2022).
Pola pikir ini, yang dipupuk sepanjang tahun-tahun siswa bersekolah, inilah yang melanggengkan ide Glass Ceiling di tempat kerja di kemudian hari.
Menghancurkan Glass Ceiling
Namun, memperoleh peluang kepemimpinan tersebut bukanlah hal yang mustahil. Melewati hambatan-hambatan berbasis gender untuk mendapatkan posisi-posisi tersebut dalam ruang dan waktu yang belum pernah terjadi disebut dengan menghancurkan Glass Ceiling.
Ini adalah langkah pertama menuju kesetaraan gender di tempat kerja, karena hal ini mematahkan stereotip dan mengemukakan ide bahwa sesuatu dapat dilakukan dan bahwa perempuan mampu memimpin. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah melihat kemajuan dalam memecahkan hambatan, dengan meningkatnya kesadaran mengenai ketidaksetaraan dan perubahan gender di sekolah-sekolah seperti MAN 2 Kota Bandung yang memberikan contoh untuk ditiru oleh sekolah lain (TelusuRI, 2022).
Perlu juga dicatat bahwa banyak statistik sebelumnya, walaupun cukup rendah, mempunyai tren positif dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Universitas Indonesia dan data Badan Pusat Statistik (BPS), “…proporsi perempuan di Indonesia yang menduduki posisi manajer mencapai 32,26% pada tahun 2022…meningkat dari proporsi pada tahun 2015 yang hanya mencapai 22,32%” (Anugrah, 2023).
Meskipun jalan untuk mencapai kesetaraan gender masih panjang, hal ini merupakan sebuah kemajuan.
Bagaimana sobat bisa membantu?
Namun, kemajuan tidak harus dimulai dengan langkah besar dan jumlah besar; bisa dimulai dari banyak tempat, dan dengan banyak orang. Jadi, dimanapun Sobat, di sekolah, di rumah, atau di tempat kerja, berusahalah untuk mencapai posisi kepemimpinan atau promosi tersebut.
Hal yang benar-benar diperlukan untuk menghancurkan Glass Ceiling adalah percaya diri dan keyakinan pada diri sendiri, dan dengan membangun rasa kemandirian sejak dini, Sobat tidak hanya akan mampu mencapai lebih banyak, tetapi juga menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Referensi
Antara (2023) ‘Women’s leadership needed to address gender inequality: minister,’ Antara News, 25 August. https://en.antaranews.com/news/291990/womens-leadership-needed-to-address-gender-inequality-minister.
Anugrah, S. (2023) Jumlah Pemimpin Perempuan Meningkat, namun Work-Life Balance dan Gender Bias Masih jadi Kendala Capai Posisi Puncak – Universitas Indonesia. https://www.ui.ac.id/jumlah-pemimpin-perempuan-meningkat-namun-work-life-balance-dan-gender-bias-masih-jadi-kendala-capai-posisi-puncak/.
IDX. (2022) Census on Women in Executive Leadership Team in IDX200 companies. https://ibcwe.id/wp-content/uploads/2023/12/ibcw002_-_Census_on_women_in_ELTs_report_v1.4_FINAL_ENG_1.pdf.
Parhani, S. (2021) Budaya patriarkal, konservatisme agama hambat perempuan jadi ketua OSIS. https://womenlead.magdalene.co/2021/02/25/ketua-osis-perempuan-masih-sedikit/.
TelusuRI (2022) Mendobrak Stigma: Kesetaraan dalam Kepemimpinan Organisasi Sekolah – TelusuRI. https://telusuri.id/mendobrak-stigma-kesetaraan-dalam-kepemimpinan-organisasi-sekolah/.
The Jakarta Post. (2020) Indonesian female school heads: Why so few and why we need more? – Opinion – The Jakarta Post. https://www.thejakartapost.com/academia/2020/05/03/indonesian-female-school-heads-why-so-few-and-why-we-need-more.html.