Dalam laporan bertajuk “State of the World’s Children 2019: Children, Food, and Nutrition”, UNICEF menyebutkan bahwa 50%-59% anak Indonesia yang berusia di bawah lima tahun termasuk ke dalam kelompok anak dengan pertumbuhan yang tidak baik. Lebih lanjut, UNICEF juga memaparkan bahwa anak-anak yang mengalami pertumbuhan tidak baik merupakan korban dari tiga masalah gizi buruk yang berkembang di seluruh dunia. Tiga masalah tersebut meliputi kurang gizi, lapar terselubung, dan kelebihan berat badan.
Lebih lanjut, fakta menyebutkan bahwa penyumbang angka tertinggi dalam permasalahan gizi di tanah air ini berasal dari wilayah Indonesia Timur. Seperti yang umum diketahui, Indonesia Timur memang menjadi salah satu wilayah yang mengalami sejumlah masalah di beragam aspek kehidupan karena pembangunan yang tidak merata.
Kalimat ini bukanlah sebuah bentuk rasisme kepada orang-orang timur dengan mengungkit isu kesehatan yang belum terpenuhi dengan baik. Namun, kalimat ini berisi fakta mengenai pengaruh kemiskinan atau Ekonomi Sosial – jika kita merujuk pada bahasa halus orang Akuntansi – terhadap masalah gizi masyarakat Indonesia. Sebagai negara berkembang, masalah gizi menjadi isu kesehatanyang perlu mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Sebab, dampaknya bukan hanya soal tubuh yang kekurangan asupan, tapi juga kematian bagi penderitanya.
Menarik untuk kita simak sebuah tajuk yang diterbitkan oleh Kompas mengenai jeritan kemiskinan. Sebuah fenomena yang menggambarkan para keluarga yang lebih memilih bisa makan daripada peduli pada kesehatan. Yang terpenting mendapatkan bahan makanan murah untuk diolah, daripada khawatir atas banyak penyakit yang akan tiba.
Masalah ekonomi bukan hanya menyebabkan masalah gizi dalam dunia kesehatan, tapi secara fatalistik dapat menggiring orang untuk menempuh jalan pintas kematian dengan bunuh diri sebagai cara untuk membebaskan diri dari tekanan. Atau kematian yang tidak direncanakan seperti kematian ibu dan anak secara tidak langsung yang disebabkan oleh rendahnya asupan gizi akibat pendapatan sosial ekonomi yang rendah (Anggaraini dkk, 2015).
Hubungan mesra kemiskinan dan masalah gizi ini semakin dramatis karena berlangsung di suatu negeri yang dikenal dunia sebagai tanah yang kaya sumber daya alam, tapi para pemimpinnya telah kehilangan sensitivitas atas nasib rakyat yang sedang berjuang dalam garis-garis penderitaan. Lalu kita tidak akan lupa, mengingat kembali uang-uang bagi program perbaikan nasib warga miskin dicuri secara kurang ajar dalam praktik budaya korupsi yang menjalar dari pusat ke daerah hingga desa-desa.
Ketika kita ingin menerapkan cara hidup sehat dengan adanya pemenuhan gizi yang teratur, disaat masih ada sebagian warga masyarakat untuk dapat makan sekali sehari saja begitu sulit. Ketika kita ingin memberikan sosialisasi terhadap pentingnya ketahanan pangan ditingkat rumah tangga, sedangkan kemiskinan begitu jemawanya memangsa berjuta-juta rakyat di pelosok negeri yang busung lapar, kurang gizi, menderita berbagai penyakit mengerikan tanpa pernah dibawa ke rumah sakit bersebab akses dan biaya.
Perkembangan situasi gizi di Indonesia jika dihubungkan dengan masalah sosial ekonomi atau kemiskinan cukup memprihatinkan.Seperti masalah kekurangan gizi yang terjadi di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Menurut sebuah data yang diterbitkan oleh Jurnal Gizi dan Pangan, sebanyak 87,5% kepala keluarga disana berprofesi sebagai petani. Hal ini tentunya mengakibatkan pendapatan yang dihasilkan perbulan tidak begitu besar atau bahkan terbilang kurang. Sehingga terdapat perbedaan pendapatan yang signifikan antara contoh keluarga gizi kurang dengan gizi baik.
Badan Pusat Statistik juga menjelaskan bahwa terdapat hubungan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang dengan tingkat kemiskinan. Seperti yang terjadi dalam kasus enam anak pasangan Jamhamid (45) dan Siti Sunayah (41), warga asli Jepara, Jateng yang tewas setelah mengonsumsi tiwul sebagai sarapan pagi. Pendapatan kepala keluarga menjadi alasan yang membuat keluarga Jamhamid terpaksa untuk makan tiwul sebagai pengganti nasi. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan.
Mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi gizi seseorang, faktor ekonomi menempati posisi kedua sebagai salah satu hal yang berpengaruh besar. Di banyak negara yang secara data ekonomis tergolong berkembang, sebagian besar penduduknya berukuran lebih pendek karena gizi yang tidak mencukupi dan pada umumnya masyarakat yang berpenghasilan rendah mempunyai ukuran badan yang lebih kecil.
Masalah gizi di negara-negara miskin yang berhubungan dengan pangan adalah kuantitas dan kualitas. Kuantitas berhubungan dengan penyediaan pangan yang tidak mencukupi kebutuhan energi bagi tubuh. Sedangkan kualitas berhubungan dengan kebutuhan tubuh akan zat gizi khusus yang diperlukan untuk pertumbuhan, perbaikan jaringan, dan pemeliharaan tubuh dengan segala fungsinya.
Tentunya upaya untuk memperbaiki masalah gizi akan berdampak pada munculnya SDM yang berkualitas. Ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan, diantaranya adalah:
1. Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga
Hubungan antara kemiskinan dan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga berhubungan erat, dimana proporsi penduduk miskin sebesar 9,36 persen atau sekitar 25,90 juta orang. Serta sebaran penduduk miskin yang bervariasi.
2. Ketidakseimbangan
Adanya ketidakseimbangan antar wilayah di Indonesia baik kecamatan maupun kabupaten berdasarkan prevalensi masalah gizi, kesehatan dan kemiskinan. Berdasarkan Riskesdas 2018 prevalensi kurang gizi di Indonesia mencapai angka 17,7%. Pada ibu hamil, masalah anemia akibat kurangnya gizi masih menjadi ancaman, yaitu 48,9%.
Selain upaya yang menjadi perhatian dalam kasus hubungan kemiskinan dan masalah gizi, masyarakat pun mengharapkan solusi untuk mengurangi masalah gizi dengan kemiskinan yang akan berpengaruh pada tumbuh kembang dari generasi anak bangsa. Mungkin kita bisa meminjam saran dari Hadi (2005) yang menyatakan bahwa solusi yang bisa kita lakukan dalam permasalahan gizi masyarakat adalah berperan bersama-sama. Serta peran Pemerintah dan Wakil Rakyat (DPRD/DPR). Kabupaten Kota daerah dapat membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat, misalnya kebijakan yang mempunyai filosofi yang baik seperti, “Menolong bayi dan keluarga miskin agar tidak kekurangan gizi dengan memberikan Makanan Pendamping (MP)-ASI.”
Jika teman-teman masih bertanya, mengapa masalah gizi harus menjadi perhatian yang khusus dari pemerintah? Izinkan saya meminjam pendapat dari Azwar (2004). Bahwa upaya perbaikan gizi akan lebih efektif jika merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kemiskinan dan pembangunan SDM. Membiarkan penduduk menderita masalah kurang gizi tentunya akan menghambat pencapaian tujuan pembangunan dalam hal pengurangan kemiskinan.
Referensi:
https://blog.insanbumimandiri.org/menilik-masalah-gizi-di-indonesia-timur/
https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20181102/0328464/potret-sehat-indonesia-riskesdas-2018/