Budaya Gemar Makan Ayam Di Kalangan Mahasiswa

makan ayam

Menjalani hidup sebagai mahasiswa, realita mengenai pola hidup sehat semakin mengkhawatirkan. Di samping banyaknya tugas dan kurangnya waktu tidur, pemilihan menu makan harian menjadi salah satu hal yang sering menimbulkan masalah kesehatan seperti maag. Selain itu, perubahan berat badan secara signifikan entah itu mengalami peningkatan atau penurunan juga dirasakan oleh kebanyakan mahasiswa yang tentunya juga berkaitan dengan pola konsumsi harian.

Sebagai salah satu sumber protein hewani yang cukup populer dikonsumsi, olahan ayam merupakan makanan wajib yang selalu ada dalam pilihan menu mahasiswa. Tidak hanya mahasiswa, daging ayam pada umumnya menjadi konsumsi favorit masyarakat Indonesia sehingga tidak heran rata-rata konsumsi daging ayam pada 2021 mencapai 0,14 kilogram per kapita per minggu yang mana angka tersebut lebih tinggi dibanding konsumsi daging merah. Entah itu ayam geprek, ayam bakar, ayam goreng, steak ayam, dan jenis olahan ayam lainnya seperti nugget ayam yang termasuk dalam ultra-processed food selalu menjadi opsi saat bingung hendak makan apa?. Selain mudah ditemui dan harganya relatif terjangkau, pengolahannya pun cenderung cepat dan praktis mengikuti prinsip keinstanan yang disukai mahasiswa pada umumnya.

Walaupun praktis dan harganya terjangkau, konsumsi ayam dalam jumlah berlebih berkontribusi terhadap peningkatan LDL atau yang lebih dikenal dengan kolesterol jahat. Sama halnya seperti konsumsi daging merah, apabila dikonsumsi berlebihan akan menyebabkan penumpukan kolesterol darah membuat plak pada pembuluh darah yang mengarah pada kondisi aterosklerosis.

Selain itu, penggunaan antibiotik yang tidak sesuai regulasi menyebabkan tingginya residu antibiotik pada daging ayam mentah sehingga dapat menyebabkan reaksi alergi, ketidakseimbangan gut microbiota, dan resistensi terhadap antibiotik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Widhi dan Saputra (2021), residu antibiotik seperti tetrasiklin yang ditemukan pada daging ayam broiler cenderung rendah yaitu 7,14% dan masih aman dikonsumsi hanya saja apabila jumlah residu antibiotik sedikit tersebut terakumulasi dalam tubuh maka dapat menyebabkan masalah kesehatan. Apalagi bila orang yang bersangkutan jarang melakukan olahraga atau aktivitas fisik lainnya, konsumsi daging ayam berlebih dalam jangka panjang akan menyebabkan obesitas. Hal ini dapat memperparah tingkat obesitas di Indonesia yang meningkat pesat selama beberapa dekade terakhir.

Di tangan produsen, produk ayam yang dijual dapat dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama, yaitu daging ayam segar yang dijual di pasar atau supermarket. Daging ayam segar belum mengalami pengolahan atau hanya didinginkan di freezer. Kategori keduayaitu daging ayam olahan yang diawetkan dengan berbagai metode pengawetan. Preservasi daging olahan dengan senyawa kimia yang berlebih misalnya dengan nitrat dapat menyebabkan disfungsi sel endotel, resistensi insulin, dan inflamasi sitokin. Sedangkan, di tangan konsumen, metode pengolahan daging ayam dapat membentuk senyawa kimia tertentu yang berdampak negatif terhadap kesehatan. Contohnya, daging ayam yang dimasak dengan suhu tinggi akan memiliki Advanced Glycation End products atau AGEs yang lebih tinggi dan dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus tipe 2 (Connolly et al., 2022).

Mengikuti kegemaran mengkonsumsi ayam yang menjamur di kalangan mahasiswa, restoran cepat saji, kantin-kantin fakultas bahkan kebanyakan warung makan selalu menyediakan menu ayam dengan berbagai olahan dan variasi paket yang ditawarkan. Hanya saja, higienitas dalam penyajian hidangan berbasis ayam tersebut masih jauh dari kata aman. Rendahnya sanitasi dan higienitas pangan dalam skala industri maupun rumah tangga dapat terlihat dari angka kasus keracunan dan foodborne disease yang masih tinggi di Indonesia.

Ditinjau dari aspek mikrobiologis, daging ayam mentah memiliki aktivitas air yang cukup tinggi dengan kandungan nutrisi yang sangat memadai untuk tumbuhnya mikrobia pathogen maupun pembusuk sehingga dalam proses produksi, distribusi, maupun pengolahan sebelum konsumsi rentan mengalami kontaminasi silang. Beberapa bakteri pathogen yang sering ditemui pada ayam yaitu Salmonella, Campylobacter, dan Aeromonas sp.

Selama pengeluaran isi dan pembersihan karkas bahkan saat disimpan di refrigerator, masih memungkinkan terdapat peningkatan jumlah bakteri seperti bakteri psikrofilik, Pseudomonas, E.coli, lactic acid bacteria, Shewanella, dan Brochotrix thermosphacta dapat terjadi. Apalagi, penyediaan stock bahan baku oleh produsen dalam jumlah besar seringkali tidak memperhatikan parameter suhu dan lama penyimpanan sehingga apabila dienumerasi, jumlah mikrobia akan meningkat berkali lipat dari jumlah mikrobia awal saat pengolahan (Rouger et al., 2017).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Widhi dan Saputra (2021) pada salah satu pasar di Kota Purwokerto, ditemukan cemaran bakteri E.coli pada daging ayam broiler segar yang mana E.coli tersebut berbahaya bagi kesehatan karena menghasilkan toksin. Pada menu ayam goreng yang disajikan pun tidak lepas dari potensi kontaminasi mikrobiologis seperti S.aureus yang ditemukan jumlahnya melebihi ambang batas yang ditetapkan SNI yaitu >10² CFU/g ditemukan di sekitar universitas di Kota Medan. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya panas saat penggorengan maupun kontaminasi setelah penggorengan yang ditimbulkan dari udara maupun tempat display pada warung makan yang tidak dijaga kebersihannya. Proses termal dapat membatasi kontaminasi stafilokokus namun tidak dapat menghilangkan racun yang sudah terbentuk sebelumnya yang dikenal dengan Staph Food Poisoning (Rahayu et al., 2023).

Ada teman saya yang pernah membagikan pengalamannya ketika hendak meneliti minyak jelantah dari warung ayam geprek dekat rumahnya. Ia bertanya kepada pemilik warung apakah ia boleh membeli minyak jelantah yang tersisa untuk kepentingan tugas kuliah. Namun, yang mengejutkan adalah pemilik warung menjawab bahwa tidak dihasilkan minyak jelantah dalam usahanya. Menurutnya, minyak goreng bekas pakai masih bisa disaring pengotor-pengotor bekas gorengan ayam sebelumnya lalu dijernihkan ulang dengan tepung terigu sehingga dapat dipakai kembali dalam jangka waktu yang tidak terbatas.

Walaupun secara fisik minyak tersebut kembali jernih, senyawa kimia berbahaya yang terkandung dalam minyak tersebut meningkat dan termodifikasi karena mengalami reaksi hidrolisis, oksidasi, polimerisasi, dan lain sebagainya. Berdasarkan praktikum evaluasi gizi dan pengolahan pangan yang saya dapatkan di perkuliahan, terdapat evaluasi mutu dan perbandingan kualitas antara minyak jelantah dan minyak baru yang mana dapat ditinjau dari berbagai parameter seperti angka iod, angka peroksida, dan angka asam lemak bebas untuk sampel minyak bekas penggorengan ayam.

Pertama, angka iod. Penurunan angka iod yang mewakili derajat ketidakjenuhan minyak menunjukkan penurunan mutu minyak. Minyak jelantah sudah benar berada pada posisi terakhir karena mengalami pemanasan dan paparan oksigen yang ekstrem akibat penggunaan minyak berkali-kali yang berdampak pada banyaknya ikatan rangkap yang putus sehingga jumlah iod yang mengadisi juga sedikit dan menyebabkan turunnya tingkat ketidakjenuhan minyak tersebut.

Kedua, angka peroksida sebagai derajat kerusakan minyak. Tingginya angka peroksida pada minyak jelantah bekas menggoreng ayam mengindikasikan minyak telah mengalami pemanasan dan paparan oksigen yang ekstrem akibat penggunaan minyak berkali-kali yang membuat konsentrasi peroksida dan hidroperoksidanya menjadi lebih banyak dari minyak baru. Berdasarkan pustaka, angka peroksida minyak jelantah bekas ayam adalah 5,99-18,465 mekO2/kg (Sinurat dan Silaban, 2021). Angka peroksida untuk minyak baru adalah sebesar 0,973 mek O2/kg (Tarigan dan Simatupang, 2019) yang mana apabila dibandingkan dengan minyak jelantah bekas ayam, terdapat kenaikan angka peroksida sekitar 5 hingga 18 kali lipat walaupun minyak tersebut sudah disaring zat-zat pengotornya dan diberi tepung terigu supaya jernih kembali.

Ketiga, angka asam lemak bebas. Dari percobaan yang saya lakukan, ditemukan kadar asam lemak bebas dalam jumlah tinggi yakni lebih dari 0,3% melebihi batas yang ditetapkan SNI untuk minyak yang dipakai untuk menggoreng ayam dari warung makan sekitar salah satu universitas di Kota Yogyakarta mengindikasikan tingginya kadar kolesterol dalam minyak yang dapat menyebabkan plak pada arteri darah. Dari tiga parameter tersebut, ditarik kesimpulan bahwa sampel minyak yang diambil dari beberapa warung makan yang diteliti menunjukkan buruknya kualitas minyak yang digunakan untuk menggoreng ayam. Banyaknya radikal bebas yang terkandung dalam minyak jelantah dapat meningkatkan risiko kanker dan penyakit degeneratif. Peningkatan asam lemak trans yang berbahaya bagi kesehatan juga dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan menyebabkan obesitas. Padahal, setiap hari warung makan tersebut selalu dipenuhi dengan mahasiswa dengan pesanan ayam yang cukup banyak. Bayangkan saja, mahasiswa yang mengkonsumsi ayam yang digoreng dengan minyak jelantah beberapa kali dalam seminggu sangat rentan mengalami berbagai masalah kesehatan.

Meninjau dari aspek mutu minyak yang digunakan untuk menggoreng juga aspek mikrobiologis yang masih kurang dari food handler maupun dari produsen, mahasiswa diharapkan dapat lebih bijak dalam mengolah daging ayam segar maupun dalam menentukan variasi konsumsi harian mereka. Walaupun daging ayam sebagai sumber protein hewani yang baik, konsumsi yang berlebihan dapat mengarah pada masalah kesehatan apalagi jika pengolahannya menggunakan minyak jelantah. Sebagai acuan, pola konsumsi harian dapat mengacu pada pedoman isi piringku supaya mahasiswa mendapatkan nutrisi yang seimbang mencakup karbohidrat, protein, lemak, serat, vitamin, dan mineral.

Daftar Pustaka: 

Connolly, G., Clark, C. M., Campbell, R. E., Byers, A. W., Reed, J. B., & Campbell, W. W.(2022). Poultry Consumption and Human Health: How Much Is Really Known? A Systematically Searched Scoping Review and Research Perspective. Advances in nutrition (Bethesda, Md.), 13(6), 2115–2124. https://doi.org/10.1093/advances/nmac074 . 

Rahayu, Y. P. ., Mambang, D. E. P., Nasution, H. M., & Ramadani, A. (2023). Detection of Staphylococcus aureus contamination in local crispy chicken around one of the universities of Medan city. Journal of Pharmaceutical and Sciences, 6(3), 1356–1362. https://doi.org/10.36490/journal-jps.com.v6i3.222 . 

Rouger, A., Tresse, O., & Zagorec, M. (2017). Bacterial Contaminants of Poultry Meat: Sources, Species, and Dynamics. Microorganisms, 5(3), 50.

https://doi.org/10.3390/microorganisms5030050.

Sinurat, D.I., & Silaban, R. (2021). Analysis of The Quality of Used Cooking Oil Used In Frying Chicken. Indonesian Journal of Chemical Science and Technology, 4(1), 21-28. e-ISSN : 2622-4968, p-ISSN : 2622-1349. 

Tarigan, J., & Simatupang, D.F. (2019). Uji Kualitas Minyak Goreng Bekas Pakai dengan Penentuan Bilangan Asam, Bilangan Peroksida, dan Kadar Air. Conference: Ready Star – Regional Development Industry & Health Science, Technologi And Art Of Life, 2(1), 6-10. 

Widhi, A. P. K. N., dan Saputra, I.N.Y (2021). Residu Antibiotik Serta Keberadaan Escherichia Coli Penghasil ESBL pada Daging Ayam Broiler di Pasar Kota Purwokerto. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 20(2), 137-142.

https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jkli/article/view/34626/20178 

Facebook
X
Threads
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Event Kami

Ruang Kata 4

Artikel Populer

Artikel Terkait

Translate »