Perjalanan Merespon Perkawinan Anak Di Tanah Kelahiranku

perkawinan anak
“Anak punya anak,” ucap seorang anak yang menjadi peer educator di ruang pelatihan ketika berdiskusi dan menyuarakan keresahannya terhadap perkawinan anak. 
 
Ya, hal tersebut adalah sebuah fenomena di mana anak-anak telah menikah di usia yang masih tergolong muda. Banyak sekali dampak negatif dari perkawinan dini ini. Oleh karena itu, peer education selalu menggaungkan “Stop Perkawinan Anak”.

Semua bermula dari pandemi COVID-19, di mana jarak di antara kita terbentang luas. Pandemi mempersempit dan mengurangi gerak-gerik setiap orang. Namun, praktik buruk perkawinan anak justru melonjak tajam. Bagaikan ajang lomba, Lombok sebagai bagian dari provinsi Nusa Tenggara Barat menjadi provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi keempat selama pandemi COVID-19. Bahkan, NTB menjadi provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi di tahun 2023. Sungguh prestasi yang luar biasa tapi tidak bisa dibanggakan.

Hak anak adalah hak yang harus didapatkan oleh seluruh anak dan harus dipenuhi oleh orang dewasa. Tujuannya agar anak dapat tumbuh berkembang secara maksimal sesuai potensi mereka. Perkawinan anak menyebabkan hilangnya atau terenggutnya hak-hak anak sehingga mereka tidak dapat tumbuh maksimal. 

Saat anak terjerat perkawinan, banyak hak-haknya yang hilang. Seharusnya anak masih dapat bersekolah, tetapi ia justru harus mengurusi rumah tangga. Disaat teman-temannya bermain, ia malah harus mengurusi suaminya. Situasi ini sangat salah. Saya merasa perlu bergerak dan berkontribusi sebagai kaum muda agar praktik ini tidak terjadi kembali. Saya tidak ingin anak-anak di luar sana terdampak praktik buruk dari perkawinan anak.

Saya adalah seorang master trainer untuk para anak peer educator. Saya menjadi pendidik sebaya untuk menggaungkan ‘Stop Perkawinan Anak‘. Kegiatan ini sudah saya lakukan sejak tahun 2018, dimana saya mendedikasikan diri menjadi aktivis melalui organisasi anak bernama Dewan Anak Mataram. Selama itu, saya aktif mengadvokasikan isu-isu anak hingga kancah internasional di Young People Action Team UNICEF EAP sebagai Co Chair.

Saya juga menjadi master trainer pada program Let’s Talk Project PLAN International Indonesia dan bertugas melatih anak-anak menjadi peer educator (pendidik sebaya) bagi teman-teman mereka untuk mengurangi angka pernikahan anak di Lombok. Saya yakin, teman sebaya adalah orang yang paling baik dan nyaman untuk mendidik teman-temannya.

Peer educator anak berasal dari perwakilan anak-anak untuk menjadi pendidik sebaya bagi teman-teman mereka. Tujuannya untuk mengajak teman sebaya menggaungkan ‘Stop Perkawinan Anak’ dan ‘Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi’. 

Pada awalnya, para peer educator masih merasa kesulitan untuk dapat memberikan pembelajaran mengenai Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi serta menggaungkan stop perkawinan anak karena hal tersebut masih berat dan cukup tabu. Namun hari demi hari, pelatihan demi pelatihan, mereka akhirnya dapat menggaungkan stop pernikahan anak kepada teman-teman sebayanya dan memaparkan pembelajaran mengenai Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi.

Di jam istirahat sekolah, saat para siswa dan siswi jajan ke kantin, para peer educator dan pendidik sebaya mendengar kabar bahwa terdapat siswa yang akan menikah dini. Akhirnya, para peer educator dan pendidik sebaya berkumpul serta berdiskusi perihal teman sebaya yang akan menikah dini.

Mendengar cerita tersebut, anak-anak sebagai peer educator mulai menghentikan pernikahan anak dengan melaporkan kepada guru pembimbing mereka dan guru BK. Lalu para peer educator dan guru mendatangi temannya yang ingin dinikahkan untuk membujuk dan memotivasi agar terus menggapai mimpi dan cita-cita besarnya.

Proses demi proses dilakukan, bincang demi bincang dilakukan, dan pada akhirnya kepercayaan dari teman tersebut didapatkan. Akhirnya siswa tersebut menolak perkawinan yang menjeratnya. Itu adalah sebuah keberhasilan pergerakan yang dilakukan oleh peer educator. Peer educator ini secara tidak langsung bertindak menyelamatkan teman sebaya dari praktik perkawinan anak. 

Namun, saya sebagai master trainer merasa kecewa karena saya pernah kecolongan terkait hal ini.

Ceritanya ketika di bangku kelas 11, saya bertindak sebagai ketua kelas. Suatu saat, teman saya tidak hadir di kelas tanpa adanya keterangan apapun. Kami pun tidak mengetahui informasi mengapa siswa tersebut tidak masuk kelas berhari-hari. Namun, suatu pagi guru BK menyampaikan informasi yang membuat kami kaget. Ternyata teman kami sudah menikah!

Kami merasa kaget dan sangat menyayangkan hal tersebut terjadi. Siswa tersebut tergolong siswa yang sangat rajin dan pintar. Bahkan, saya beberapa kali pernah meminta bantuan belajar. Saya sangat menyayangkan karena dia sangat pintar, tetapi semua mimpinya hilang karena praktik perkawinan dini tersebut.

Anak punya anak adalah dampak dari praktik perkawinan anak yang masih sering terjadi di tanah kelahiran saya. Perkawinan anak adalah masalah kompleks. Banyak faktor penyebabnya seperti faktor ekonomi, dampak negatif akses media sosial, faktor sosial, faktor agama, faktor pendidikan yang rendah, hukum yang lemah, dan juga faktor adat.

Faktor adat menjadi faktor yang cukup besar menyumbang angka perkawinan anak di Lombok. 

Adat Merariq dalam pernikahan di Lombok berarti menculik anak gadis yang akan menjadi pengganti wanita oleh calon pengantin pria tanpa pengetahuan ataupun persetujuan orang tua atau pihak keluarga perempuan. Seseorang dapat menculik perempuan untuk dinikahi. Rata-rata anak perempuan yang menjadi targetnya adalah anak perempuan yang sedang berproses belajar giat untuk mimpinya.

Para perempuan ini harus kehilangan masa depan karena praktik perkawinan anak. Anak seharusnya masih bertumbuh, berkembang, belajar, dan bermain bersama temannya. Akibat perkawinan anak ini, perempuan tersebut harus membuang mimpinya demi mengurusi rumah tangganya di usianya yang masih belia.

Dampak dari perkawinan anak sangatlah berbahaya. Anak  belum siap dari sisi mental, biologis, pengetahuan, kematangan, dan lain-lain. Selain itu, pernikahan dini akan menyebabkan para perempuan mengandung anak di usia yang cukup belia. Mengandung anak di usia muda dapat meningkatkan risiko kematian ibu dan anak. Anak yang dilahirkan juga memiliki risiko stunting, mengalami kekerasan rumah tangga, hingga perceraian, dan terhenti pendidikannya.

Saya sebagai kaum muda terus melakukan advokasi untuk menurunkan angka perkawinan anak bersama program Let’s Talk Project. Bersama para peer educator, kami juga terus mendorong pemerintah untuk melakukan tindakan dan memperkuat kebijakan sehingga pemerintah daerah membuat regulasi yaitu PERDA Prov. NTB No.5 tahun 2021 tentang pencegahan perkawinan anak sebagai upaya pemerintah merespon isu melonjaknya angka perkawinan anak.

Saya bersama para peer educator terus memperluas pemahaman tentang stop pernikahan anak dengan cara mengkampanyekan dan penggunaan platform media sosial

Saya yakin, yang anak inginkan adalah mengejar ijazah bukan buku nikah.

Facebook
X
Threads
LinkedIn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Event Kami

Ruang Kata 4

Artikel Populer

Artikel Terkait

Translate »