Anak Kos dan Dilema Pangan: Murah Tapi Bikin Sakit, Mahal Tapi Gak Kuat Bayar?

Anak kos dilema pangan

Eh, makan di luar yuk! Tapi jangan mahal-mahal ya, tanggal tua.”
Kalimat ini mungkin terdengar akrab di telinga banyak orang muda, terutama mereka yang tinggal jauh dari rumah alias merantau. Hidup sebagai anak kos, dan harus memutar otak untuk bisa makan tiga kali sehari tanpa mengorbankan kebutuhan lainnya.

Setiap hari, jutaan orang muda Indonesia harus membuat keputusan penting untuk memilih makanan yang terjangkau tapi minim gizi, atau merogoh kantong lebih dalam demi satu porsi makanan sehat. Masalahnya, dengan uang saku terbatas dan harga bahan pokok yang terus naik, pilihan itu seringkali tidak benar-benar ada. Akibatnya, banyak yang akhirnya bertahan hidup dengan mie instan, gorengan, atau makanan cepat saji sebagai pilihan makanan harian.

Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2024, pengeluaran untuk konsumsi makanan masih mendominasi total pengeluaran rumah tangga di Indonesia, yaitu mencapai Rp 751.789 per kapita per bulan, atau sekitar 50% dari total pengeluaran konsumsi. Hal ini menunjukkan bahwa makanan menjadi kebutuhan pokok yang menyerap porsi besar dari penghasilan masyarakat, termasuk orang muda. Sehingga banyak orang muda, terutama yang tinggal sendiri di kota besar, lebih memilih makanan yang praktis, murah, dan cepat, bukan karena tidak peduli pada kesehatan, tapi karena keterbatasan ekonomi dan akses yang memaksa mereka demikian.

Sistem Pangan yang Kurang Ramah Untuk Orang Muda

Persoalan ini tidak hanya soal pilihan pribadi atau “gaya hidup orang muda zaman sekarang”. Lebih dalam lagi, ini adalah cermin dari sistem pangan yang tidak adil dan belum berpihak kepada kelompok rentan, termasuk orang muda dan masyarakat berpendapatan rendah.

Menurut laporan The State of Food Security and Nutrition in the World 2024 yang disusun oleh FAO bersama IFAD, UNICEF, WFP, dan WHO mengatakan bahwa lebih dari 2,8 miliar orang di dunia atau sekitar 35% populasi global, tidak mampu membeli makanan sehat pada tahun 2022. Hal ini disebabkan faktor ekonomi dan distribusi pangan yang timpang, terutama di negara berpendapatan rendah dan menengah. Laporan ini juga menyoroti bahwa, meskipun biaya diet sehat global rata‑rata hanya USD 3,96 (sekitar Rp 64.390) per hari per orang, 71,5% penduduk di negara miskin tidak mampu memenuhinya .

Menurut data dari Our World in Data, pada tahun 2022, sekitar 2,83 miliar orang (35,5 % populasi dunia) tidak mampu membeli diet sehat, yaitu yang mencakup ragam nutrisi dasar seperti buah, sayur, protein, dan susu yang bisa jadi karena pendapatan yang terlalu rendah atau harga makanan sehat yang tinggi

Sementara produk makanan instan, olahan, dan ultra-processed food membanjiri pasar dengan harga murah dan kemasan menggoda. Sedangkan makanan segar seperti buah, ikan, atau sayur justru semakin sulit dijangkau. Inilah bentuk nyata dari sistem pangan yang lebih mengutamakan kuantitas dan efisiensi ketimbang keberlanjutan dan keadilan.

Cara Jitu Atur Keuangan Anak Kos - ULTIMAGZ.com

Masak Sendiri? Tidak Semudah Itu

Salah satu solusi yang sering disarankan kepada anak kos adalah “masak sendiri biar hemat dan sehat.” Tapi apakah benar semudah itu?

Survei yang dilakukan oleh Jakpat Insight tahun 2022 terhadap mahasiswa Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden berusaha menerapkan perencanaan makan demi kesehatan. Namun, mereka menghadapi hambatan, seperti keterbatasan fasilitas seperti tidak memiliki dapur, alat masak, atau lemari pendingin. Kondisi ini membuat banyak anak kos kesulitan menyimpan bahan makanan segar dan akhirnya lebih memilih makanan siap saji atau instan sebagai alternatif.

Masak untuk satu orang pun kadang di nilai lebih boros. Bahan makanan seperti daging atau sayuran segar harus dibeli dalam jumlah tertentu, sedangkan kebutuhan konsumsi harian anak kos tidak banyak. Jika tidak segera diolah, bahan bisa membusuk dan terbuang. Ditambah biaya gas, listrik, dan waktu untuk masak yang mungkin tidak tersedia bagi mahasiswa dengan jadwal padat, maka masak sehat sendiri bukanlah pilihan yang mudah.

Ketika Makanan Menjadi Beban Psikologis

Makanan bukan hanya tentang gizi, tapi juga berkaitan erat dengan kesehatan mental. Sebuah penelitian di Indonesia yang diterbitkan dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat (2024) mengungkap bahwa konsumsi makanan bergizi berkorelasi signifikan dengan tingkat stres dan kecemasan yang lebih rendah pada mahasiswa, sebaliknya, pola makan tidak sehat dikaitkan dengan tingkat stres yang lebih tinggi.

Hal ini menjelaskan fenomena food guilt atau food anxiety, yaitu rasa cemas atau bersalah setelah makan makanan instan atau kurang bergizi, apalagi ketika melihat konten influencer tentang meal prep sehat seperti “avocado toast” atau “overnight oats”, yang seringkali membuat orang muda merasa rendah diri dan frustasi karena merasa tidak bisa mengikutinya.

Ketika pola makan menjadi sumber kecemasan, maka isu pangan bukan hanya soal isi piring, melainkan juga isi kepala.

Ketimpangan Gizi dan Narasi Elitisme Makanan Sehat

Narasi makan sehat yang kerap didorong oleh media atau influencer sering tidak sesuai dengan realitas sosial mayoritas orang muda. Produk yang dianggap “superfood” seperti quinoa (sejenis biji-bijian tinggi protein), kale (sayuran hijau keriting), greek yogurt, atau granola tidak tersedia di pasar tradisional, apalagi dengan harga terjangkau. Sementara makanan lokal seperti tempe, kangkung, ikan asin, atau nasi merah yang kaya nutrisi justru jarang masuk dalam narasi “gaya hidup sehat kekinian”.

Di sinilah terjadi bentuk baru dari elitisme pangan, di mana makanan sehat hanya menjadi bagian dari kelas menengah ke atas yang punya akses, waktu, dan dana. Bukan hanya meminggirkan kelompok muda ekonomi rendah, tapi juga memperluas jurang antara kebutuhan dasar dan gaya hidup yang dikomersialisasi.

Orang Muda Tidak Diam

Meskipun sistem yang ada belum adil, bukan berarti generasi muda tinggal diam. Beberapa komunitas dan gerakan lokal mulai bermunculan untuk mengatasi krisis pangan di kalangan orang muda. Contohnya, program Urban Futures yang merupakan bagian dari RISE Foundation. Program ini aktif mengadvokasi Hak atas Pangan dan Gizi (HaPG) dan sistem pangan berkelanjutan,  mendorong orang muda untuk kembali mengenal hak dan mengapresiasi pangan. 

Lewat berbagai cara seperti diskusi komunitas, advokasi, dan kolaborasi dengan orang muda, Urban Futures menunjukkan bahwa makanan sehat dan berkeadilan bisa dibangun dari akar rumput dimulai dari kota, oleh generasi muda. Langkah-langkah kecil ini membuktikan bahwa orang muda bisa jadi penggerak perubahan, terutama dalam mendesak sistem pangan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Mengubah sistem memang tidak instan. Tapi setiap langkah kecil bisa memberi dampak besar. Berikut ini beberapa hal yang bisa dilakukan mulai dari level individu hingga komunitas:

  • Pilih kompromi sehat. Ganti gorengan dengan rebusan, tambahkan sayur di nasi padangmu, atau kurangi minuman manis perlahan.
  • Dukung pangan lokal dan warung sehat. Cari warung yang menjual sayur segar, protein murah seperti tahu-tempe, dan mulai ajak diskusi soal porsi sehat.
  • Bangun komunitas masak bersama. Buat jadwal masak bareng teman kos. Patungan bisa bikin semua lebih hemat dan variatif.
  • Gunakan media sosial untuk bersuara. Ajak audiens untuk berpikir kritis soal akses pangan, bukan sekadar tren diet.
  • Dorong perubahan kebijakan. Tanda tangani petisi, ikut diskusi publik, dan dorong pemerintah memberi insentif pada distribusi pangan sehat yang murah dan lokal.

Masa Depan: Pangan Sehat adalah Hak, Bukan Privilege

Makanan bukan sekadar soal kenyang, melainkan hak dasar manusia. Ketika orang muda harus memilih antara nasi telur dan kesehatan, ada sesuatu yang salah dalam sistem.

Bayangkan masa depan di mana makan sehat bukan kemewahan, tapi bagian dari keseharian. Di mana warteg bisa menyajikan lauk bergizi tanpa menaikkan harga drastis. Di mana kampus menyediakan subsidi makan sehat. Di mana makanan lokal jadi bagian dari gaya hidup keren.

Mimpi itu bisa terwujud jika kita semua baik individu, komunitas, maupun pemerintah. Semua bekerja sama membangun sistem pangan yang lebih adil. Karena masa depan kesehatan orang muda tidak boleh ditentukan oleh isi dompet, tapi oleh kebijakan dan solidaritas yang berpihak pada semua.

Baca juga artikel tentang: Makanan Sehat untuk 3B: Yuk, Masak Sendiri dan Bawa Bekal!

 

Penulis: Tri Pinesty

Referensi:

https://assets.dataindonesia.id/2025/01/24/1737706370848-90-24.-ringkasan-eksekutif-pengeluaran-dan-konsumsi-penduduk-indonesia–maret-2024.pdf

https://insight.jakpat.net/pola-makan-mahasiswa-indonesia/?utm_source=

https://jurnal.stikes-ibnusina.ac.id/index.php/jumkes/article/download/1216/1236/5218?utm_source=

https://openknowledge.fao.org/server/api/core/bitstreams/39dbc6d1-58eb-4aac-bd8a-47a8a2c07c67/content/state-food-security-and-nutrition-2024/cost-affordability-healthy-diet.html?utm_source=chatgpt.com#gsc.tab=0

https://www.worldbank.org/en/programs/icp/brief/foodpricesfornutrition?utm_source=

 

Facebook
X
Threads
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Event Kami

Ruang Kata 4

Artikel Populer

Artikel Terkait

Translate »