Gelas Gula Terakhir
Aku masih dapat mengingat dengan jelas berbagai upaya kerabatku untuk membuat tubuhku kembali berdiri, saat suhu lantai yang dingin menyentuh tanganku. Senyuman bibirnya yang kaku seakan terbit untuk menguatkan duniaku yang runtuh. Pelukan erat dan hangat yang kurasakan seakan menjadi sebuah validasi bahwa apa yang terjadi saat itu adalah nyata. Selasa, 27 April 2021 pukul 01.10 WIB, ayahku dinyatakan meninggal dunia.
Aku adalah seorang remaja yang gemar mengonsumsi minuman dan makanan mengandung gula. Rasa malas adalah teman baikku, olahraga adalah musuh terbesarku. Sejak duduk di bangku taman kanak-kanak aku sudah memiliki pola hidup yang tidak teratur dan ocehan dari Ibu adalah makanan sehari-hari, seperti, “Jangan mie terus nanti usus buntu, Neng.” Susu tinggi gula, cokelat, minuman soda sampai gula merah utuh adalah cemilan bagiku. Mie adalah teman sejati yang selalu kukonsumsi dengan jumlah melimpah dalam satu hari, mencapai tiga bungkus mie. Teguran tentunya bukan hanya dari keluarga, namun juga teman sebaya. Teguran yang kuanggap sebagai angin lalu, nyatanya peringatan nyata untukku. Berbagai penyakit yang berasal dari pola makan tersebut berujung dengan opname dalam sebulan bisa mencapai dua kali dari jenis penyakit yang berbeda, hingga berakhir dengan operasi usus buntu.
Setelah satu bulan berjuang merebut kembali kesehatanku, perlahan kondisiku memulih. Namun tentunya tidak menjadi sebuah hal yang mampu mengubah pola hidup dan apa saja yang aku konsumsi. Nyatanya, aku tidak peduli. Aku bahkan tidak melarang Ayahku yang mengonsumsi minuman kemasan mengandung gula dalam jumlah yang cukup banyak dalam satu hari. Pola hidup dan pola makan yang tidak sehat ini terjadi padaku dan Ayah. Meski kemudian ayahku sudah mengurangi jumlah minuman kemasan, tetapi ternyata jika dikonsumsi dalam jangka panjang, dampaknya cukup fatal. Ayahku terkena penyakit diabetes.
Bermula dari kontrol ke rumah sakit secara berkala, suntik insulin bahkan nyaris di amputasi. Selama satu tahun, Ayahku berjuang untuk sembuh. Namun tentunya bukanlah perkara mudah. Dengan perjalanan panjang demi mendapat pengobatan terbaik, ayahku tak kunjung membaik. Diabetes akhirnya merenggut hidup pria yang paling kusayangi, ayahku, di usianya ke-39. Meninggalkan istri dan tiga anaknya.
Aku tak menyangka ayah akan meninggalkanku secepat itu. Padahal, rasanya seperti baru kemarin menikmati kebersamaan bersama ayah. Usiaku baru saja 16 tahun saat itu. Tak banyak yang bisa dilakukan olehku pada saat itu, selain menyalahkan keadaan dan diriku yang lalai. Berusaha mencari tahu letak kesalahan yang dititik beratkan pada penyakit yang beliau derita, diabetes, adalah yang kulakukan saat itu.
Gula adalah Musuh Besarku
Gula. Sejak kepulangan ayahku, gula adalah musuh besarku. Tak pernah ada niat sedikitpun untukku melihat, menyentuh, apalagi mengonsumsi bahan olahan yang menjadi penyebab kematiannya. Kondisi terpurukku juga menjadi alasan utama aku berhenti berorganisasi di Forum Genre, Remaja Teman Sebaya dan PIK-R yang sudah beberapa tahun aku geluti. Luka yang besar adalah alasanku untuk berhenti.
Sejak tahun 2022, aku hanya menghindari gula tanpa mencari tahu bahwa ada banyak penyakit lain yang mampu mengintai kesehatanku. Pedas dan asam adalah teman baruku, yang senantiasa aku konsumsi. Pola tidur yang berantakan dan pikiran yang menumpuk, aku mulai jatuh sakit dalam kondisi yang cukup parah karena rasa nyeri di tubuhku, hingga fatalnya aku harus singgah ke ruang Intensive Care Unit atau kerap dikenal sebagai ICU.
Karena ketidaktahuan dan ketidakpedulian, akhir dari perjalananku adalah mulai terganggunya aktivitasku sebagai seorang pelajar karena imunitas tubuh yang menurun drastis. Berbagai dampak mulai kurasakan. Selain dari tubuhku yang mulai tidak bisa kukendalikan sesuai keinginanku, kesehatan mental ku mulai terganggu karena permasalahan yang mulai muncul yang meliputi tekananku untuk sembuh, tuntutan kehadiranku di dalam kelas, tugas sekolah yang harus aku selesaikan. Sehingga hal tersebut kembali berdampak dengan pola makan dan tidurku yang kembali berantakan.
Mengubah Hidup Lebih Sehat
Aku semakin merasa bahwa semua yang kulakukan adalah salah. Timbul rasa bersalah karena lalai dalam tanggung jawabku, aku berusaha kembali bangkit. Ada keinginan untuk memperbaiki diriku atas segala hal yang sudah terjadi, mengantarkanku pada informasi Youth Nutrition Training yang diselenggarakan oleh RISE Foundation. Hatiku tergerak untuk mendaftar dan berpartisipasi sebab isu yang dibahas dan dipelajari adalah tentang informasi gizi, yang mana hal tersebut adalah kekhawatiran terbesarku pada saat itu.
Pelatihan tersebut diselenggarakan pada 25-28 Juli 2021 di Yello Hotel, Manggarai, Jakarta Selatan. Meskipun keraguan besar melanda hatiku saat melakukan pendaftaran awal, proses seleksi dan kelolosanku seakan jawaban dari kebimbanganku. “Mungkin ini jalan dan jawaban atas semua rasa bersalahku pada diriku,” kataku.
Pelatihan tersebut melahirkan 25 Health Heroes Fasilitator dari Jabodetabek. Aku menjadi salah satu di antaranya. Setelah mengikuti kegiatan pelatihan dengan sepenuh hati, segala permasalahan terkait kesehatan gizi yang ada di dalam pikiranku mulai terjawab. Ketidaktahuan keluargaku dan diriku akan hak-hak kami sebagai warga negara yang seharusnya tahu mengenai kandungan apa saja yang ada di dalam makanan maupun minuman, khususnya yang dikemas dalam bentuk kemasan. Aku mulai menyadari benang merah atas kejadian yang terjadi secara beruntun. Ketidaktahuan dan ketidakpedulian adalah sumber rasa bersalah terbesar dalam hidupku.
“Seandainya dulu aku tahu lebih awal, pasti Ayah enggak akan sakit, ya, Mi?” tanyaku pada beliau, Nenek yang mulai mengasuhku bersama Kakek semenjak kepergian Ayah. “Semua sudah takdir, Neng. Tugas kita yang masih hidup di dunia adalah merawat apa yang sudah Allah kasih. Sekarang Neng sudah tahu, jadi sekarang Neng harus lebih bertanggung jawab untuk menjaga dan lebih hati-hati,” tuturnya.
Aku menyadari bahwa rasa bersalah itu perlu. Namun rasa bersalah yang berlarut dan mendalam itulah yang harus kita hindari. Sejak hari di mana aku memulai perjalananku bersama Health Heroes adalah langkah awal, aku kembali meyakini bahwa ini adalah bentuk tanggung jawab besar dan komitmen besar. Kini aku semakin giat dan aktif menjadi bagian dari Health Heroes dan melakukan perjalanan dengan kegiatan-kegiatan yang mengedukasi para remaja, salah satunya adalah dengan kegiatan Health Heroes Goes to School. Dalam menebus rasa bersalah atas masa laluku, aku bertekad untuk menjadi agen perubahan dalam memberikan dampak yang baik bagi lingkunganku, khususnya dalam penyebarluasan informasi kesehatan dan nilai gizi, serta label pangan.