Sobat sadar enggak? Saat keluar rumah, cuaca terasa lebih panas dan menyengat. Sungai yang beberapa tahun lalu jernih sekarang dipenuhi sampah. Demikian juga, udara semakin sesak dengan polusi. Belum lagi berita-berita bencana alam dan gagal panen yang muncul semakin sering. Tahukah Sobat? Kalau hal ini bukan sekadar kebetulan, melainkan tanda-tanda krisis iklim yang perlu kita waspadai bersama.
Sebagai orang muda, mungkin Sobat berpikir kalau gejala-gejala krisis iklim seperti di atas terlalu besar untuk dipikirkan dan diatasi. Tapi tahukah Sobat? Kalau remaja dan anak-anak menjadi salah satu kelompok yang rentan terdampak oleh krisis iklim. Karena itu sangat penting bagi Sobat Remaja untuk menaruh perhatian pada isu ini dan turut serta berkontribusi mengurangi dampaknya.
Lantas, situasi kerentanan apa saja yang mungkin akan dialami oleh remaja dan anak-anak sebagai dampak dari krisis iklim? Lebih lanjut, apa yang bisa Sobat Remaja kontribusikan untuk membantu mengurangi dampaknya?
Orang Muda Sebagai Kelompok Rentan Terdampak Krisis Iklim
Krisis iklim tidak menyerang semua orang secara setara. Ada beberapa kelompok tertentu yang harus mengalami dampak berlapis akibat krisis iklim, tidak terkecuali remaja dan anak-anak. Dampak seperti apa saja yang dimaksud?
1. Kesehatan yang Lebih Rentan
Karena masih dalam usia berkembang, remaja dan anak-anak lebih rentan mengalami masalah kesehatan akibat krisis iklim. Menurut salah satu penelitian yang diterbitkan oleh Journal of Global Health, tanda-tanda perubahan iklim seperti polusi udara, polusi air, dan gelombang panas punya keterkaitan erat dengan penyakit pernafasan dan gangguan pencernaan.
Selain itu, remaja dan anak-anak juga rentan mengalami malnutrisi dan kehilangan hak atas gizi yang mereka butuhkan untuk bertumbuh dan berkembang. Belum lagi, masalah kesehatan mental seperti stres pascatrauma kecemasan, dan depresi akibat ketakutan akan kondisi masa depan.
2. Hilangnya Pendidikan
Bencana alam yang ditimbulkan oleh krisis iklim pada taraf tertentu bisa berdampak pada rusaknya infrastruktur sekolah. Menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI, sebagaimana yang diberitakan oleh Detik, sebanyak 15.358 sekolah rusak akibat bencana alam selama 15 tahun terakhir.
Selain itu, ratusan ribu sekolah lainnya juga beresiko rusak karena ancaman efek krisis iklim, seperti banjir (200 ribu sekolah), tanah longsor (49 ribu sekolah), dan banjir bandang (17 ribu sekolah). Apabila hanya melihat angka, jumlah ini mungkin tidak seberapa. Tapi jika dibiarkan, ini sama saja dengan penghilangan hak dasar anak-anak dan remaja atas pendidikan.
3. Ketidakstabilan Ekonomi
Krisis iklim juga dapat memicu krisis ekonomi. Dampak ini utamanya terjadi pada keluarga yang bergantung pada sektor pertanian dan perikanan. Ketika hasil panen gagal atau produksi menurun karena perubahan pola musim dan cuaca, anak-anak dan remaja dari keluarga tersebut sangat mungkin harus mencari pekerjaan tambahan dan menghadapi tekanan ekonomi.
Menurut Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada, masyarakat umum juga akan ikut merasakan dampaknya, yakni berupa inflasi pangan. Ketika produktivitas pangan menurun dan tidak pasti, harga komoditas kebutuhan pokok juga ikut naik. Anak-anak dan remaja yang hidup bersama keluarga miskin akan menjadi yang paling pertama merasakan dampaknya.
4. Kehilangan Tempat Tinggal dan Ruang Bermain dan Interaksi Sosial
Naiknya permukaan air laut, kekeringan berkepanjangan, atau bencana alam akibat krisis iklim bisa memaksa keluarga berpindah tempat tinggal. Migrasi paksa ini sering kali mengakibatkan anak-anak dan remaja kehilangan rumah, sekolah, dan komunitas sosial yang tentu saja penting bagi perkembangan mereka.
Badan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) melaporkan bahwa bencana alam telah membuat 32,6 orang di seluruh dunia meninggalkan rumahnya. Sebanyak 98% di antaranya disebabkan karena bencana alam yang erat kaitannya dengan krisis iklim, seperti banjir, badai, kekeringan, dan kebakaran hutan.
Perubahan kondisi secara mendadak seperti ini tentu saja mengurangi kesempatan anak-anak dan remaja untuk berinteraksi, bermain, belajar, dan hidup di lingkungan yang sehat secara fisik dan mental.
5. Risiko Kekerasan dan Eksploitasi
Ketidakstabilan ekonomi dan hilangnya pendidikan akan melahirkan lingkungan yang tidak sehat secara fisik dan mental. Di tengah tekanan hidup yang tinggi, anak-anak dan remaja berisiko menjadi korban eksploitasi dan kekerasan. Hal ini terutama terjadi di daerah-daerah dengan kemiskinan ekstrem akibat krisis lingkungan.
Menurut publikasi yang diterbitkan oleh Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNFPA), dampak-dampak krisis iklim seperti kelangkaan air memaksa anak-anak melakukan perjalanan jauh dan menanggung beban domestik. Selain itu, karena gagal panen akibat perubahan cuaca, remaja juga dipaksa terlibat perkawinan anak demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Peran Sobat Remaja: Mulai dengan Pola Konsumsi yang Ramah Lingkungan
Kendati dampak krisis iklim terasa begitu besar, Sobat Remaja tetap harus mengambil peran untuk memperjuangkan keadilan iklim. Hal ini tentu saja bisa dimulai dengan langkah kecil, yakni mengurangi pola-pola konsumsi yang selama ini tanpa disadari berkontribusi memicu krisis iklim, lalu beralih ke kebiasaan baru yang lebih ramah lingkungan. Apa saja contohnya?
1. Stop Tergiur Tren dan Mengurangi Konsumsi Fast Fashion
Sobat pasti pernah kan membeli pakaian yang sedang populer karena harga yang murah? Produk semacam ini disebut sebagai fast fashion, yakni pakaian yang mengikuti tren cepat. Bukan cuma ada di mall, produk fast fashion juga dapat dengan mudah dijumpai dalam genggaman lewat toko belanja daring.
Nah, tahukah Sobat? Kalau fast fashion menyimpan sisi gelap terkait pencemaran lingkungan. Pasalnya industri fast fashion gemar menggunakan bahan sintetis seperti poliester yang mengandung plastik. Bahan ini memang lebih murah, namun sulit terurai dan menimbulkan penumpukan sampah plastik. Pembuatannya pun juga menggunakan bahan bakar fosil sehingga mencemari udara dan air.
Karena itu, sangat penting bagi Sobat untuk mengurangi konsumsi fast fashion dan berhenti mengikuti tren mode yang begitu cepat. Sobat bisa mulai belajar untuk lebih bijak di dalam berbelanja pakaian, yakni dengan mengutamakan kebutuhan alih-alih hanya tren tertentu. Selain itu, Sobat juga bisa menjual dan menyumbangkan pakaian ketika sudah tidak bisa lagi dipakai, ketimbang membuangnya.
2. Hemat Listrik, Jalan Kaki, dan Kurangi Screen Time Demi Tekan Jejak Karbon
Sadarkah Sobat? Kalau beberapa aktivitas konsumsi yang Sobat lakukan meninggalkan banyak jejak karbon. Dimulai dari scrolling media sosial, menyalakan AC dan lampu terlalu lama, atau terlalu sering menggunakan kendaraan bermotor dan malas jalan kaki. Semua kegiatan ini memakan energi yang besar dan menghasilkan emisi CO2.
Supaya tidak turut menjadi pelaku penumpukan emisi, Sobat bisa memulai inisiatif-inisiatif baru yang lebih ramah lingkungan. Misalnya menetapkan jadwal mematikan lampu dan AC, memulai kebiasaan jalan kaki atau menggunakan transportasi umum, dan memulai aktivitas digital yang lebih sehat.
3. Stop Membeli Produk Berlabel Greenwashing dan Tinggalkan Pemakaian Plastik
Pernahkah Sobat menemukan produk pakaian, aksesoris, dan kebutuhan sehari-hari berlabel ramah lingkungan? Tahukah Sobat? Kalau label tersebut seringkali hanyalah bagian dari strategi pemasaran agar konsumen tertarik membelinya.
Bahkan, produk semacam ini tidak benar-benar ramah lingkungan lho! Misalnya skin-care berlabel eco-friendly tidak jarang masih menggunakan kemasan berbahan dasar plastik yang sulit didaur ulang dan proses produksinya meninggalkan banyak emisi.
Ketimbang menghabiskan uang untuk membeli produk-produk dengan label hijau yang belum tentu ramah lingkungan, Sobat lebih baik melakukan kebiasaan-kebiasaan kecil tapi punya arti yang besar, seperti membawa tempat minum pribadi, menggunakan peralatan makan sendiri, maupun membawa tas belanja sebagai pengganti kemasan plastik sekali pakai.
4. Hemat Makanan dan Air demi Bumi yang Lebih Dingin
Tahukah Sobat? Kalau terlalu banyak membuang makanan dan air juga mendorong krisis iklim. Makanan yang terbuang dan membusuk di tempat pembuangan sampah akan menghasilkan gas metana yang memerangkap panas di atmosfer.
Demikian juga air yang terbuang. Memproses, memompa, dan mendistribusikan air memerlukan listrik yang sering kali berasal dari bahan bakar fosil. Dengan kata lain, membuang-buang air berarti sama saja membiarkan penumpukan emisi karbon.
Untuk memperbaikinya, tentu saja Sobat bisa mulai belajar untuk menghemat air dan makanan. Hal ini bisa dilakukan lewat langkah-langkah kecil, seperti mematikan keran saat tidak digunakan, menggunakan air bekas cucian atau memasak untuk menyiram tanaman, menyimpan makanan dengan baik agar tidak cepat basi, dan ambil makanan sesuai porsi lalu dihabiskan.
5. Menyuarakan Isu Lingkungan dan Mengikuti Gerakan Keadilan Iklim
Di samping memperbaiki pola konsumsi yang lebih ramah lingkungan, Sobat juga bisa mengambil peran yang lebih aktif dalam menyuarakan keadilan iklim. Dimulai dengan berbicara tentang isu lingkungan di media sosial atau bergabung dengan komunitas peduli lingkungan.
Selain itu, Sobat juga bisa mengajak teman sebaya melakukan tips-tips kecil yang telah dijelaskan di atas, atau berpartisipasi di dalam berbagai gerakan perlawanan krisis iklim, seperti gerakan penanaman pohon atau gerakan nol sampah.
Krisis iklim bukan hanya tanggungjawab orang dewasa atau mereka yang memiliki kekuasaan, melainkan semua orang termasuk juga orang muda sendiri. Dimulai dengan mengubah kebiasaan sehari-hari dan berani bersuara, remaja tidak harus selalu menjadi subjek yang rentan di tengah ancaman krisis iklim, tetapi juga menjadi agen perubahan dalam memperjuangkan keadilan iklim. Masa depan bumi ada di tangan kita semua.
Penulis: Nobertus Mario Baskoro