Singkong vs Keju: Refleksi Pangan Lokal di Era Global dalam Sebuah Lagu 

“Aku suka singkong, kau suka keju oh oh oh…,” mungkin sebagian dari kita sudah sangat familiar dengan lagu lawas milik Bill dan Brod ini. Lagu yang populer di tahun 80-an ini sesungguhnya menyimpan ironi yang masih relevan hingga kini. Wah, soal apa, ya? 

Dalam lagu tersebut, “singkong” dianggap sebagai lambang kesederhanaan dan “keju” sebagai representasi kemewahan ala Barat. Jika kita telisik lebih dalam, dua metafora ini mencerminkan sesuatu yang lebih dari sekadar kisah cinta beda kelas, tetapi juga ada pelajaran tentang bagaimana kita melihat pangan lokal

Singkong dan Tantangan Pangan Lokal di Era Modern

Tidak bisa terelakkan bahwa saat ini pangan lokal sering kali menghadapi tantangan besar di tengah dominasi pangan global. Di tengah era modern, banyak jenis makanan barat seperti pizza, burger, atau keju mulai mendominasi budaya kuliner kita. Akibatnya, pangan lokal seperti singkong mulai terpinggirkan, dianggap katro/kuno, atau bahkan, kurang bergengsi. 

Ilustrasi singkong sebagai pangan lokal
Sumber: Freepik

Hal ini dapat bersumber dari hal yang sangat sederhana. Misalnya dimulai dari persepsi bahwa pangan dari luar negeri merupakan sesuatu yang lebih “wah” atau lebih “keren”. Pola pikir seperti ini sering membuat kita lupa bahwa pangan lokal yang kita miliki juga berharga. Akibatnya, kita lebih sering memilih pangan impor yang dianggap dapat menunjang gaya hidup keren. 

Selain itu, adanya kebiasaan FOMO ketika melihat sesuatu yang baru juga mendorong kita memiliki budaya konsumtif pada pangan impor. Entah itu dari sisi franchise yang baru membuka cabang di Indonesia atau hanya sekedar edisi makanan terbatas yang berkolaborasi dengan idol favorit kita—membuat kita dengan mudah menghabiskan uang untuk membeli makanan luar. 

Sumber: Freepik

Penyebab lain lagi adalah terkait dengan media sosial. Tergoda dengan kebutuhan konten di media sosial, kita lebih sering membeli burger franchise dari luar negeri daripada singkong goreng di warung lokal. Lagi-lagi, demi gengsi.

Ironisnya, setiap porsi burger yang kita beli, turut menumbuhkan ketergantungan kita pada pangan asing. Padahal sebagai orang Indonesia, kita seharusnya menjadi garda terdepan untuk mempromosikan bahan pangan tersebut. 

Menghargai dan Merayakan Pangan Lokal

Lalu, bagaimana cara kita menghidupkan “singkong” di hati dan lidah kita? Sederhana. Mari kita mulai dengan merayakan kekayaan kuliner lokal di meja makan kita. Saat kita mengonsumsi singkong, ubi, atau jagung, mari kita ingat, bahwa hal tersebut turut berkontribusi pada ketahanan pangan lokal. 

Selain itu, upaya ini juga dapat dilaksanakan dengan mendukung produk-produk lokal olahan UMKM yang saat ini sudah semakin banyak berinovasi. Keripik singkong, brownies singkong, atau stik singkong pedas sudah banyak dijual di pasaran dan membeli produk tersebut membuat ketahanan ekonomi kita semakin kuat. 

Pada akhirnya, dengan memilih pangan lokal berarti kita ikut menjaga lingkungan, mendukung petani dan pengusaha lokal, serta mengurangi ketergantungan pada pangan impor. Dengan mendukung pangan lokal pula, kita menunjukkan rasa cinta dan kebanggaan kita pada Indonesia. 

Kini, lagu “Singkong dan Keju” bukan sekedar lagu yang menceritakan kisah cinta beda kelas, tetapi pengingat bagi kita untuk selalu melestarikan pangan lokal. Ingatlah satu hal: Singkong dan keju bukan soal mana yang lebih baik atau lebih buruk. Singkong dan keju adalah pengingat bagi kita untuk melestarikan warisan kekayaan yang kita miliki di tengah kilauan impor dari luar. Jadi, bagaimana caramu untuk terus menjaga ketahanan pangan lokal? 

Facebook
X
Threads
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Event Kami

Ruang Kata 4

Artikel Populer

Artikel Terkait

Translate »