6 Self-Care After Lebaran: Karena Sobat Juga Perlu Dipeluk (Secara Mental)

Self-Care After Lebaran

Lebaran telah usai. Momen yang semestinya menjadi waktu istimewa untuk berkumpul, berbagi kebahagiaan, dan mempererat silaturahmi, terkadang justru meninggalkan rasa lelah secara emosional. Bagi sebagian remaja dan orang muda, tekanan sosial seperti pertanyaan seputar pencapaian pribadi, komentar tentang penampilan, atau ekspektasi dari keluarga bisa membebani pikiran dan mental.

Dalam budaya kita, pertanyaan seperti “Kapan lulus?”, “Sudah kerja di mana?”, atau “Kapan menikah?” sering kali dianggap basa-basi, padahal bagi sebagian orang bisa menimbulkan stres dan rasa tidak percaya diri. Rasa tertekan karena membandingkan diri dengan saudara lain yang terlihat “lebih sukses” juga menjadi hal yang nyata.

Psikolog klinis dari Universitas Indonesia, Rose Mini, menyebutkan bahwa banyak orang yang menjadi malas bertemu orang lain malas bersosialisasi, atau malas untuk menanggapi pertanyaan. Tekanan sosial yang muncul saat pertemuan keluarga besar bisa memunculkan kecemasan sosial (social anxiety), terutama jika seseorang merasa tidak mampu memenuhi ekspektasi sosial tersebut (CNN Indonesia, 2015).

Baca juga artikel tentang Mengenal Eco-Anxiety, Masalah Kesehatan Mental Akibat Krisis Iklim yang Mendera Orang Muda: https://healtheroes.id/mengenal-eco-anxiety/ 

Setelah semua keseruan (dan keribetan) lebaran selesai, balik ke rutinitas bisa terasa berat. Rasanya seperti disuruh lari maraton padahal baru aja duduk santai. Untuk itu, penting bagi kita untuk memberi ruang pemulihan pasca lebaran, agar transisi dari suasana lebaran ke hari-hari biasa ini nggak bikin stress atau kehilangan semangat serta kesehatan mental tetap terjaga. 

Momen setelah lebaran juga bisa jadi waktu yang tepat untuk refleksi diri. Kita bisa mengevaluasi kembali resolusi yang sempat dibuat, meninjau ulang tujuan hidup, atau sekadar menyadari hal-hal kecil yang selama ini terlewatkan. Refleksi ini bisa membantu kita menyusun ulang prioritas dengan lebih tenang dan jernih, sehingga langkah ke depan terasa lebih terarah dan bermakna.

Berikut adalah tujuh cara yang bisa kamu lakukan untuk kembali menyeimbangkan emosi dan pikiran berdasarkan tahapan dalam The Stages of Change (Transtheroritical Model).

Six Stages of Changes
6 Tahapan dalam Stages of Changes (Transtheoritical Model)

https://tnchildren.org/wp-content/uploads/2014/11/Stages-of-Change.pdf

1. Sadari Ekspektasi dan Terima Rasa Lelah (Pre-Contemplation)

Usai perayaan lebaran, coba luangkan waktu untuk mengevaluasi beban ekspektasi yang mungkin muncul baik dari diri sendiri maupun dari orang lain. Sering kali, tanpa disadari kita ingin terlihat “baik-baik saja” di hadapan keluarga besar. Merasa harus menceritakan pencapaian atau menyembunyikan kegagalan bisa jadi tekanan tersendiri.

Padahal, tidak ada yang salah jika kamu belum bisa memenuhi ekspektasi mereka. Hidup bukan perlombaan. Nilai dirimu tidak ditentukan oleh validasi dari luar. Seperti kata Brené Brown, “Let go of who you think you’re supposed to be; embrace who you are.” Menerima kenyataan dengan jujur dan memaafkan diri sendiri adalah langkah awal penyembuhan.

Setelah menyadari tekanan yang ada, penting juga untuk menetapkan kembali batasan pribadi. Kita sering terbiasa menyenangkan orang lain, bahkan sampai mengorbankan kenyamanan diri sendiri. Tapi kamu berhak menjaga jarak dari situasi atau orang yang membuatmu tidak nyaman. Menolak ajakan atau obrolan yang menguras energi bukan berarti kamu tidak sopan itu justru bentuk penghargaan terhadap diri sendiri. Seperti kata Dr. Nedra Glover Tawwab, “Boundaries are the distance at which I can love you and me simultaneously.”

Dan yang nggak kalah penting: kamu nggak harus langsung jadi produktif lagi setelah liburan. Wajar banget kalau semangat belum balik 100%. Setelah hari-hari penuh aktivitas, silaturahmi, dan interaksi sosial yang intens, merasa capek secara fisik dan emosional itu manusiawi.

Mulailah kembali secara perlahan. Nggak perlu langsung ngegas. Cukup lakukan hal kecil dulu, seperti beberes kamar, journaling, atau cukup bangun lebih pagi. Proses pemulihan nggak bisa dipaksakan dan kamu berhak menikmati jeda.

2. Respon Ulang dengan Perspektif Baru (Contemplation)

Saat emosi sudah lebih stabil, kamu bisa meninjau ulang kembali momen-momen yang sempat mengusik. Terkadang, komentar dari orang lain tidak dimaksudkan untuk menyakiti, tetapi karena kurangnya sensitivitas. Kamu bisa mencoba melihat situasi dari kacamata yang lebih positif bahwa mereka mungkin hanya ingin terlibat, meskipun caranya tidak tepat.

Dengan melatih empati dan keterampilan komunikasi, kamu bisa merespons situasi serupa di masa depan dengan lebih bijak. Ini adalah kesempatan untuk belajar mengelola emosi, mengembangkan kesabaran, dan membangun ketahanan mental.

3. Ambil Waktu untuk Pulih (Preparation)

Setelah intensitas sosial yang tinggi, sangat wajar jika kamu merasa kelelahan. Otak dan hati kita butuh waktu untuk memproses banyak interaksi, terutama jika mengandung tekanan emosional. Oleh karena itu, berikan dirimu waktu untuk pulih secara utuh.

Kegiatan sederhana seperti liburan, berjalan santai di alam terbuka, journaling untuk mencurahkan isi hati, meditasi, mendengarkan musik favorit, atau sekadar rebahan sambil membaca buku bisa menjadi bentuk self-care yang efektif. Hal-hal kecil itu bisa membantu kita merasa lebih stabil. 

Pemulihan ini juga bisa menjadi momen penting untuk mengenali kembali kebutuhan diri sendiri. Setelah sibuk memenuhi ekspektasi sosial saat lebaran, ini saatnya mendengarkan tubuh dan emosi kita apa yang sedang dibutuhkan entah istirahat, rasa aman, atau hanya waktu untuk diam?. Memberi ruang bagi diri sendiri untuk jujur terhadap kebutuhan ini adalah langkah awal menuju keseimbangan.

Penelitian dari Harvard Medical School menunjukkan bahwa istirahat yang cukup dan aktivitas menenangkan dapat menurunkan kadar kortisol hormon stres dalam tubuh (Harvard Health, 2024). Jadi, jangan merasa bersalah jika kamu butuh waktu untuk sendiri. Itu adalah bagian dari proses penyembuhan mental.

4. Normalisasi Penolakan dengan Sopan (Action)

Kamu tidak harus menerima semua ajakan hanya karena takut dianggap tidak ramah. Menolak dengan sopan adalah keterampilan penting yang perlu diasah, terutama jika kamu merasa terlalu lelah secara mental. Gunakan alasan yang jujur seperti, “Aku sedang butuh waktu istirahat, mungkin kita bisa ngobrol di lain waktu ya.”

Menjaga kesehatan mental sering kali berarti memprioritaskan kebutuhan diri sendiri tanpa merasa bersalah. Jangan khawatir, orang-orang yang benar-benar peduli padamu akan memahami dan menghormati batasan tersebut.

5. Mengobrol untuk Membagun Kembali Dukungan Sosial (Action)

Jika kamu merasa masih terbawa suasana negatif setelah lebaran, jangan simpan semuanya sendiri. Coba ceritakan perasaanmu kepada teman dekat, sahabat, atau orang yang kamu percaya. Berbicara bisa menjadi bentuk terapi yang sangat ampuh.

Menurut American Psychological Association (APA), memiliki support system yang kuat dapat mengurangi risiko depresi, meningkatkan daya tahan mental, dan membuat seseorang lebih cepat pulih dari tekanan emosional. Jika tidak nyaman berbicara langsung, kamu juga bisa menuliskannya, bergabung dalam forum daring, atau mengikuti komunitas yang punya pengalaman serupa.

6. Praktikkan Mindfulness untuk Menyeimbangkan Diri (Maintenance – Relapse Awareness)

Mindfulness atau kesadaran penuh adalah praktik yang mengajak kita untuk fokus pada momen saat ini, tanpa menghakimi atau menilai. Teknik ini telah terbukti secara ilmiah dapat mengurangi kecemasan, meningkatkan konsentrasi, dan memperbaiki kualitas hidup secara keseluruhan.

Kamu bisa memulainya dengan latihan pernapasan sederhana, meditasi singkat setiap pagi, atau melatih kesadaran saat makan, berjalan, atau melakukan aktivitas sehari-hari. Studi dari Journal of Clinical Psychology (2019) menunjukkan bahwa mindfulness mampu menurunkan stres dan memperbaiki regulasi emosi pada orang yang mengalami tekanan sosial.

Jangan buru-buru merasa harus “baik-baik saja”. Pulih secara emosional butuh proses, dan itu adalah hal yang normal. Beri dirimu izin untuk merasakan, memproses, dan menyembuhkan.

Merawat Diri Setelah Lebaran Merupakan Bagian Dari Self-Care

Pasca lebaran adalah waktu yang tepat untuk memulihkan diri, merenung, dan menata kembali keseimbangan hidup. Menjaga kesehatan mental setelah melalui momen yang intens secara sosial adalah bagian penting dari proses pertumbuhan diri. Dengan menerapkan tips-tips di atas, kamu bisa menghadapi hari-hari setelah lebaran dengan lebih tenang, lebih sadar diri, dan lebih siap menjalani tantangan hidup berikutnya.

Ingatlah bahwa kamu tidak perlu membandingkan dirimu dengan orang lain. Everyone has their own steps. Merawat kesehatan mental bukan berarti kamu lemah, justru itu adalah bentuk kekuatan dan cinta paling tulus terhadap dirimu sendiri.

Menurut sobat, gimana sih versi self-care kalian setelah lebaran? Yuk sharing di kolom komentar! Siapa tahu bisa saling menguatkan dan menginspirasi.

 

Penulis: Tri Pinesty

Referensi:

American Psychological Association. (2019). The importance of social support.

CNN Indonesia “Dampak Psikologis Pertanyaan ‘Kapan Kawin’ Ketika Lebaran”

Harvard Health Publishing. (2024). Relaxation techniques: Breath control helps quell errant stress response

Journal of Clinical Psychology. (2019). Effectiveness of Mindfulness Interventions on Psychological Wellbeing.

Facebook
X
Threads
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Event Kami

Ruang Kata 4

Artikel Populer

Artikel Terkait

Translate »