Pada awalnya, kebutuhan pangan semata-mata diperlukan demi kontinuitas hidup suatu individu. Akan tetapi, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan tingginya pola konsumsi manusia, maka cita rasa juga ragam pangan menjadi aspek vital dalam konsumsi makanan. Kemudian, berkembang gaya hidup yang efisien terhadap waktu, menuntut penyajian makanan menjadi serba instan.
Makanan cepat saji dan jajanan, kini umum dikonsumsi masyarakat tanpa pengolahan lebih lanjut. Tentu dengan kandungan gizi yang belum bisa dipastikan pula. Kehidupan praktis serta abai pada pemenuhan nutrisi ini yang dapat berbahaya bagi kesehatan bila dilakukan terus-menerus, karena bisa menyebabkan kondisi kurang gizi dan stunting.
Saat ini, persoalan gizi dan stunting di Indonesia seolah menjadi fenomena gunung es, yang terlihat kecil namun bisa menjadi pelik lagi berbahaya suatu saat. Menurut data dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), Indonesia menjadi negara dengan urutan kelima di dunia dengan jumlah anak stunting terbanyak. Selain itu, berdasarkan data dari Opendata.jabarprov.go.id, jumlah balita gizi kurang di Kabupaten Bandung Barat sebanyak 5.164 anak di tahun 2021. Sementara balita pendek dan kurus, kurang lebih berjumlah sama, yakni masing-masing sebanyak 6.891 anak.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia mengartikan gizi kurang sebagai keadaan yang disebabkan minimnya konsumsi protein juga energi dalam makanan sehingga tidak bisa menyempurnakan angka kecukupan gizi. Sementara itu, stunting dimaknai sebagai hambatan pertumbuhan irreversible akibat asupan nutrisi yang adekuat atau tidak memenuhi syarat kebutuhan tubuh.
Dua keadaan di atas dapat menghambat perkembangan otak, pertumbuhan fisik, hingga kemampuan kerja. Maka dari itu, persoalan stunting tidak bisa dilihat hanya sebelah mata saja. Lantaran, jika masalah pemenuhan nutrisi ini terus dibiarkan akan menjadi beban sekaligus ancaman serius bagi masa depan bangsa.
Penyelesaian masalah gizi kurang dan stunting amat berkaitan dengan strategi menciptakan manusia yang sehat juga produktif dengan memerhatikan kualitas kesehatan anak serta remaja sebagai generasi muda. Hal tersebut patut dilakukan demi memajukan pembangunan suatu bangsa, karena diperlukan sumber daya manusia yang sehat, cerdas, juga berkualitas.
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 telah menyebut mengenai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang memutuskan bahwa: “Salah satu tujuan pembangunan nasional yang ingin dicapai adalah mewujudkan daya saing bangsa. Status kesehatan dan gizi merupakan salah satu komponen penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.”
Atas dasar ketetapan undang-undang tersebut, pemerintah telah memberi perhatian khusus mengenai status kesehatan dan gizi. Dengan demikian, pengetahuan terkait gizi dan nutrisi merupakan fondasi vital dalam memilih makanan yang dikonsumsi. Sikap kritis terhadap pemenuhan kebutuhan gizi sangat penting diperhatikan atas dasar alasan kesehatan.
Edukasi yang sebetulnya bisa dilakukan dimana saja juga kapan saja dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi di era global ini, dirasa tidak cukup. Hal tersebut dikarenakan masih tingginya jumlah anak dengan gizi kurang serta stunting. Padahal, informasi dapat diakses melalui gawai yang sudah dipunyai banyak orang.
Hal ini sangat disayangkan memang. Terlebih permasalahan gizi tersebut masih terjadi di Kabupaten Bandung Barat yang notabenenya memiliki sektor pertanian dan peternakan sangat kuat. Yang berarti ketersediaan sayur-mayur, buah-buahan, dan protein hewani sangat melimpah. Merujuk pada swadayaonline.com, kelompok Tani Perintis Tani berhasil memanen 2.700 tanaman brokoli atau sekitar dua kuintal brokoli di lahan demplot blok karet milik Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa), Kabupaten Bandung Barat. Jumlah dua kuintal brokoli hanya di salah satu lahan pertanian saja, belum lagi ditambah di lahan pertanian lain dengan varietas sayuran berbeda.
Padahal, seperti yang dikutip dari Niken, vitamin dan mineral yang terdapat dalam sayuran membantu proses metabolisme dan antioksidan dapat menangkal senyawa hasil oksidasi juga radikal bebas. Brokoli mengandung 189.9 vitamin A dan 89.2 Vitamin C. Selain itu, ada kandungan mineral seperti thiamin, niasin, kalsium, dan zat besi yang membuat brokoli memiliki kandungan gizi untuk meningkatkan kesehatan tubuh.
Selain brokoli, Kabupaten Bandung Barat juga memproduksi buah stroberi dengan jumlah yang banyak. Berdasarkan data dari Opendata.jabarprov.go.id, produksi stroberi di Kabupaten Bandung Barat mencapai 112 ton pada tahun 2021. Stroberi mengandung asam-asam organik, karbohidrat, serat, protein, lemak, vitamin A (retinol), B1 (thiamin), B2 (riboflavin), B3 (niacin), B6 (piridoxin), B9 (asam folat), C (asam ascorbic), E (tocopherol), H (biotin). Serta kandungan mineral seperti K, Ca, Mg, Na, S, P, Fe, Mn, B, Bo, dan Zn.
Tidak hanya itu, telur ayam menjadi sumber protein hewani yang hampir sempurna karena mengandung protein, lemak, asam amino, vitamin A, dan mineral juga diproduksi di Kabupaten Bandung Barat. Mengutip pada data dari Opendata.jabarprov.go.id, produksi telur ayam petelur mencapai 2.072 ton pada tahun 2022.
Melimpahnya hasil pertanian dan peternakan di Kabupaten Bandung Barat, sepatutnya dapat dimanfaatkan untuk mencegah gizi kurang juga stunting. Masih merujuk pada data Opendata.jabarprov.go.id, jumlah petani di Kabupaten Bandung Barat pada tahun 2022 mencapai 18.831 jiwa. Terlebih, pada 2021, pemerintah Jawa Barat membuat program Petani Milenial 4.0 yang disambut baik oleh generasi muda yang terbukti dengan telah diterimanya 8000-an berkas pendaftaran.
Di samping peran sektor kesehatan yang memberi edukasi pentingnya pemenuhan kebutuhan gizi seimbang dan langkah strategis pencegahan gizi kurang juga stunting lainnya, harus disokong pula dengan kesediaan bahan baku yang memenuhi nilai nutrisi bagi masyarakat. Kolaborasi dua sektor ini, bisa membentuk generasi muda yang sehat, kritis, lagi produktif juga bisa memaksimalkan potensi desa dalam peningkatan taraf hidup masyarakat.
Berdasarkan pengamatan penulis yang tinggal di Bandung Barat, harga sayuran yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi relatif murah. Pada waktu-waktu tertentu, harga sayuran hijau kurang dari 2000 rupiah per kilogram. Apabila masyarakat sudah mulai sadar akan pentingnya mengonsumsi sayuran bagi kesehatan, maka minat beli kepada sayuran pun meningkat. Efek tersebut akan membuat harga sayuran pun tidak terlalu jatuh karena permintaan pasar dan bisa membantu para petani terkait masalah pendapatan.
Akan tetapi, solusi di atas sulit menjadi jalan keluar apabila sikap kritis dan rasa peduli terhadap kesehatan masih rendah. Pernyataan ini berlandaskan, data yang penulis peroleh terkait ketersediaan sayuran, buah-buahan, dan produk peternakan di Kabupaten Bandung Barat yang relatif tinggi pada setiap tahunnya, namun masih saja tetap ada penderita gizi kurang juga stunting. Sehingga, dapat ditarik kesimpulan, bahwa permasalahan kesehatan tersebut harus disikapi bijaksana oleh banyak pihak di berbagai sektor kehidupan masyarakat. Sebab, gizi kurang dan stunting bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pendidikan, ekonomi, kesehatan, sosial, dan masih banyak lagi.
Referensi:
https://opendata.jabarprov.go.id. Diakses pada 15 November 2023.
https://www.swadayaonline.com/artikel/9100/Petani-Binaan-TTM-dan-BBPP-Lembang-Panen-2700-Tanaman-Brokoli/. Diakses pada 16 November 2023 pukul 07.18 WIB
Rifqi, Niken Yunia. 2021. Pemanfaatan Bahan Makanan Lokal Kentang (Solanum tuberosum l), Ikan Lele (Clarias, sp), dan Brokoli (Brassica oleracea l) dalam Bentuk Snack Kroket untuk Balita dengan Status Gizi Kronis. Jurnal Teknologi Pangan volume.12 no 1.
Suparno, Antonius. 2022. Budidaya Tanaman Stroberi. Yogyakarta: Penerbit KBM Indonesia
Wulandari, Z. 2022. Review: Tepung Telur Ayam: Nilai Gizi, Sifat Fungsional, dan Manfaat. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan, Vol.10 No.2