Sobat, masih ingat kan soal bystander dalam cyberbullying? Yak betul, seseorang yang melihat atau mengetahui ada cyberbullying, tetapi tidak terlibat secara langsung. Tahukah Sobat jika peran bystander sangat penting? Coba kita telusuri jawabannya di bawah, ya!
Sebuah penelitian (Tokunaga, 2010) mengungkapkan bahwa pilihan bystander untuk diam atau bertindak dapat menentukan apakah cyberbullying yang terjadi akan makin parah atau justru berhenti. Sederhananya, ketika bystander hanya diam saja, pelaku bisa merasa aksi mereka “dibenarkan” karena tidak ada yang menentangnya.
Namun, kalau bystander berani mengambil sikap, bystander bisa menjadi upstander—pahlawan yang membela korban dan membantu menghentikan aksi bullying. Hmm, tapi memangnya apa sih dampaknya kalau bystander hanya diam? Ternyata, saat kita membiarkan cyberbullying terus terjadi, dampaknya dapat dirasakan tidak hanya oleh korban, tetapi juga diri kita sendiri sebagai bystander, lho!
Dampak Negatif Diamnya Peran Bystander bagi Korban
Beberapa dampak negatif yang dapat dirasakan oleh korban dari diamnya bystander adalah:
- Merasa kesepian dan tidak berdaya
Ketika korban di-bully melalui media sosial dan tidak ada yang mendukung mereka, hal tersebut dapat menimbulkan perasaan sendirian dan diabaikan oleh lingkungan sekitarnya. Mereka kehilangan dukungan sosial yang seharusnya dapat menjadi penyemangat untuk melawan.
- Semakin merasa malu dan depresi
Dengan tidak ada yang mendukung korban, korban mungkin berpikir bahwa serangan atau cyberbullying yang mereka terima memang benar dan pantas. Kondisi demikian memicu perasaan malu korban yang mendalam, bahkan dapat menyebabkan depresi serta gangguan psikologis lainnya.
- Normalisasi cyberbullying
Jika pelaku tidak mendapat perlawanan, mereka akan terus melakukannya dan korban mungkin merasa frustasi karena tidak ada yang peduli. Sikap pasif ini memberi sinyal bahwa cyberbullying adalah hal yang wajar sehingga perilaku tersebut dapat terus terjadi.
Meskipun tampak sepele dan tidak berdampak apa-apa, ternyata ada konsekuensi besar bagi bystander yang pasif, lho, Sobat! Penelitian (Rivers, 2009) bahkan menemukan bahwa tekanan psikologis saksi atau bystander dapat lebih besar daripada pelaku atau korban. Hal ini disebabkan karena menyaksikan cyberbullying sama dengan menyaksikan tindakan kriminal yang dapat menjadi pengalaman traumatis dan men-trigger orang tersebut tentang pengalaman traumatis-nya sendiri.
Akademisi lain (Carney & Hazler, 2015 dalam Hikmah, 2018) menyatakan bahwa gejala depresi yang lebih tinggi pada bystander dapat muncul karena bystander cenderung merasakan viktimisasi sekunder ketika menyaksikan cyberbullying. Sederhananya, hal ini berarti bystander juga merasakan dirinya sebagai korban dan mengalami tekanan batin karena tidak membantu korban.
Dampak Negatif Peran Bystander bagi Bystander itu Sendiri
- Trauma emosional dan trauma fisik
Bystander yang menyaksikan cyberbullying secara terus menerus dapat mengalami stres yang menyebabkan meningkatnya detak jantung dan munculnya trauma. Bentuk tekanan ini bermacam-macam, antara lain tekanan untuk ikut serta dalam cyberbullying, takut akan menjadi korban selanjutnya, ataupun rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri karena tidak berbuat apa-apa.
- Ketergantungan pada kelompok
Perasaan takut di-judge oleh lingkungan sekitar apabila melakukan suatu tindakan membuat bystander terjebak dalam tekanan sosial yang membatasi kemampuan mereka untuk bertindak benar. Ibaratnya, kita lebih memilih diam meskipun tahu itu salah.
- Kehilangan empati
Jika ketika keseringan menyaksikan cyberbullying tanpa bertindak apa-apa, lama kelamaan empati kita bisa hilang, lho! Kita bisa saja mulai apatis dan cuek dengan lingkungan sekitar karena menganggap cyberbullying adalah hal biasa.
Mengalihkan Peran Bystander Menjadi Upstander
Wah, dampaknya ternyata tidak main-main ya, Sobat! Di sinilah kita perlu berubah menjadi upstander! Seorang upstander adalah seseorang yang memilih untuk bertindak mendukung korban cyberbullying. Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk menjadi upstander sambil tetap menjaga keamanan diri sendiri:
- Memberikan dukungan secara pribadi
Hal paling sederhana yang dapat Sobat lakukan adalah mengirimkan pesan kepada korban untuk menyemangati mereka atau bahkan menawarkan bantuan. Sobat juga dapat mengirimkan informasi cara mendapatkan bantuan, seperti layanan konseling dan langkah-langkah apabila mendapatkan ancaman pesan seksual.
- Melaporkan atau menggunakan fitur platform
Setiap media sosial memiliki fitur dan kebijakan report untuk melaporkan konten negatif. Gunakan fitur ini untuk membantu korban tanpa konfrontasi langsung. Namun, jika Sobat merasa aman dan nyaman untuk membela secara langsung, Sobat juga dapat memanfaatkan fitur komentar untuk memberikan komentar positif mendukung korban atau mematahkan serangan pelaku.
- Mengajak bystander lain untuk beraksi
Jika menghadapi pelaku sendirian terlihat sulit, Sobat dapat mengajak teman-teman atau bystander lain untuk membantu mengambil tindakan. Selain itu, Sobat juga dapat melibatkan orang dewasa yang dipercaya seperti orang tua atau guru untuk membantu korban.
Nah Sobat, dengan menjadi upstander, kita tidak hanya membantu korban, tetapi juga ikut berpartisipasi untuk menciptakan dunia maya yang positif. Cyberbullying bukan masalah sepele dan diam tidak selalu emas. Ingat, ketika cyberbullying terjadi, kita sebagai bystander selalu punya pilihan: membantu korban atau do nothing dan keep scrolling.
Tentunya ada banyak hal yang dapat kita lakukan, mulai dari mendukung korban atau melaporkan konten negatif. Tindakan positif sekecil apapun bisa membuat perubahan baik yang besar dan untuk mewujudkan dunia online yang aman dan suportif, kita harus bekerja sama untuk saling mengedukasi terkait cyberbullying. Ayo, Sobat bisa jadi pahlawan bagi mereka yang butuh! 💪🌟
Referensi:
eSafety Commissioner. (2024, 10 April). How to be An Upstander. eSafety Commissioner. https://www.esafety.gov.au/young-people/be-an-upstander#:~:text=An%20upstander%20is%20someone%20who,chosen%20to%20be%20an%20upstander
Hikmah, I. (2018, 28 Februari). Bukan Hanya Korban Bullying Saja yang Menderita, Bystander atau Penonton Juga Bisa Mengalami Trauma. Cewek Banget. https://cewekbanget.grid.id/read/06866645/bukan-hanya-korban-bullying-saja-yang-menderita-bystander-atau-penonton-juga-bisa-mengalami-trauma?page=all
Nursakinah, J. (2024, 30 Juni). Risiko Kesehatan Mental pada Saksi Bullying Lebih Besar Dibanding Pelaku dan Korban. Kok Bisa?. Social Connect. https://www.socialconnect.id/articles/Risiko-Kesehatan-Mental-pada-Saksi-Bullying-Lebih-Besar-Dibanding-Pelaku-dan-Korban-Kok-Bisa
Tokunaga, R. S. (2010). Following you home from school: A critical review and synthesis of research on cyberbullying victimization. Computers in human behavior, 26(3), 277-287. https://doi.org/10.1016/j.chb.2009.11.014
UNICEF. (n.d). Cyberbullying: Apa itu dan Bagaimana Menghentikannya?. UNICEF. https://www.unicef.org/indonesia/id/child-protection/apa-itu-cyberbullying