Pernah nggak sih kamu lagi scroll TikTok, terus muncul video makanan sehat yang super cantik, lengkap dengan sayur warna-warni, buah segar, dan biji-bijian organik? Dalam hati kamu ngebatin, “Ih pengen banget deh makan kayak gitu, tapi… yaudahlah, mie instan aja.”
Atau kamu pernah jalan ke mall, liat resto sehat yang Instagramable banget. Pas liat menu dan harga, langsung tutup buku. Bukan karena nggak mau, melainkan karena nggak mampu. Makan bukan soal keinginan, melainkan soal kemampuan bertahan.
Nah, sekarang bayangin deh kalau kamu benar-benar bisa milih, mau makan apa hari ini? Bebas, tanpa mikirin harga, dompet, atau jarak. Kira-kira kamu bakal pilih apa?
Makan Sehat = Privilege?
Pertanyaan “mau makan apa hari ini?” mungkin terdengar sepele. Tapi coba pikir lebih dalam, nggak semua orang punya hak yang sama untuk memilih makanan, apalagi yang sehat dan bergizi. Di satu sisi, kita terus disuruh makan sehat, seperti banyak sayur, kurangi gula, hindari gorengan. Tapi disisi lain, makanan sehat masih mahal dan susah diakses.
Contohnya simple aja, seperti harga satu brokoli bisa dua kali lipat dari sebungkus mie instan. Jus buah harganya bisa bikin kamu mikir dua kali, padahal kamu lagi haus banget. Salad segar harganya bisa lebih mahal dari dua porsi nasi padang. Ironis, kan?
Padahal, makanan sehat seharusnya jadi hak dasar semua orang, bukan cuma milik mereka yang punya privilege. Ini yang disebut sebagai Hak atas Pangan dan Gizi (HaPG), dimana hak untuk bebas dari kelaparan dengan berdaulat atas pangan yang mampu memberi makan diri sendiri secara bermartabat dan berdaulat. HaPG adalah hak setiap orang untuk mengakses makanan yang cukup, aman, bergizi, dan layak. Nggak cuma soal kenyang, tapi juga soal kualitas dan keberlanjutan hidup.
Seberapa Penting Hak Ini?
Bayangkan kamu anak kos yang kerja part‑time. Gaji pas‑pasan, duit habis buat nyicil kontrakan, pulsa, dan kebutuhan sehari‑hari. Kamu tahu makan sehat itu penting supaya fisik dan otak tetap kuat. Tetapi kalau hanyaada warung tenda dan minimarket sebagai pilihan, ya mau gimana?
Sekilas terdengar klise: “Usaha dulu, nanti juga bisa.” Tapi jangan lupa, usaha itu juga butuh sarana. Kamu bisa usaha bangun badan atau fokus di tempat kerja, tapi kalau lingkunganmu gak mendukung, ya berat. Bahkan untuk makan seadanya aja kadang harus muter otak, apalagi kalau sedang akhir bulan. Ini bukan soal malas atau nggak peduli kesehatan. Ini soal keterbatasan yang sistemik. Banyak orang yang ingin makan sehat, tapi lingkungan, kondisi ekonomi, dan pilihan yang tersedia tidak mendukung.
Menurut data dari Kemenko PMK berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, angka kelebihan berat badan (overweight) dan obesitas pada anak usia 5–12 tahun mencapai 10,8% gemuk dan 9,2% obesitas, sementara usia 13–15 tahun tingkat gemuk dan obesitasnya sekitar 16%, dan pada usia 16–18 tahun mencapai 13,5%. Angka-angka ini menunjukkan bahwa masalah gizi pada generasi muda bukan hanya soal kurang nutrisi, tetapi juga pola makan tak seimbang akibat konsumsi olahan ultra-proses, makanan tinggi gula, dan kurangnya akses terhadap makanan sehat.
Gizi yang tidak memadai, baik karena kelebihan maupun kekurangan akan berpotensi menimbulkan penyakit tidak menular seperti obesitas, diabetes, dan penyakit jantung, yang kini juga semakin banyak dialami remaja atau orang muda. Karena itu, pemenuhan Hak Atas Pangan dan Gizi bukan sekadar soal ketersediaan makanan untuk hari ini, tapi juga menjaga masa depan kesehatan orang muda yang menjadi pondasi bangsa.
Masalah gizi tidak selalu soal kekurangan, tapi juga bisa berasal dari konsumsi makanan yang tidak seimbang karena keterbatasan pilihan. Gizi yang tidak memadai, baik karena kekurangan maupun kelebihan, bisa meningkatkan risiko penyakit kronis seperti obesitas, diabetes, dan penyakit jantung yang kini juga mulai banyak dialami oleh orang muda. Hak atas pangan dan gizi bukan cuma soal bisa makan hari ini, tapi tentang menjaga kesehatan jangka panjang dan masa depan yang lebih berkualitas.
HAPG Bukan Cuma Soal Gaya Hidup
Banyak orang masih mengira bahwa makan sehat adalah pilihan gaya hidup. Kalau kamu pengen diet, ya tinggal beli makanan sehat. Kalau kamu pengen hidup lebih baik, ya tinggal makan bergizi. Tapi perspektif ini bisa sangat sempit. HAPG bukan soal tren hidup sehat ala influencer. Ini merupakanbagian dari hak asasi manusia yang diakui secara internasional dan juga diakui oleh negara melalui berbagai peraturan. Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) melalui UU No. 11 Tahun 2005, yang secara eksplisit menjamin hak atas pangan sebagai bagian dari hak hidup yang layak
Sayangnya, penerapan di lapangan masih jauh dari kata ideal. Akses pangan bergizi cenderung lebih mudah didapat oleh masyarakat menengah ke atas, sementara kelompok rentan masih bergelut dengan harga, keterbatasan lokasi, dan pilihan yang terbatas. Hal ini tercermin dalam laporan dari FIAN Indonesia dan KIBAR yang menyebutkan bahwa banyak komunitas di pedesaan maupun urban miskin belum memahami HAPG sebagai hak mereka, apalagi bisa menuntut pemenuhannya secara konkret.
Tantangan Nyata di Sekitar Kita
Di Indonesia, tantangan dalam memenuhi Hak Atas Pangan dan Gizi (HAPG) masih sangat kompleks, terutama karena ketimpangan akses antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Di kota-kota besar, akses terhadap pasar modern, bahan makanan impor, dan layanan pengantaran online memang relatif mudah. Tapi kenyamanan ini ternyata sangat rapuh. Ketika terjadi krisis seperti pandemi, bencana alam, atau gangguan logistik, pasokan bahan pangan bisa langsung terganggu. Masyarakat kota sangat bergantung pada rantai distribusi panjang baik dari desa maupun luar negeri sehingga ketika distribusi terputus, mereka tidak punya alternatif produksi pangan sendiri.
Sementara itu di wilayah pedesaan, meski lebih dekat dengan sumber produksi pangan, masyarakat justru menghadapi tantangan lain seperti keterbatasan infrastruktur, fluktuasi harga musiman, dan akses informasi yang minim. Banyak desa masih mengandalkan pasar tradisional yang ketersediaannya tidak selalu stabil. Di beberapa daerah terpencil seperti Papua atau Kalimantan, harga bahan pangan bisa jauh lebih mahal dibanding di Pulau Jawa karena ongkos distribusi yang tinggi dan jalan logistik yang sulit.
Menurut Badan Pangan Nasional, upaya stabilisasi harga dan ketersediaan pangan memang sedang dijalankan. Namun, implementasinya masih sering tak menyentuh masyarakat paling terdampak. Disisi lain, banyak komoditas lokal yang potensial seperti umbi-umbian, jagung dan kacang-kacangan justru kurang didukung pengembangannya secara sistemik. Akibatnya, kita masih bergantung pada impor untuk bahan-bahan pokok seperti gandum atau beras premium.
Saatnya Orang Muda Peduli dalam Mewujudkan Sistem Pangan yang Lebih Setara
Sebagai orang muda, kamu bisa banget ikut memperjuangkan keadilan pangan dan gizi. Perubahan nggak harus selalu dimulai dari level kebijakan besar atau ruang sidang pemerintah. Kadang, hal kecil yang kamu lakukan di lingkungan sekitar justru punya dampak yang nyata. Misalnya, mulai lebih peduli sama apa yang kamu konsumsi sehari-hari. Belajar masak sendiri dari bahan lokal yang murah tapi tetap sehat. Bikin konten media sosial tentang pangan lokal, atau share tempat makan murah sehat di sekitar kampus. Bahkan sekadar ngajak teman diskusi soal pentingnya makan bergizi juga udah jadi langkah kecil yang penting.
Keterlibatan orang muda bisa diwujudkan melalui gerakan komunitas atau program yang lebih terstruktur. Contohnya, program Urban Futures yang merupakan bagian dari RISE Foundation. Program ini aktif mengadvokasi Hak atas Pangan dan Gizi (HaPG) dan sistem pangan berkelanjutan, mendorong orang muda untuk kembali mengenal hak dan mengapresiasi pangan. Lewat Urban Futures, orang muda nggak cuma diajak ngobrol tentang pentingnya akses pangan sehat, tapi juga belajar bagaimana lingkungan kota dari kebijakan sampai infrastruktur, bisa mempengaruhi pilihan makan kita sehari-hari.
Jadi, penting banget buat kamu tahu bahwa suara orang muda nggak kalah pentingnya dalam perjuangan ini. Semakin banyak dari kita yang sadar dan bersuara soal hak atas pangan dan gizi, semakin besar kemungkinan perubahan itu bisa beneran kejadian. Dan yang paling penting, kamu nggak sendirian. Ada banyak orang muda lain yang juga bergerak, belajar, dan berjuang di jalur yang sama.
Kalau bisa memilih, kamu mau makan apa hari ini?
Dan yang lebih penting lagi, kenapa pilihan itu belum bisa dimiliki semua orang? Pertanyaan sederhana ini bisa membuka mata kita bahwa urusan makan bukan sekadar tentang isi piring, tapi tentang keadilan sosial, kebijakan publik, dan masa depan bersama. Jadi mulai sekarang, yuk sama-sama perjuangkan agar makanan sehat nggak lagi jadi privilege, tapi jadi hak semua orang termasuk kamu.
Baca juga artikel tentang: Anak Kos dan Dilema Pangan: Murah Tapi Bikin Sakit, Mahal Tapi Gak Kuat Bayar?
Penulis: Tri Pinesty
Referensi:
https://fian-indonesia.org/kerangka-hukum-hak-atas-pangan-dan-gizi-di-indonesia/
https://www.regulasip.id/book/1356/read