Peringatan: Tulisan ini mungkin dapat memicu pengalaman traumatik. Segera cari dukungan jika Sobat atau orang terdekat sedang berupaya pulih dari kekerasan.
Kekerasan Dalam Pacaran sangat dekat dengan kehidupan remaja. Namun, karena tidak tersentuh secara langsung oleh perlindungan negara, hubungan konsensual non pernikahan seperti ini rentan menjadi ruang terjadinya berbagai bentuk kekerasan. Sayangnya, belum semua remaja mampu untuk menghadapi risiko Kekerasan Dalam Pacaran (KDP).
Sebuah penelitian yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (2014) misalnya, menemukan bahwa kelompok remaja secara umum memiliki pengetahuan yang minim tentang kekerasan, tidak terkecuali Kekerasan Dalam Pacaran. Seluruh informan dari penelitian tersebut mengaku belum memahami konsep hubungan pacaran yang sehat. Selain itu, mereka juga merasa masih perlu belajar tentang batasan dalam hubungan pacaran.
Masih menurut penelitian yang sama, para remaja juga dikatakan cenderung sulit menyadari ketika mereka menjadi korban Kekerasan Dalam Pacaran. Sebagai contoh, mereka sering kali tidak ragu untuk memenuhi permintaan pasangan, sekalipun hal tersebut bersifat paksaan dan menimbulkan perasaan tidak nyaman. Bagi remaja, hal ini masih dinormalisasi.
Belajar Mengidentifikasi Tanda-Tanda Hubungan Toksik
Menjauhkan diri dari risiko Kekerasan Dalam Pacaran sangat penting bagi remaja. Upaya ini bisa dimulai dengan langkah kecil memahami tanda-tanda hubungan toksik, sebuah pintu masuk terjadinya Kekerasan Dalam Pacaran. Nah, merangkum dari Healthline dan Women’s Health, berikut ini adalah corak hubungan toksik yang musti disadari sedini mungkin.
1. Adanya Ketidakseimbangan Kekuasaan.
Tanda paling awal dari hubungan pacaran toksik adalah kekuasaan yang tidak seimbang. Misalnya, keputusan untuk mengontrol dan menentukan arah hubungan hanya ada di tangan salah satu pihak, sementara pihak lainnya tidak memiliki ruang atau kebebasan untuk menyampaikan suaranya.
2. Pola Komunikasi yang Buruk.
Komunikasi adalah salah satu aspek penting yang menentukan kualitas hubungan. Jika banyak terjadi pertengkaran dan tindakan saling menyalahkan, terutama saat terjadi masalah, bisa jadi hubungan tersebut sudah tidak lagi sehat. Apalagi jika pasangan gemar menggunakan tindakan agresif untuk menyelesaikan masalah.
3. Ketergantungan Emosional yang Berlebih.
Tanda ini bisa mewujud dalam berbagai bentuk. Sebagai contoh, Sobat dipaksa untuk bertanggung jawab atas kebahagiaan dan validasi pasangan. Dalam hal ini, perasaan pasangan seakan menjadi yang paling penting, sementara perasaan diri sendiri selalu diremehkan. Contoh lain adalah ketika pelaku memiliki rasa cemburu yang berlebihan, lalu membatasi aktivitas pasangan dan melanggar privasinya.
4. Dukungan yang Minim.
Pasangan di dalam hubungan pacaran idealnya saling mendukung satu sama lain. Tapi nyatanya, banyak orang yang rela mengubur mimpi mereka menuruti keinginan pasangan. Contoh lainnya, adalah ketika seseorang tidak memberikan dukungan ketika pasangannya sedang mencoba hobi atau menjajaki karir yang baru. Dalam hal ini korban pun pada akhirnya kehilangan kesempatan untuk berkembang.
5. Siklus Konflik yang Berulang.
Pertengkaran di dalam hubungan pacaran biasanya akan berujung pada rekonsiliasi. Namun, setelah itu tidak jarang pertengkaran intens tetap terus menerus terjadi karena masalah yang sama. Hal ini biasanya terjadi ketika pelaku sering berperilaku buruk dan meminta maaf tanpa ada keinginan untuk memperbaiki diri –sementara korban dipaksa mewajarkannya.
6. Perasaan Takut.
Rasa ketakutan di dalam hubungan pacaran bisa terjadi dalam berbagai bentuk. Entah itu takut untuk mengemukakan pendapat, takut untuk menjadi diri sendiri sampai rela mengubah kepribadian secara berlebihan, atau sekadar takut untuk bertemu dengan pasangan. Perasaan-perasaan semacam ini umum dirasakan oleh korban yang sudah kehilangan rasa aman di dalam sebuah hubungan.
7. Muncul Tanda-tanda Kekerasan.
Kekerasan di sini bukan hanya kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan emosional. Jika pasangan sering melakukan gaslighting, victim blaming, dan mengeluarkan kata-kata yang terdengar manipulatif, itu semua juga merupakan tanda-tanda kekerasan yang tidak bisa diremehkan.
8. Tidak Bahagia.
Alih-alih merasa bahagia, seseorang yang terlibat di dalam sebuah hubungan pacaran tidak jarang lebih banyak mengalami stress, depresi, dan gangguan kecemasan, hingga terkuras secara emosional. Jika hal seperti ini terjadi, sudah tentu perlakuan yang selama ini diberikan oleh pasangan mengarah pada kekerasan.
Apa yang Bisa Remaja Lakukan Ketika Menjadi Korban KDP?
Lantas, bagaimana apabila Sobat remaja merasa terlanjur terjebak berada di dalam hubungan yang tidak sehat, terdapat beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk kembalibisa pulih dan keluar dari lingkaran kekerasan. Nah apa sajakah itu?
1. Refleksi Diri.
Sobat bisa meninjau kembali, seberapa jauh hubungan pacaran yang sedang dijalani memberikan kebaikan bagi diri sendiri. Apabila Sobat benar-benar merasa lebih banyak kehilangan privasi, kebebasan, dan kebahagiaan, mungkin sudah saatnya hubungan tersebut tidak diteruskan lagi.
2. Cari Ruang Aman.
Langkah selanjutnya adalah mencari ruang aman. Sobat bisa menghubungi teman sebaya yang paling bisa dipercaya. Mintalah saran kepada mereka tentang keputusan-keputusan terbaik apa saja yang mungkin bisa diambil. Jangan lupa, apapun keputusan yang dipilih, pastikan itu berpihak pada kebaikan diri Sobat sendiri.
3. Bicara dengan Pasangan.
Jika sudah merasa dalam posisi yang aman dan percaya diri, Sobat bisa pelan-pelan berbicara kepada pasangan. Komunikasikanlah apa yang Sobat rasakan dengan jelas dan jujur, entah itu perasaan sedih, marah, takut, dan lain sebagainya. Apabila Sobat juga merasa sudah saatnya untuk mengakhiri hubungan, sampaikanlah.
4. Mencari Dukungan Lanjutan.
Keberanian untuk berbicara secara langsung dengan pasangan tidak selalu berbuah baik. Dalam banyak kasus, pelaku justru meresponnya dengan ancaman dan berbagai kekerasan lanjutan. Pada akhirnya, korban sulit untuk keluar dari lingkaran hubungan toksik yang tiada ujung. Jika hal ini terjadi, jangan ragu untuk mencari dukungan lanjutan. Sobat bisa kembali kepada orang yang telah dianggap sebagai ruang aman, lalu meminta bantuan mereka untuk melaporkan kekerasan dan mengakses layanan profesional.
Bagaimana Jika yang Menjadi Korban KDP Adalah Orang Terdekat?
Walaupun sudah melakukan banyak upaya untuk melindungi diri dari risiko Kekerasan Dalam Pacaran, tidak menutup kemungkinan orang terdekat yang malah menjadi korbannya. Saat hal ini terjadi, Sobat bisa berperan menjadi sistem pendukung dan membantu mereka untuk pulih. Lalu, apa saja yang bisa dilakukan untuk mendukung korban?
1. Menjadi Ruang Aman.
Sebagai ruang aman, terapkanlah psychological first aid sebagai bentuk pertolongan pertama. Sobat bisa mendengarkan korban, memberikan ruang bagi mereka untuk mengekspresikan perasaannya, dan membantunya merasa lebih berdaya dan percaya diri. Tunjukkan bahwa Sobat benar-benar mendukung dan berempati kepada korban, alih-alih menyalahkan dan menghakimi mereka.
2. Menawarkan Bantuan.
Setelah membantu korban merasa aman, Sobat bisa menawarkan bantuan. Entah itu mencarikan layanan atau mendampingi korban untuk melaporkan kasus kekerasan. Selain itu Sobat juga bisa membantu korban memahami hak-hak yang melekat pada diri mereka, mulai dari hak untuk mendapat pendampingan hukum, hak atas ruang aman, hak atas layanan psikologis, dan lain sebagainya.
Melindungi diri dari risiko kekerasan pacaran memang tidak mudah. Dibutuhkan kesadaran dan keberanian dari diri sendiri, serta dukungan dari lingkungan sekitar. Langkah sekecil apa pun dalam mengenal tanda-tanda hubungan toksik bisa meminimalisir kemungkinan Sobat menjadi korban maupun pelaku Kekerasan Dalam Pacaran. Demikian pula, inisiatif sesederhana mungkin dalam mencari dukungan juga akan membantu Sobat keluar dari lingkaran kekerasan.
Penulis: Nobertus Mario Baskoro.