Di zaman sekarang masyarakat menjadi lebih aware dengan isu kesehatan mental. Di saat yang sama, kesehatan mental juga dijadikan kambing hitam atas segala hambatan dalam hidup. Satu hal yang pasti, kesehatan mental merupakan bagian penting dari kesehatan seorang individu.
Kesehatan mental dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, salah satunya diawali oleh penumpukan stres. Stres bukanlah gangguan kesehatan mental, tetapi stres yang menumpuk dapat memicu terjadinya gangguan mental seperti gangguan kecemasan maupun depresi (Mind, 2022). Siapa kalangan yang mengaku sering mengalami stres? Salah satunya mahasiswa.
Beban akademik dan kehidupan sosial turut menjadi penyebab stres bermunculan. Mahasiswa baru mengalami tekanan dimana pada usia tersebut mereka perlu beradaptasi dengan kehidupan perkuliahan. Mahasiswa tahun kedua dan ketiga sibuk dengan kegiatan organisasinya. Mahasiswa tingkat akhir dengan kesibukan skripsinya. Faktor dukungan keluarga maupun ekonomi ikut andil menjadi beban pikiran para mahasiswa. Kemunculan stres pada mahasiswa tidak dapat dihindarkan.
Mahasiswa memiliki caranya masing-masing dalam menghadapi atau mengalihkan perhatiannya dari stres. Ada yang berolahraga, bermain game, menonton konser, menjadi penggemar idola, dan lain-lain. Salah satu cara yang paling umum dilakukan adalah mengonsumsi makanan manis seperti coklat, dessert, es krim, dan lain-lain. Tidak hanya makanan manis, ada juga yang memilih untuk makanan tinggi garam dan tinggi kalori seperti seblak. Makanan yang dikonsumsi ini disebut dengan comfort food.
Comfort food merupakan makanan yang ketika dikonsumsi memberikan kenyamanan psikologis, khususnya emosional. Comfort foodpada umumnya mengandung tinggi kalori. Makanan ini biasanya merupakan makanan favorit saat masa kecil atau memiliki hubungan dengan tempat dan waktu spesifik dari individu itu sendiri (Spence, 2017).
Konsumsi comfort food ini memang dapat menjadi pengalihan ketika seorang individu mengalami stres maupun perasaan negatif, tetapi perilaku ini tidak boleh dibiarkan untuk terus dilakukan. Perilaku makan ini perlu diatur karena jika dibiarkan saja dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya obesitas. Ketika sudah mengalami obesitas maka kesehatan mental individu dapat terpengaruh dan risiko terjadinya penyakit tidak menular meningkat.
Penelitian Miliandani and Meilita menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat stres terhadap status gizipada mahasiswa tingkat akhir di FIKes UIA Jakarta (Miliandani and Meilita, 2021). Obesitas dapat memperparah kesehatan mental individu itu sendiri. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian Badillo dimana individu yang overweight ataupun obesitas memiliki hubungan yang positif terhadap gangguan depresi dan gejala depresi. Penelitian juga menemukan bahwa individu yang melaporkan memiliki gejala depresi lebih banyak yang memiliki status gizi overweight dan obesitas (Badillo et al., 2022).
Ketika individu mengalami obesitas, risiko munculnya penyakit tidak menular akan meningkat. Beberapa penyakit yang berhubungan dengan obesitas di antaranya adalah diabetes melitus tipe 2 (gula darah meningkat), perlemakan hati, penyakit jantung koroner, hipertensi (tekanan darah tinggi), dan kanker (Kemenkes RI, 2015).
Mengetahui risiko yang dapat terjadi ketika konsumsi comfort food secara berlebihan, berikut beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menguranginya:
1. Mengenali emosi sehingga emosi akan lebih mudah ditangani dan individu tidak akan mengalihkannya dengan mengonsumsi makanan (Kemenkes RI, 2015).
2. Melakukan kegiatan lain sesuai hobi. Kegiatan yang dilakukan tentunya tidak melibatkan konsumsi comfort food yang berlebihan. Contoh kegiatan yang dapat dilakukan adalah menonton film, membaca buku, bermain badminton, membuat karya, dan lain-lain.
3. Peningkatan aktivitas fisik juga disarankan untuk memperbaiki kesehatan mental. Aktivitas fisik yang intensitas rendah yang direkomendasikan yaitu yoga dan tai chi hingga aktivitas fisik intensitas tinggi yaitu latihan aerobik, menari, kickboxing, dan latihan ketahanan (Rahmatika, 2023).
Apabila konsumsi comfort food memang sudah menjadi kebiasaan yang sulit untuk dihentikan, maka terdapat beberapa tips untuk pemilihan maupun pengolahan makanan yang dikonsumsi. Profesor Rennis dan Profesor Bravo dari Borough of Manhattan Community College (BMCC) memberikan saran dalam mengonsumsi comfort food.
“Fokus untuk memilih karbohidrat kompleks yang diproses minimal dan karbohidrat tinggi serat yang membutuhkan waktu lebih lama untuk dicerna dan mencegah fluktuasi gula darah.” – Profesor Lesley Rennis
“Makanlah serbat atau sorbet sebagai pengganti es krim; itu memberi sensasi halus yang sama pada lidah. Gantilah makanan penutup yang manis dengan manisnya buah segar dan beri. Nikmati kenikmatan coklat hitam, yang memberikan dosis antioksidan yang sehat, dibandingkan coklat susu.” – Profesor Jason Bravo
Profesor Bravo juga menyarankan untuk mengonsumsi comfort food yang dibuat sendiri sehingga kandungan gula, garam, dan lemaknya lebih rendah (BMCC, 2020). Pola makan makanan yang lebih sehat dapat mencegah terjadinya depresi dan kecemasan. Pola makan yang disarankan adalah anti-inflamasi. Contoh bahan makanan anti-inflamasi adalah buah, sayur, ikan, biji-bijian utuh, dan minyak zaitun (Li et al., 2022).
Jika teman kita sedang mengalami stres atau memiliki gangguan mental, kita dapat membantu dengan mendengarkan dan menemani mereka tanpa menghakimi. Dengan demikian, pikiran mereka akan teralihkan dengan kehadiran kita. Daripada memakan comfort food, kita dapat bersama-sama mencari kegiatan menyenangkan yang lain. Dukungan teman sebaya akan sangat membantu untuk saling mendukung memperbaiki kesehatan mental dan mencegah munculnya permasalahan kesehatan fisik.
Kesehatan mental merupakan aspek penting dalam menjaga kesehatan diri kita. Terdapat banyak cara yang dilakukan seseorang ketika mengalami stres, salah satunya dengan mengonsumsi comfort food. Kebanyakan comfort food mengandung tinggi gula dan garam sehingga konsumsinya tidak boleh dilakukan terus-menerus.
Konsumsi comfort food terus-menerus tidak hanya memiliki potensi untuk memperparah kesehatan mental tetapi juga meningkatkan risiko terjadinya obesitas. Oleh karena itu konsumsi comfort food perlu digantikan dengan kegiatan yang lain atau mengganti makanan yang dipilih dengan opsi yang lebih sehat.
Referensi:
- Badillo, N, et al. 2022. Correlation between body mass index and depression/depression-like symptoms among different genders and races’. J. of Cureus.
- BMCC. 2020. Why we crave comfort food and how to make it healthier.
- Kemenkes RI. 2015. Pedoman Umum Pengendalian Obesitas. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular.
- Li, X, et al. 2022. Dietary inflammatory potential and the incidence of depression and anxiety: a meta-analysis’. J. of Health, Population and Nutrition 41(1): 24.
- Miliandani, D. and Meilita, Z. 2021. Hubungan antara tingkat stres dengan status gizi Mahasiswa Tingkat Akhir di Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta Timur Tahun 2021.
- Mind. 2022. What is stress?
- Rahmatika, Q.T. 2023. Intervensi aktivitas fisik terhadap kesehatan mental remaja: literatur review. 9(1).
- Spence, C. 2017. Comfort food: a review. J. of International Journal of Gastronomy and Food Science. 9: 105-109.