Program menjadikan jagung sebagai “primadona“ NTT selalu digaungkan, terlebih pada musim-musim kampanye Pilkada di daerah kami seperti sekarang. Lantas, mengapa jagung?
Secara kultural, orang NTT itu dekat dengan jagung. Tidak asing. Iklim NTT yang lebih banyak panasnya sangat cocok dengan jagung. Jagung dikenal semua warga. Mantan Gubernur NTT alm. Frans Lebu Raya, dalam suatu kesempatan kampanyenya beberapa tahun silam mengemukakan alasan fundamentalnya bahwa jagung adalah makanan lokal khas NTT.
Tidak salah memang. Sebetulnya, jagung memiliki makna dan nilai budaya tradisional di banyak komunitas di NTT. Karena itu, sungguh tepat kalau NTT hendak dibawa dan dibangun menjadi Provinsi Jagung.
Pada tataran ideal, program dan obsesi ini sangat baik. Namun, masih baik pada tataran wacana semata. Masih sebatas program. Jika kita tilik langkah konkret di lapangan, obsesi ini masih sangat jauh. Artinya, program ini masih bagus “di atas kertas”.
Lalu, kapan membumi? Bagaimana membumikannya? Sumber daya manusia (SDM) macam mana yang dapat membumikannya? Inilah pertanyaan-pertanyaan kecil yang sebenarnya bisa menjadi kunci keberhasilan program Provinsi Jagung di NTT.
Galibnya, setiap program hanya bisa berjalan bila didukung oleh perangkat yang mampu dan qualified. Perangkat kerja dengan kualifikasi seperti itulah yang bisa menerjemahkan setiap program menjadi nyata di lapangan. Sehingga tidak bisa dipungkiri, program tersebut selalu menjadi kesimpulan seminar dan diskusi saja.
Apa kendalanya? Di lapangan, berdasarkan pengamatan penulis, program ini tidak didukung oleh perangkat kerja yang bisa diandalkan. Dari hulu sampai hilir dinilai mengalami gagal total. Polemik seperti benih rusak, benih yang tiba terlambat, dan mafia pupuk adalah masalah sederhana namun fatal bagi petani.
Meminta petani menanam jagung, tetapi tidak ada benih? Jagung ditanam terlambat sementara pupuk tidak diberikan, lantas mengharapkan hasil panen yang berlimpah? Nonsense.
Jika boleh memberikan masukan, penulis memiliki beberapa langkah solutif seperti demikian:
Pertama, pemerintah segera menempatkan orang-orang yang tepat, paham, punya etos kerja yang mumpuni, serta peduli dengan program pengembangan NTT sebagai Provinsi Jagung ini. Memang, sirkulasi jabatan di pemerintahan selalu memperhatikan banyak variabel, tetapi melalui fit and proper test, sebetulnya bisa ditemukan siapa yang layak berada di garda terdepan untuk mewujudkan rencana besar ini.
Kedua, membuka networking dan menyiapkan pasar. Sebab mengajak petani beramai-ramai menanam jagung tanpa menyiapkan pasar adalah sia-sia. Hendak kemana produksi jagung itu dilemparkan? Mari kita lihat Gorontalo, mereka sebenarnya tidak ada apa-apa kalau disebut sebagai provinsi jagung. Namun, pemerintahnya berhasil mencari pasar.
Seluruh jagung di Sulawesi, bahkan dari luar Sulawesi, dikirim ke luar daerah melalui Gorontalo, sehingga semua jagung diberi label Gorontalo. Akibatnya, Gorontalo menjadi identik dengan jagung dan memegang merek jagung Indonesia. Lalu, bagaimana dengan NTT?
Ketiga, pilot project. Supaya tidak terkesan asal omong, kita butuh pilot project untuk dijadikan contoh. Cari lahan puluhan hektar dan pekerjakan orang untuk menanam jagung. Contoh nyata ini, sangat penting sebagai stimulus untuk melecut semangat petani menanam jagung.
Kira-kira demikian solusi yang penulis tawarkan sebagai bentuk kepedulian untuk merealisasikan wacana Provinsi Jagung ini. Sebab program pemerintah adalah program masyarakat.
Cukup sudah kita mendengar berita seperti benih jagung bermasalah, harga benih di-mark up, benih tiba terlambat di tangan petani, atau mafia pupuk. Kita ingin menjadikan NTT sebagai Provinsi Jagung, mari wujudkan rencana itu bersama-sama!