Bagaimana Media Sosial Membuat Kita Sehat vs Tidak Sehat

media sosial

Berdasarkan data terdapat 143 juta pengguna media sosial di Indonesia (Kemp, 2025). Hal ini menjadikan negara Indonesia sebagai negara paling terhubung di Asia Tenggara dalam hal jumlah pengguna media sosial. Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube telah menjadi ruang tidak hanya untuk hiburan, tetapi juga ruang untuk menciptakan tren yang memiliki pengaruh dalam membentuk gaya hidup dan kebiasaan makan seluruh negara. Saturasi digital ini membawa manfaat dan risiko, terutama dalam hal kesehatan masyarakat dan pola konsumsi makanan. Lalu masih terdapat pertanyaannya, apakah media sosial lebih banyak membawa dampak negatif atau positif dalam hal konten makanan?

Bagaimana Dampak Konten di Media Sosial Terhadap Kita?

Jauh sebelum kemunculan media sosial, telah ditemukan sebelumnya bahwa “merek makanan dan minuman di Indonesia secara sengaja dan sering menggunakan berbagai teknik di media sosial untuk menargetkan anak-anak dalam iklan” yang mempromosikan makanan tidak sehat “yang tidak sesuai untuk… kelompok usia ini” (Guo et al. 2025). Perusahaan memiliki berbagai strategi untuk memanipulasi persepsi dan perasaan orang terhadap makanan, dan hal ini semakin kuat dengan kemunculan media sosial. Bagaimanapun, penelitian telah membuktikan bahwa media sosial mungkin mengubah hubungan kita dengan makanan. Sebuah studi yang dilakukan oleh British Broadcasting Corporation (BBC) menemukan bahwa “remaja terpapar pemasaran makanan sekitar 30-189 kali per minggu di media sosial, dengan makanan bergula tinggi dan makanan cepat saji yang paling sering ditampilkan” (Brown, 2022). Studi yang sama juga menemukan bahwa remaja yang terpapar vlogger dengan konten yang mempromosikan makanan tidak sehat akan mengonsumsi “26% lebih banyak kalori daripada yang tidak terpapar”, menunjukkan bahwa hanya terpapar konten media sosial ini saja dapat mempengaruhi perilaku terkait makanan. Efek ini diperkuat oleh fakta bahwa “kampanye influencer makanan dan minuman rata-rata menghasilkan tingkat keterlibatan sekitar lima kali lebih tinggi dari rata-rata”, artinya konten ini lebih mungkin muncul di beranda media sosial orang-orang.

Mengapa Hal Ini Berbahaya?

sumber: Tribun News

Sebagian besar konten makanan di Instagram cenderung didominasi oleh makanan yang “tinggi kalori, karbohidrat, lemak, dan natrium, tetapi rendah serat dan protein”, mengabaikan konsep “pola makan seimbang” demi jenis konten makanan tertentu yang memiliki interaksi lebih tinggi. Hasil penelitian menemukan “ada hubungan antara… konsumsi makanan berisiko yang tinggi dan penggunaan Instagram yang sering.” (Gita dkk. 2025). Salah satu contoh genre paling populer adalah mukbang, yang makan makanan secara berlebihan dan mempromosikan konsumsi makanan instan atau gorengan. Mukbang memiliki kehadiran yang signifikan di Indonesia: “mukbangers seperti Magdalena Fridawati (Mgdalenaf) [misalnya] memiliki lebih dari 2,3 juta pengikut dan [dia] termasuk di antara kreator konten mukbang teratas di Indonesia” (“10 Influencer Food Vlogger”, 2025). Genre ini sendiri mempromosikan pola makan yang tidak sehat, dan merupakan salah satu dari banyak jenis konten makanan yang digunakan oleh kreator dan vlogger untuk mempromosikan diri mereka, meskipun juga mendorong kebiasaan makan yang tidak sehat.

Selain kreator konten independen seperti yang disebutkan di atas, interaksi orang dengan pengikut mereka juga dapat mempengaruhi perilaku. Sebuah studi menemukan bahwa “pengguna Facebook mengonsumsi satu porsi tambahan makanan ringan tidak sehat dan minuman manis untuk setiap tiga porsi yang mereka kira dikonsumsi oleh influencer yang muncul di media sosial mereka” (Haryonyo 2025), yang pada dasarnya mengatakan bahwa orang akan berusaha keras untuk mengonsumsi makanan tidak sehat yang biasanya tidak mereka konsumsi jika mereka melihat teman-teman mereka juga melakukannya. Jika kita percaya bahwa teman-teman kita mengonsumsi makanan yang kurang sehat, kita merasa lebih nyaman mengonsumsi lebih banyak makanan junk food sebagai akibatnya. Efek ini juga dijelaskan oleh Tina Tessitore, associate professor pemasaran di Institut d’Économie Scientifique Et de Gestion (IESEG) School of Management di Lille, Prancis, yang mengatakan bahwa “makanan sehat sering dianggap membosankan dibandingkan [dengan makanan tidak sehat]” (Brown 2022). Misalnya, dalam iklan produk, lebih mungkin menampilkan sekelompok teman yang menikmati barbekyu daripada menikmati salad. 

Dampak Positif di Media Sosial  

sumber: freepik.com

Sama seperti media sosial dapat digunakan untuk menciptakan pola makan yang tidak sehat, media sosial juga dapat digunakan untuk mempromosikan pola makan yang sehat. Ada banyak kisah sukses kecil tentang orang-orang yang kembali ke makanan lokal, autentik, dan sehat mereka, serta mempromosikannya menggunakan alat baru seperti media sosial. Misalnya, “Warung Madun Oseng Nyak Kopsah [adalah] warung makan yang menyajikan menu khas Betawi dan hidangan rumahan lainnya…[yang] kini berinovasi dengan menggunakan media sosial TikTok sebagai alat promosi utamanya” (Setiawati dkk. 2024). Masakan Betawi merupakan contoh bagus bagaimana makanan segar dan autentik dapat memberikan hasil kesehatan positif melalui hidangan seperti gado-gado Betawi, hidangan terkenal yang terdiri dari campuran berbagai sayuran dengan saus kacang yang kaya protein. Secara keseluruhan, gerakan menuju masakan lokal yang lebih segar dan autentik merupakan tren positif yang muncul di media sosial Indonesia.

Sikap terhadap konsumsi makanan tidak sehat juga mengalami perubahan. Pada tahun 2022, NielsenIQ dan Grab melakukan studi yang menemukan bahwa “tujuh dari 10 orang Indonesia ingin mengonsumsi makanan sehat secara teratur [dan] 70% responden mengatakan mereka bersedia mengeluarkan lebih banyak uang untuk makanan sehat” (Haryonyo 2024). Kesehatan semakin menjadi prioritas bagi orang-orang, dan seiring dengan pencarian opsi sehat, hal ini memberikan tekanan lebih besar pada perusahaan untuk menyediakan opsi tersebut. Misalnya, “pada tahun 2021, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memperkenalkan logo Pilihan Lebih Sehat berupa tanda centang hijau pada kemasan makanan, yang mengidentifikasi produk yang mengandung kadar gula, garam, dan lemak sesuai dengan kebutuhan gizi” (Haryonyo, 2024). Ini adalah contoh bagaimana ketika kesadaran masyarakat tentang gaya hidup sehat meningkat, begitu pula pilihan makanan sehat yang tersedia.

Di tengah berbagai tren yang mengganggu kebiasaan makan sehat, penting untuk diingat bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk melakukan hal-hal yang dapat mereka lakukan sebagai individu.

  • Sadari tren media sosial

Konten terkait makanan telah menjadi begitu umum di feed kita sehingga mudah untuk menggeser iklan dan konten tanpa menyadari bagaimana hal itu mempengaruhi nafsu makan atau pola pikir Sobat. Kunci untuk mengatasi hal ini adalah dengan memperhatikan bagaimana iklan mungkin mencoba mempengaruhi Sobat untuk memilih merek mereka dan mengenali bahaya dalam produk yang mereka coba jual. Dengan tetap sadar akan teknik-teknik mereka, Sobat menjadi kurang rentan terjebak dalam teknik-teknik tersebut. 

  • Makan Lokal

Jika memungkinkan, usahakan untuk makan makanan lokal. Dengan berbelanja di pasar lokal dan makan di warung lokal, Sobat dapat mendukung komunitas Sobat dan juga mendapatkan akses ke makanan yang cenderung lebih segar dan sehat. Pasar lokal dan warung juga sering menyajikan hidangan budaya yang merupakan bagian penting dari komunitas untuk dijaga.

sumber: Kompasiana
  • Terapkan Mindfulness Eating 

Perhatikan stiker Pilihan Lebih Sehat pada berbagai makanan jika Sobat ingin membuat pilihan yang lebih sehat, dan pikirkan jenis makanan yang Sobat konsumsi secara rutin. Tidak ada salahnya sesekali makan makanan yang tidak sehat, tetapi jika Sobat menyadari hal itu menjadi kebiasaan, hal itu dapat berakibat pada masalah kesehatan di masa depan.

Gerakan baru sedang banyak bermunculan berkat adanya media sosial, di mana usaha kecil dapat lebih efektif untuk mempromosikan makanan yang lebih sehat dan autentik, serta di mana generasi muda memiliki akses yang lebih luas terhadap makanan yang lebih segar dan sehat daripada sebelumnya. Alih-alih hanya duduk dan mengagumi kemajuan yang telah dicapai, saatnya untuk terus maju dan mendorong budaya kesadaran dalam pola makan serta kebijakan yang mendukungnya. 

Penulis: Wesley Bartlett

Referensi

Kemp, Simon. “Digital 2025: Indonesia – DataReportal – Wawasan Digital Global.DataReportal, DataReportal – Global Digital Insights, 25 Februari 2025

Guo, Isabella Jiaqi, dkk. “Penggunaan media sosial untuk mempromosikan konsumsi makanan dan minuman tidak sehat di kalangan anak-anak Indonesia.BMC Nutrition, vol. 11, no. 1, 21 Mar. 2025 

Amelia, Gita, dan Dian Luthfiana Sufyan. “Hubungan antara Menggulir Akun Instagram Makanan dan Praktik Diet di Kalangan Mahasiswa Sarjana.” Indonesian Journal of Nutritional Science, vol. 2, no. 1, 2025.

Brown, Jessica. “Bagaimana Influencer Makanan Mempengaruhi Apa yang Kita Makan.” BBC News, BBC, 24 Februari 2022

10 Influencer Makanan Indonesia yang Harus Anda Ikuti. 10 Influencer Makanan Indonesia yang Harus Anda Ikuti, 17 Juli 2025

Aisa Setiawati, & Edy Prihantoro. (2024). Strategi Komunikasi Pemasaran untuk Warung Makan Madun Oseng Nyak Kopsah Melalui Akun Media Sosial TikTok @madunosengoseng dalam Promosi Kuliner Indonesia yang Autentik. Jurnal Spektrum Komunikasi, 12(1), 1–12. 

Haryono, Janeley. “Building a Healthy Lifestyle Trend with an Indonesian Flavor – Academia.The Jakarta Post , The Jakarta Post, August 30, 2024

Facebook
X
Threads
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Event Kami

Ruang Kata 4

Artikel Populer

Artikel Terkait

Translate »