PENDEKATAN MODEL TRANS-TEORITIS DALAM MENGANALISIS KETERSEDIAAN DAN AKSES PANGAN BERKUALITAS: STUDI DI SMAN 7 MATARAM

Penulis: Idham Halid, Muhamad Khalid Iswadi, Dinda Safira Rahayu, Lilik Savitri, M. Hulbayan

Pendahuluan

Ketersediaan dan akses terhadap pangan berkualitas merupakan elemen fundamental dalam menciptakan masyarakat yang sehat dan produktif. Asupan gizi yang baik tidak hanya berpengaruh terhadap kesehatan fisik, tetapi juga terhadap perkembangan kognitif, emosional, dan performa akademik, terutama bagi kelompok usia muda seperti siswa sekolah menengah. Namun, fenomena konsumsi pangan yang tidak sehat masih menjadi salah satu masalah serius yang dihadapi oleh institusi pendidikan, termasuk SMAN 7 Mataram. Dalam lingkungan sekolah, kantin sering kali menjadi satu-satunya sumber makanan bagi siswa selama jam sekolah, tetapi pilihan makanan yang tersedia sering kali tidak mendukung kebutuhan gizi yang seimbang.

Kantin di sekolah sering kali menyediakan makanan cepat saji atau junk food yang tinggi lemak, gula, dan garam, tetapi rendah kandungan gizi esensial seperti serat, vitamin, dan mineral. Jenis makanan ini disukai oleh siswa karena harganya yang terjangkau, rasanya yang menarik, dan mudah diakses. Akan tetapi, konsumsi junk food yang berlebihan dapat berkontribusi pada masalah kesehatan jangka panjang seperti obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskular, serta dapat memengaruhi kemampuan konsentrasi dan hasil belajar siswa. Sebuah studi oleh Gupta et al. (2008) menegaskan bahwa pola konsumsi makanan yang tidak sehat pada remaja tidak hanya dipengaruhi oleh ketersediaan makanan tersebut, tetapi juga oleh kebiasaan, lingkungan sosial, dan kurangnya pendidikan gizi yang memadai.

Situasi di SMAN 7 Mataram tidak jauh berbeda dari kondisi umum ini. Berdasarkan survei awal, sebagian besar kantin di sekolah ini menyediakan junk food, sementara pilihan makanan sehat seperti buah-buahan segar, produk susu rendah lemak, dan makanan berbasis biji-bijian sangat terbatas. Selain itu, banyak siswa yang mengakui bahwa mereka tidak memperhatikan nilai gizi dari makanan yang mereka konsumsi, dan hanya membeli makanan berdasarkan keinginan atau preferensi rasa. Fenomena ini menunjukkan bahwa, meskipun siswa menyadari pentingnya makanan bergizi, perilaku mereka dalam memilih makanan belum mencerminkan pemahaman tersebut.

Dalam konteks ini, sangat penting untuk memahami bagaimana pola konsumsi makanan di kalangan siswa dapat diubah melalui pendekatan yang tepat. Salah satu pendekatan yang relevan untuk memahami perubahan perilaku konsumsi pangan adalah Model Trans-teoretis atau Transtheoretical Model (TTM), yang dikembangkan oleh Prochaska dan DiClemente (1983). Model ini menekankan bahwa perubahan perilaku, termasuk perubahan dalam kebiasaan makan, adalah sebuah proses bertahap yang melibatkan beberapa fase. Setiap individu atau kelompok berada pada tahap yang berbeda dalam proses perubahan ini, mulai dari tahap pra-kontemplasi, di mana individu belum menyadari adanya masalah, hingga tahap pemeliharaan, di mana individu telah berhasil mengadopsi perilaku baru secara berkelanjutan.

Dalam studi ini, pendekatan TTM digunakan untuk menganalisis pola konsumsi pangan berkualitas di SMAN 7 Mataram, serta untuk mengidentifikasi intervensi yang tepat untuk mendorong perubahan perilaku di kalangan siswa. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi akses dan ketersediaan pangan berkualitas di lingkungan sekolah, serta bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi keputusan siswa dalam memilih makanan. Selain itu, penelitian ini akan mengeksplorasi persepsi siswa terhadap harga pangan sehat, serta frekuensi konsumsi pangan organik atau pangan yang diproduksi secara berkelanjutan, yang semakin menjadi perhatian dalam konteks keberlanjutan lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Dengan menggunakan pendekatan TTM, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih dalam tentang dinamika perubahan perilaku konsumsi pangan di sekolah, serta menawarkan solusi praktis untuk meningkatkan akses dan konsumsi pangan berkualitas di kalangan siswa. Intervensi yang diusulkan meliputi edukasi gizi, penguatan kapasitas pedagang kantin dalam menyediakan makanan sehat, serta peningkatan peran organisasi siswa dalam mempromosikan pola makan yang lebih sehat dan berkelanjutan. Studi ini juga bertujuan untuk menjadi landasan bagi pengembangan kebijakan sekolah yang lebih mendukung akses pangan sehat dan bergizi, yang pada akhirnya dapat berkontribusi pada peningkatan kualitas kesehatan dan pendidikan di SMAN 7 Mataram.

Ketersediaan dan Akses Pangan Berkualitas di SMAN 7 Mataram

Berdasarkan hasil wawancara terhadap siswa di SMAN 7 Mataram, terungkap beberapa kendala utama yang dihadapi terkait ketersediaan dan akses pangan yang berkualitas:1.

  1. Informasi gizi yang kurang jelas

Banyak siswa melaporkan bahwa makanan yang mereka beli di kantin jarang mencantumkan informasi nilai gizi atau komposisi yang jelas. Informasi semacam ini sebenarnya dapat membantu mereka membuat keputusan yang lebih baik tentang makanan yang dikonsumsi. Namun, tanpa panduan yang memadai, sebagian besar siswa cenderung memilih makanan berdasarkan preferensi rasa, bukan kualitas gizi.

Penelitian oleh Neuhouser et al. (1999) menunjukkan bahwa pemberian informasi nutrisi yang jelas di kantin sekolah dapat meningkatkan kesadaran siswa terhadap pentingnya memilih makanan sehat. Namun, di SMAN 7 Mataram, minimnya informasi ini membuat siswa cenderung tidak menyadari dampak negatif dari makanan yang mereka konsumsi.

  1. Ketersediaan Junk Food yang Dominan

Di SMAN 7 Mataram, terdapat 11 kantin yang menyediakan makanan bagi siswa. Dari jumlah tersebut, 5 kantin terindikasi menyediakan mayoritas makanan cepat saji, seperti gorengan, nugget, sosis, dan makanan lain yang tinggi lemak serta gula. Junk food yang murah dan mudah diakses ini membuat siswa lebih memilihnya dibandingkan dengan opsi makanan yang lebih sehat. Penelitian oleh Wansink dan Chandon (2006) menyatakan bahwa lingkungan yang menyediakan makanan tidak sehat secara dominan akan membentuk preferensi konsumsi yang buruk di kalangan anak muda.

  1. Ketergantungan Terhadap Makanan Tinggi Gula

Meskipun banyak siswa yang menyadari tingginya kandungan gula dalam makanan dan minuman yang dijual di kantin, mereka masih kesulitan untuk menahan diri dari membelinya. Hal ini bisa disebabkan oleh keterikatan emosional terhadap junk food yang memberikan kenyamanan dan kepuasan instan. Penelitian oleh Benton (2004) menunjukkan bahwa konsumsi makanan manis dapat memicu reaksi dopamin di otak, yang membuat makanan manis sangat sulit dihindari.

  1. Kurangnya Kemampuan dalam Memilih Makanan Sehat

Sebagian besar siswa tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk memilah dan memilih makanan berdasarkan nilai gizinya. Hal ini mengakibatkan mereka cenderung membeli makanan berdasarkan keinginan, tanpa mempertimbangkan kandungan nutrisinya. Penelitian oleh Contento (2010) menunjukkan bahwa pendidikan gizi yang baik di sekolah sangat penting dalam membentuk pola konsumsi yang sehat di kalangan siswa.

Jenis Pangan, tinjauan harga, dan frekuensi konsumsi pangan yang berkulitas

Meskipun akses terhadap makanan berkualitas di kantin terbatas, di sekitar lingkungan sekolah terdapat berbagai jenis pangan yang lebih sehat, seperti: Salad buah, Buah potong (semangka, pepaya, nanas, melon), Yogurt plain,Air mineral,Susu UHT.

Namun, siswa lebih memilih junk food dibandingkan opsi pangan berkualitas ini. Fenomena ini berkaitan dengan preferensi konsumsi yang sudah terbentuk serta ketersediaan makanan yang lebih mudah diakses di kantin. Berdasarkan teori perilaku konsumen, keputusan untuk mengonsumsi makanan sehat juga dipengaruhi oleh persepsi terhadap manfaat dan biaya. Dalam konteks ini, junk food dianggap lebih praktis, murah, dan memuaskan secara instan dibandingkan dengan makanan sehat yang cenderung lebih mahal dan kurang menggugah selera (Glanz et al., 1994).

Terkait keterjangkauan harga pangan berkualitas, hasil wawancara menunjukkan bahwa persepsi siswa mengenai harga makanan sehat cukup bervariasi. Dari 16 responden, 8 siswa menganggap harga makanan sehat cukup terjangkau, 4 siswa menyatakan harga standar, dan 3 siswa merasa harga tersebut tidak terjangkau. Data ini menunjukkan bahwa, meskipun harga makanan sehat cukup terjangkau, siswa tetap lebih memilih junk food karena lebih mudah diakses dan lebih menggugah selera.

Meskipun sebagian siswa melaporkan mengonsumsi makanan organik, mereka juga mengakui bahwa makanan tersebut sering kali diolah menjadi junk food, seperti gorengan, seblak, dan cilok. Selain itu, makanan ini sering kali ditambahkan penyedap rasa secara berlebihan, sehingga mengurangi nilai gizi asli dari bahan organik tersebut. Penelitian oleh Smith-Spangler et al. (2012) mengungkapkan bahwa pangan organik, meskipun lebih sehat, tidak memberikan manfaat signifikan jika diolah dengan cara yang tidak sehat.

Model Trans-Teoretis: Tahapan Perubahan Perilaku

Model Trans-teoretis (Transtheoretical Model atau TTM) adalah teori komunikasi yang menjelaskan proses perubahan perilaku secara bertahap. Teori ini pertama kali dikembangkan oleh Prochaska dan DiClemente (1983) untuk memahami bagaimana seseorang mengubah perilaku kesehatan. Dalam konteks akses pangan di SMAN 7 Mataram, TTM dapat digunakan untuk menganalisis bagaimana siswa dapat beralih dari konsumsi junk food menuju pola makan yang lebih sehat. Model ini terdiri dari beberapa tahapan perubahan perilaku, yaitu:

  1. Prakontemplasi
    Pada tahap ini, siswa tidak memiliki niat untuk mengubah perilaku makan mereka. Mereka mungkin tidak menyadari bahwa kebiasaan mengonsumsi junk food mereka bermasalah, atau merasa bahwa tidak ada kebutuhan mendesak untuk berubah.
  2. Kontemplasi
    Pada tahap kontemplasi, siswa mulai menyadari bahwa konsumsi junk food dapat berdampak negatif bagi kesehatan mereka. Meskipun demikian, mereka masih belum memutuskan untuk mengambil tindakan untuk mengubah kebiasaan tersebut.
  3. Persiapan
    Di tahap ini, siswa sudah mulai memiliki niat untuk mengubah perilaku mereka. Mereka mungkin mulai mencari informasi tentang makanan yang lebih sehat atau mencoba mengurangi konsumsi junk food.
  4. Tindakan
    Pada tahap tindakan, siswa sudah mulai mengubah kebiasaan makan mereka dengan mengganti junk food dengan makanan yang lebih sehat, meskipun perubahan ini mungkin masih belum konsisten.
  5. Pemeliharaan
    Pada tahap pemeliharaan, siswa berhasil mempertahankan perubahan perilaku mereka dan terus mengonsumsi makanan sehat secara konsisten dalam jangka waktu panjang.
  6. Penghentian
    Tahap ini adalah ketika siswa sudah tidak lagi memiliki keinginan untuk kembali ke pola makan yang tidak sehat.

Solusi Yang Diusulkan

Untuk mendorong perubahan perilaku di kalangan siswa terkait akses pangan berkualitas, beberapa solusi dapat diimplementasikan:

  1. Sosialisasi pendidikan dan gizi

Sosialisasi yang melibatkan kantin, guru, siswa, dan organisasi sekolah perlu diadakan secara berkala untuk meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya makanan berkualitas. Sosialisasi ini juga dapat mencakup aspek pengelolaan sampah dan pengurangan limbah makanan (food waste).

  1. Edukasi pedagang kantin

Pedagang kantin perlu diberikan pelatihan tentang penyediaan makanan sehat dan pengurangan penggunaan bahan aditif berlebihan, seperti penyedap rasa dan gula. Pedagang juga dapat diberikan insentif untuk menyediakan lebih banyak makanan sehat di kantin.

  1. Penguatan peran organisasi siswa

Organisasi siswa, seperti OSIS, dapat berperan dalam menyebarkan informasi tentang manfaat makanan sehat kepada teman-teman mereka. Dengan demikian, siswa dapat menjadi agen perubahan yang mempengaruhi lingkungan konsumsi di sekolah.

Kesimpulan

Akses terhadap pangan berkualitas di SMAN 7 Mataram masih menghadapi berbagai tantangan, terutama terkait dominasi junk food di kantin dan rendahnya kesadaran siswa akan pentingnya nilai gizi. Dengan menggunakan Model Trans-teoretis, tahapan perubahan perilaku siswa dapat dipetakan dan intervensi yang tepat dapat dirancang untuk mendorong adopsi pola makan yang lebih sehat. Pendidikan gizi, sosialisasi, serta dukungan dari pihak sekolah dan kantin merupakan langkah penting dalam meningkatkan kualitas akses pangan bagi siswa.

Refrensi:

Prochaska, J. O., & DiClemente, C. C. (1983). Stages and Processes of Self-Change of Smoking: Toward An Integrative Model of Change. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 51(3), 390-395.

Glanz, K., Rimer, B. K., & Viswanath, K. (2008). Health Behavior and Health Education: Theory, Research, and Practice (4th ed.). Jossey-Bass.

Prochaska, J. O., Norcross, J. C., & DiClemente, C. C. (1994). Changing for Good: A Revolutionary Six-Stage Program for Overcoming Bad Habits and Moving Your Life Positively Forward. HarperCollins.

Gupta, N., Goel, K., Shah, P., & Misra, A. (2008). Childhood obesity in developing countries: Epidemiology, determinants, and prevention. Endocrine Reviews, 29(1), 67-96.

Facebook
X
Threads
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Event Kami

Ruang Kata 4

Artikel Populer

Artikel Terkait

Translate »