Mengikuti Fellowship Indonesia School on Internet Governance (IDSIG) adalah pengalaman transformasional yang memperluas pemahaman saya tentang sejarah internet Indonesia, tata kelola digital, serta tantangan pembangunan infrastruktur internet yang inklusif dan berkelanjutan.
Salah satu sesi paling mencengangkan adalah materi tentang “Tata Kelola Internet Sejarah Internet Indonesia.” Saya baru memahami bahwa pada masa awal pengembangan jaringan, Indonesia memilih menggunakan media radio ketimbang jaringan telepon karena alasan strategis lebih murah, tidak terikat monopoli, dan memungkinkan komunikasi tanpa biaya tinggi.
Dengan kecepatan 1,2 kbps, mentransfer 1 megabyte data bisa memakan waktu hingga 12 jam, tetapi hal ini tetap dilakukan demi keterhubungan. Inovasi seperti RT/RW-Net tahun 1996 menjadi bagian penting dari sejarah ini.
Sistem berbagi internet melalui antena Yagi 900 MHz dan infrastruktur wireless berkecepatan 11–22 Mbps memungkinkan warga di daerah terpencil mengakses internet murah. Bahkan, inovasi lokal seperti Wajanbolic menjadi bukti nyata bagaimana teknologi internet lokal Indonesia mampu menjawab tantangan konektivitas nasional.
Namun, perkembangan teknologi tidak selalu berjalan sejajar dengan regulasi. Salah satu tantangan utama dalam tata kelola internet Indonesia adalah lemahnya pemahaman pembuat kebijakan terhadap aspek teknis. Pemerintah sering kali menetapkan aturan tanpa memahami alat atau mekanismenya. Di sinilah pentingnya regulasi yang adaptif dan berbasis bukti.
Sesi ini juga menyoroti UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) sebagai kerangka hukum utama terkait aktivitas digital. Meski menjadi tonggak hukum penting, UU ITE sering dikritik karena multitafsir dan potensinya mengekang kebebasan berekspresi di ruang digital.
Oleh karena itu, reformasi regulasi digital Indonesia menjadi isu mendesak agar kebijakan internet kita sejalan dengan hak asasi manusia dan perkembangan teknologi. Indonesia juga pernah menjadi kandidat kuat dalam forum World Summit on the Information Society (WSIS).
Menunjukkan komitmen global untuk mendorong akses internet murah dan inklusif, khususnya di negara berkembang. Dengan lebih dari 278 juta penduduk, 353 juta perangkat seluler, dan 182 juta pengguna internet, potensi Indonesia dalam membangun masa depan digital sangat besar.
Melalui IDSIG, saya menyadari bahwa perjuangan mewujudkan internet inklusif di Indonesia bukan hanya soal teknologi, tetapi juga keadilan hukum, partisipasi publik, dan pemberdayaan komunitas. Fellowship ini memperkuat semangat saya untuk terus mengadvokasi akses internet yang adil, aman, dan bisa dinikmati oleh semua kelompok masyarakat, termasuk mereka yang paling rentan.
Saya percaya bahwa masa depan digital Indonesia bisa menjadi lebih cerah jika kita membangun kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan inovator lokal untuk menciptakan kebijakan dan teknologi yang manusiawi, terjangkau, dan berkeadilan.