Patmi masih bersama kami. Tubuhnya mungkin telah dikubur, tapi jiwanya tak pernah mati!
Suara Sukinah, seorang petani dari Rembang, Jawa Tengah, bergetar namun tegas. Di belakangnya, pabrik semen raksasa berdiri menjulang, mematikan sumber air yang menghidupi sawah dan ladang mereka. Sukinah adalah salah satu dari “Sembilan Kartini Kendeng” yang pada tahun 2016 menggegerkan Ibu Kota. Mereka datang dari desa, jauh dari hiruk pikuk politik, dan melakukan aksi paling sunyi namun paling menggugah: menyemen kaki mereka di depan Istana Negara. Aksi itu bukan sekadar protes lingkungan, melainkan deklarasi perang terhadap dogma yang telah mengikat perempuan desa selama berabad-abad: bahwa urusan mereka hanyalah dapur, sumur, dan kasur.
Di desa-desa lain, dari Bajayau Tengah di Kalimantan Selatan hingga Flores Timur di Nusa Tenggara Timur, perlawanan serupa juga terjadi. Bukan dengan semen, melainkan dengan buku, tenun, dan keberanian untuk mengambil peran yang secara adat hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Ini adalah kisah tentang perempuan akar rumput Indonesia, yang di tengah sunyi dan keterbatasan, menolak takdir yang dibentuk oleh tradisi. Mereka adalah Kartini-Kartini di garis depan, yang menembus batas bukan dengan orasi di parlemen, melainkan dengan keringat dan air mata di tanah kelahiran mereka.
Tembok Tak Kasat Mata di Pedesaan
Indonesia, dengan kemajuan ekonominya, masih menyimpan jurang ketimpangan gender yang dalam, terutama di wilayah pedesaan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa meskipun Indeks Ketimpangan Gender (IKG) secara nasional cenderung menurun, angka ini masih tinggi di banyak provinsi. Kesenjangan ini terwujud dalam norma-norma sosial yang mengakar kuat.
Di banyak komunitas, perempuan masih dipandang sebagai konco wingking (teman di belakang), yang perannya terbatas pada domestik. Stereotip ini diperkuat oleh angka pernikahan dini yang masih memprihatinkan. Meskipun secara nasional angka perkawinan anak di bawah 18 tahun telah menurun, prevalensinya masih mencapai 5,9% pada tahun 2024, dengan beberapa provinsi memiliki angka jauh di atas rata-rata. Pendidikan tinggi bagi perempuan sering dianggap sia-sia, karena pada akhirnya mereka akan kembali ke dapur.
Namun, ironisnya, perempuan pedesaan justru memiliki Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang lebih tinggi dibandingkan perempuan perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa secara ekonomi, mereka adalah tulang punggung yang tak terlihat. Ketika suami merantau, meninggal, atau tidak mampu menafkahi, perempuanlah yang mengambil alih peran kepala keluarga. Mereka menanggung beban ganda: mengurus rumah tangga sekaligus mencari nafkah, seringkali tanpa pengakuan sosial.
Melawan Stigma dan Sistem
Perjuangan perempuan akar rumput ini adalah pertarungan multidimensi: melawan kemiskinan, melawan sistem, dan yang paling sulit, melawan stigma budaya.
- Perjuangan Pendidikan di Bajayau Tengah
Di Desa Bajayau Tengah, Kalimantan Selatan, Bu Muliyana, seorang guru PNS, harus berjuang melawan dogma yang ia sebut sebagai “urusan dapur, solek, dan anak.”
Di Nagara lah, beliau menyelesaikan pendidikannya hingga tamat SMA. Sampai saat ini masih ada anggapan di masyarakat, jika perempuan keluar desa jauh-jauh, maka perempuan itu ‘tidak benar’. (Pekka)
Bu Muli bertekad untuk menjadi guru di desanya. Ia merantau, berjuang menyelesaikan kuliah S1, bahkan sambil berjualan makanan ringan untuk membiayai akomodasi. Ia juga harus menghadapi gunjingan tetangga karena menikah di usia 24 tahun, yang saat itu dianggap “perawan tua.” Di mata masyarakatnya, menjadi orang kaya lebih terhormat daripada menjadi orang berpendidikan tinggi.
Namun, Bu Muli bergeming. Prinsipnya sederhana:
“Perempuan harus bisa bercita-cita dan sekolah setinggi-tingginya.” Kini, ia menjadi guru PNS, membawa pendidikan berkualitas ke desa terpencilnya, dan membuktikan bahwa perempuan yang berpendidikan tinggi justru menjadi aset berharga bagi komunitas.
- Kedaulatan Ekonomi di Flores Timur
Di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Lusia Uba Salan dan rekan-rekannya yang tergabung dalam Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) menghadapi tantangan ekonomi dan krisis identitas budaya. Sebagai perempuan yang menanggung beban keluarga, mereka seringkali terpinggirkan dan rentan secara ekonomi.
Lusia dan PEKKA melihat bahwa hasil tenun lokal mereka menumpuk karena masyarakat lebih memilih produk luar. Mereka mengambil langkah radikal: menjadikan kain sarung tenun lokal sebagai identitas dan kewajiban.
“Keputusan RAT adalah keputusan tertinggi, dan satu dari keputusan yang dihasilkan adalah penetapan penggunaan kain sarung produk sendiri untuk setiap kegiatan, baik dalam kegiatan-kegiatan resmi juga kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti pesta-pesta adat, juga saat melayat orang mati.”
Mereka bahkan memberlakukan denda Rp 20.000 bagi anggota yang tidak memakai sarung saat acara. Gerakan ini bukan sekadar bisnis, melainkan penegasan kedaulatan ekonomi dan budaya.
“Kalau bukan Pekka siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi. Tidak menghargai hasil karya sendiri sesungguhnya mengkianati diri sendiri,” demikian semangat yang mereka tanamkan.
- Penjaga Ibu Bumi di Kendeng
Perjuangan paling heroik dan penuh risiko adalah yang dilakukan oleh perempuan Kendeng. Mereka, yang secara tradisional hanya mengurus sawah, tiba-tiba harus berhadapan dengan korporasi raksasa dan birokrasi negara.
“Tears dripped slowly down her face. Maybe it was because of the pain in her feet; or maybe it was her feeling of disappointment in the government.“
Sukinah dan kawan-kawan menempatkan diri mereka sebagai Ibu Bumi (Mother Earth) yang wajib melindungi pegunungan karst, sumber air kehidupan. Mereka melawan anggapan bahwa perempuan tidak pantas berpolitik atau berdemonstrasi. Mereka menggunakan ritual adat Jawa, seperti perayaan gunungan jagung dan doa di sumur keramat, untuk memperkuat gerakan mereka, mengubah aksi protes menjadi ritual budaya yang sakral.
Tragedi kematian Patmi, salah satu Kartini Kendeng, saat aksi menyemen kaki di Jakarta, justru menjadi titik balik.
“Untuk saya dan saudari-saudari yang lain, itu membawa cahaya bagi kami. Itu membakar semangat kami. Kami tahu kami tidak boleh diam. Kami tidak lemah, dan kami tidak boleh kalah.”
Kutipan Sukinah ini menunjukkan bagaimana perjuangan mereka melampaui batas hidup dan mati, mengubah duka menjadi energi kolektif.
Dampak & Perubahan Sosial
Dampak dari perjuangan perempuan akar rumput ini tidak hanya terasa pada diri mereka sendiri, tetapi juga mengubah lanskap sosial di komunitasnya.
| Perempuan Akar Rumput | Perjuangan Utama | Dampak Sosial & Perubahan Konkret |
| Sukinah & Kartini Kendeng | Advokasi Lingkungan (Melawan Pabrik Semen) | Mengubah stigma perempuan desa dari pasif menjadi penjaga lingkungan (Ibu Bumi). Menggunakan ritual adat sebagai alat perlawanan politik. Menginspirasi gerakan lingkungan nasional. |
| Bu Muliyana | Pendidikan Tinggi (Melawan Dogma Dapur) | Menjadi guru PNS, membawa pendidikan berkualitas ke desa terpencil. Mengubah pandangan masyarakat bahwa perempuan berpendidikan tinggi adalah aib menjadi kebanggaan. |
| Lusia Uba Salan & PEKKA | Kedaulatan Ekonomi & Budaya (Tenun Lokal) | Menguatkan ekonomi Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA). Menghidupkan kembali industri tenun lokal. Mendorong kebijakan lokal (sekolah dan pejabat) untuk menggunakan pakaian adat, menegaskan identitas budaya. |
Perubahan ini adalah revolusi sunyi. Di Bajayau Tengah, Bu Muli telah membuktikan bahwa bersekolah tinggi bukanlah dosa, melainkan jalan untuk mengangkat martabat keluarga. Di Flores Timur, PEKKA telah mengubah perempuan yang rentan menjadi penggerak ekonomi yang dihormati. Di Kendeng, perempuan telah mengajarkan kepada negara bahwa kedaulatan pangan dan lingkungan adalah harga mati.
Kisah-kisah ini adalah cermin dari konflik abadi antara tradisi yang membatasi dan aspirasi yang membebaskan. Perempuan akar rumput ini tidak menolak tradisi secara keseluruhan; sebaliknya, mereka menggunakannya sebagai landasan untuk perubahan. Mereka mengambil peran Ibu Bumi dan menggunakannya untuk melawan perusak lingkungan. Mereka mengambil peran sebagai pengurus rumah tangga dan mengembangkannya menjadi penggerak ekonomi kolektif.
Perjuangan mereka menggugah kesadaran bahwa kemajuan sebuah bangsa tidak diukur dari gedung-gedung pencakar langit di Ibu Kota, melainkan dari seberapa jauh perempuan di desa-desa terpencil diizinkan untuk bermimpi dan berjuang.
“Saya ingin anak-anak sini dapat pendidikan selayaknya anak kota. Saya percaya mereka aslinya pintar. Tidak ada namanya anak yang bodoh,” kata Bu Muliyana, dengan harapan yang sama besarnya dengan Pegunungan Kendeng dan seluas lautan Flores.
Kisah mereka adalah pengingat yang kuat: tembok tradisi tidak akan runtuh dengan sendirinya. Ia harus ditembus, satu per satu, oleh keberanian, keteguhan, dan jiwa yang tak pernah mati, seperti yang diwariskan oleh Patmi kepada Kartini-Kartini di garis depan.






